Chereads / Jeratan Sang Mantan / Chapter 3 - Bab 13. Sebuah tuduhan

Chapter 3 - Bab 13. Sebuah tuduhan

Waktu menunjukan pukul 11.30, Rudi masih belum menunjukan batang hidungnya. Sedangkan kedua orang tuanya sudah sampai 30 menit yang lalu. Asti dan Dina sedang duduk di ruang tengah, sedangkan Arif sedang melihat-lihat ke arah kolam renang di halaman belakang.

"Rudi kok belum datang As?" Dina membuka pembicaraan.

"Tadi sudah Asti kabarin Bu, mungkin masih di jalan." Asti menjawab sambil meneguk secangkir teh hangat yang di suguhkan oleh mbok Yum.

Terlihat begitu kaku melihat percakapan antara mertua dan menantu. Iya itu terjadi karena mereka jarang sekali bertemu. Dari semenjak Rudi kecil pun, kedua orang tuanya di kenal sebagai pekerja keras. Sampai rela meninggalkan anak semata wayangnya untuk terus bekerja hingga bisa sukses seperti sekarang.

Sebenarnya dulu Dina dan Arif berasal dari keluarga yang sederhana. Saat dulu mereka memutuskan untuk menikah pun, Arif hanya bermodalkan cincin dan uang mahar 20 ribu. Tidak ada acara yang mewah, atau bahkan resepsi yang di gelar besar-besaran. Mereka hanya sanggup membayar uang pendaftaran di KUA saja, menurut Arif yang terpenting pernikahannya sah di mata hukum dan agama. Tidak seperti Rudi, semuanya di gelar mewah dan besar-besaran. Sudah pasti orang tua yang ikut andil soal pendanaannya.

Asti menghubungi Rudi lagi karena tak kunjung datang. Namun teleponnya tidak di jawab juga oleh Rudi. Asti terlihat begitu cemas. Dia takut suasana hati Arif berubah menjadi lebih dingin karena keterlambatan Rudi.

"Makanan sudah siap Bu," ucap mbok Yum memecah kesunyian.

"Saya buatkan sayur lodeh dan tempe bacem kesukaan bapak," sambung mbok Yum lagi, sambil tersenyum renyah.

"Iya mbok Yum, tolong panggilkan bapak ya mbok." Mendengar perintah dari Dina, mbok Yum gegas menuju halaman belakang karena Arif sejak tadi berada disana.

"Ayo Bu kita ke meja makan." Terlihat Asti menghampiri ibu mertuanya itu lalu menggandeng tangannya dan berjalan menuju meja makan.

Terlihat Asti berusaha keras untuk melumerkan suasana. Asti mulai menuangkan air mineral di gelas Dina dan menawarkan makanan cemilan terlebih dulu, sambil menunggu kedatangan Rudi.

"Oh iya As, bagaimana butik kamu? Lancar kan." Dina mulai melempar pertanyaan, sambil memakan cemilan yang tersedia di meja.

"Iya Bu, masih seperti biasa." Asti menjawab sambil tersenyum.

"Bagus kalau begitu, tapi kamu jangan terlalu sibuk ya As. Bagaimana pun juga yang utama mencari nafkah itu Ru--"

"Betul itu." Tiba-tiba Arif menyanggah ucapan istrinya dengan suara beratnya. Dia berjalan menghampiri Dina dan Asti, lalu kemudian duduk di kursi samping Dina. Tiba-tiba suasana tegang menyelimuti seantero ruangan.

"Mana Rudi, masih belum datang juga?!" Arif bertanya dengan suara bas yang menggelegar.

"Masih diperjalanan pak," Dina menjawab dengan suara lembutnya.

Akhirnya yang di tunggu-tunggu pun tiba, Rudi terlihat begitu lelah. Tampangnya begitu kusut. Kemudian dia langsung mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kedua orangtuanya.

"Lama sekali kamu Rud, gara-gara menunggu kamu bapak jadi kelaparan." Arif melemparkan candaan sambil tersenyum samar.

"Ya bapak kan tinggal makan duluan, Rudi kan bisa menyusul." ucap Rudi sambil tersenyum.

"Ibu bagaimana kabarnya? Sehat kan?!" Kini ibunya yang disapa oleh Rudi.

"Iya ibu sehat Rud, kamu bagaimana?Kelihatannya kusut sekali wajah kamu?" ucap Dina khawatir.

"Biasa Bu masalah pekerjaan," ucap Rudi dengan senyuman kecut.

"Masih muda, sudah stres." Arif berkata seperti mengejek.

Rudi hanya mendengus kesal.

Setelah percakapan tadi, mereka akhirnya menyantap hidangan makan siang yang sudah tersaji di atas meja. Mereka nampak sangat menikmati makanan yang sudah di masak oleh mbok Yum. Sampai tiba-tiba Arif menghentikan makannya lalu mulai mengutarakan maksud kedatangannya hari ini.

"Bapak ingin memiliki cucu." Arif langsung mengutarakan maksudnya, tanpa basa-basi terlebih dahulu.

Rudi dan Asti tersentak dan seketika menghentikan kegiatan makannya. Kemudian mereka saling bertatapan heran satu sama lain. Asti lalu menunduk, sedangkan Rudi menatap wajah ibunya dengan penuh tanya.

"Sudah saatnya kalian memiliki anak, rumah ini terlalu luas untuk kalian tinggali jika hanya berdua saja."

"Kami sedang berusaha pak," jawab Rudi sambil melanjutkan memakan sisa makanan di piring yang belum habis.

"Kalian sudah satu tahun menikah. Asti, kamu belum merasakan tanda-tanda kehamilan?" tanya Arif pada menantunya itu.

Asti yang langsung di tanya seperti itu oleh mertuanya langsung gelagapan, karena dia belum menyiapkan jawabannya. Meski dari awal Asti sudah bisa menebak akan ke arah mana obrolan ini akan berlabuh.

"Sepertinya belum pak," jawab Asti ragu.

"Apa lagi yang kalian tunggu? Asti lebih baik kamu berhenti mengurusi butik, sepertinya kamu terlalu kelelahan sampai kamu lupa kodrat sesungguhnya menjadi seorang istri." Arif melemparkan kalimat tuduhan kepada Asti, dan itu terdengar tidak nyaman oleh Asti maupun Dina.

"Sudahlah pak, jangan menekan Asti seperti itu" Dina menimpali ucapan suaminya yang mulai keterlaluan.

"Lebih baik bapak tidak usah ikut campur, ini urusan rumah tangga Rudi pak!" Rudi mulai tersulut emosinya.

Namun Arif segera menimpalinya ucapan anaknya, pantang bagi Arif jika ucapannya ditentang.

"Tutup mulut kamu Rudi! Itu hanya asumsi orang tua yang menginginkan kehadiran cucu. Kalian juga menikah sudah 1 tahun lebih, memang sudah saatnya kalian memiliki keturunan!" Arif balas membentak anaknya. Inilah sifat jelek Arif, egois.

Mendengar perkataan suaminya yang mulai memojokkan anak dan menantunya, Dina tidak tinggal diam.

"Sudah pak cukup!" terlihat tangan Dina menepuk keras paha suaminya itu, Arif mulai menurunkan emosinya. Memang hanya Dina yang bisa membuat macan yang sