Asti masih duduk di ruang tengah. Asti terlihat seperti sedang menonton televisi, matanya memang mengarah ke sana tapi pikirannya tidak. Masih terngiang jelas saat Arif menyinggung tentang masalah karier Asti dan juga berbagai ocehan lainnya yang keluar dari mulut mertuanya itu sangat mengada-ada.
Melihat kondisi Asti yang sedang melamun, Rudi kemudian menghampirinya. Sebenarnya pikiran Rudi sedang tak keruan. Belum juga masalah dengan Sarah selesai, sekarang timbul masalah baru yang dibuat oleh bapaknya sendiri. Tapi di depan Asti, Rudi berusaha untuk bersikap tenang dan mencoba menenangkan Asti.
"Kamu tidak usah memikirkan omongan bapak As." Rudi duduk di samping Asti dan mulai membahas permasalahan tadi.
"Aku sedang malas membahas ini." Asti bangkit dari duduknya hendak pergi ke kamar,, namun keburu di cegah oleh Rudi. Rudi menarik tangan Asti hingga membuat tubuh Asti kembali duduk di posisinya semula.
"Apa orang tua kamu tidak tahu kalau sebenarnya kamu yang meminta aku untuk menunda kehamilan?"
"Tidak tahu As." Rudi menundukkan kepalanya karena merasa malu dengan pengakuannya tadi.
"Pantas saja bapakmu menuduhku," jawab Asti sambil melirik tajam ke arah Rudi.
"Awal permasalahannya memang ada pada kamu, tapi bapak kamu dengan seenak jidatnya terus menyalahkanku!"
"Maaf As, aku masih belum berani untuk memberitahukannya, aku belum berani jujur kepada mereka."
"Pengecut." Asti tersenyum sarkas.
"Kamu juga terus-terusan membuat masalah untukku, Rudi! Bahkan sekarang orang tuamu malah menyalahkan aku karena aku belum bisa mengandung, dan itu semua gara-gara keinginan bodoh kamu!" Asti bangkit dari duduknya, dia kemudian menuju kamar dengan berderai air mata.
Rudi tampak diam termangu. Dia tidak sanggup mengejar Asti, karena memang semua ucapan yang Asti lontarkan semuanya benar adanya. Rudi merasa malu. Bahkan untuk memohon maaf pada Asti, dia seperti kehilangan muka. Apalagi sekarang di tambah lagi masalah baru dari Sarah. Jika sampai Asti mengetahuinya, entahlah. Rudi benar-benar tidak sanggup walaupun hanya membayangkannya saja.
"Apa yang harus aku lakukan Tuhan!" Rudi mulai menangisi keadaannya sendiri.
***
Asti duduk di ranjangnya, dia menatap ke arah jendela yang sebenarnya tidak ada yang menarik. Pikirannya mengawang ke masa 1 bulan sebelum menikah. Rudi tiba-tiba mengajaknya ke suatu tempat untuk mendiskusikan sesuatu. Ternyata ada hal yang ingin Rudi sampaikan dan harus meminta persetujuan dari Asti.
"Nanti jika kita menikah, aku ingin menunda dulu soal memiliki keturunan As. Aku masih belum siap memiliki anak." Terlihat Rudi berusaha keras saat mengatakannya. Rudi mencoba mencari kalimat yang tepat, agar Asti tidak terlalu terkejut saat mendengarnya.
Tapi di luar dugaan,ternyata Asti malah menyetujuinya. "Iya aku setuju."
"Tadinya aku khawatir jika kamu akan menentang ajakan aku As." Rudi tampak begitu lega.
"Aku merasa jika dalam waktu dekat ini aku juga masih belum siap untuk menjadi orang tua, Bisnisku pun sedang bagus-bagusnya dan aku masih ingin mengurus butikku hingga bisa berjalan dengan semestinya." Asti mulai mengeluarkan argumennya.
"Pantas saat pertama aku melihat kamu, aku yakin kita memang akan cocok dalam berbagai hal."
"Tapi orang tua kamu bagaimana?" sekarang Asti malah terlihat gusar.
"Gampang, nanti aku yang akan menjelaskan. Mereka juga terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya, tidak akan sempat memikirkan cucu. Yang penting kita menikah saja dulu." Rudi tampak tersenyum lebar, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya bahagianya saat itu.
Ada yang janggal memang jika di perhatikan lagi. Mereka saling mencintai dan akan segera menikah, namun mereka malah membuat kesepakatan untuk tidak memiliki keturunan saat mereka sudah menikah nanti. Mereka tampak tidak berpikir panjang soal ini, atau sebenarnya mereka mempunyai rencana dan maksud masing-masing.
Hari ini Asti merasa sangat menyesali akan kesepakatannya waktu dulu, ada benarnya juga ucapan mertuanya tadi. Apa sebenarnya Asti ingin membatalkan kesepakatannya dengan Rudi dan mengajaknya untuk menjalankan program hamil? Sepertinya saat ini Asti ingin memiliki keluarga kecil yang lengkap seperti Vena. Mempunyai suami yang baik dan di sertai hadirnya buah hati. Tiba-tiba Asti menginginkan hal itu.
Ponsel Asti bergetar, tanda ada panggilan telepon masuk. "Vian" terlihat muncul di layar gawai Asti, dengan sigap Asti langsung menjawabnya.
" Iya Vian?" ucap Asti.
"Nanti kita bertemu di tempat biasa ya, aku sedang butuh teman curhat. Kamu bisa kan As?" Tanya Vian sedikit ragu, takut ajakannya akan di tolak oleh Asti lagi.
"Dokter psikolog juga butuh teman curhat ya?!" Asti mulai meledek.
"Aku juga manusia biasa As, punya permasalahan hidup juga!" terdengar ada getaran kesedihan dari suara Vian sehingga membuat Asti penasaran dan ingin mengetahui apa yang terjadi dengan sang dokter tersebut.
"Ya sudah, kita bertemu di tempat biasa ya. Ada hal yang ingin aku ceritakan juga." Asti mengakhiri teleponnya, dan mulai bersiap-siap karena mereka sudah sepakat untuk bertemu pukul 8 malam nanti.
***
Rudi tampak gusar, dia bingung apa yang harus dia lakukan terlebih dahulu. Sangking terlalu banyak masalah yang meluap hari ini. Rudi mulai mencari ponselnya, sepertinya dia ingin menghubungi Sarah.
"Iya, ada apa?" tanya Sarah di ujung telepon dengan suara yang parau.
"Aku perlu bicara, soal yang kamu katakan kemarin." Rudi bertanya langsung ke permasalahannya.
"Aku sedang tidak ada waktu, lain kali saja," ucap Sarah sambil terdengar sesekali dia batuk.
"Aku tidak punya waktu lagi, Sarah!"
"Tapi aku sedang sakit, Rudi!"
Mendengar ucapan Sarah yang meninggi, sepertinya Sarah memang sedang tak enak badan. Rudi langsung iba seketika. Mengingat Sarah disini hanya hidup sendiri, karena seluruh keluarganya sudah menetap di Aussie. Hati Rudi pun malah luluh.
"Kirimkan aku alamat tempat tinggalmu sekarang, nanti aku mampir ke sana." Tiba-tiba suara Rudi melunak.
"Iya." Sarah menjawab singkat, dan telepon pun berakhir.
Rudi mengambil tas kerjanya. Alih-alih ingin kembali ke kantor, Rudi malah pergi menuju ke tempat Sarah. Dia tidak berpamitan dulu ke Asti, karena sudah pasti Asti sedang mengurung diri di kamar dan tidak ingin siapapun mengganggunya.
Rudi menunju mobilnya yang terparkir di halaman depan. Begitu masuk dan menghidupkan mesin mobilnya sesaat, dia langsung tancap gas. Rudi nampak sangat terburu-buru. Dalam hati kecilnya ada terbesit sedikit kekhawatiran pada keadaan Sarah. Entah lah, Rudi merasa bingung dengan perasaannya saat ini.
15 menit berselang, Rudi menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. Dia langsung membeli Apel dan jeruk yang sudah tersusun diatas sebuah keranjang. Setelah buah didapat, Rudi kembali ke mobilnya kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat Sarah.
Peta digital yang terpasang dilayar ponselnya mengarahkan ke sebuah apartemen di pusat kota. Sesampainya di sana, Rudi kemudian memarkirkan mobilnya di parkiran bawah tanah lalu langsung masuk ke dalam lift menuju kamar 702. Tidak lupa dengan membawa keranjang buah yang tadi dia beli.
Rudi mulai mengetuk pintu kamar tersebut, dan saat pintu terbuka langsung terlihat Sarah dengan menggunakan setelan piyama bertangan panjang berdiri di antara kusen pintu. Dia mencoba tersenyum untuk menyambut kedatangan Rudi, karena senang melihat Rudi datang dengan menenteng sekeranjang buah. Namun di balik senyumnya itu, tampak jelas guratan hitam di kedua kelopak matanya. Sepertinya Sarah benar-benar sedang sakit.
"Masuklah." Sarah mempersilakan Rudi untuk masuk ke kamarnya.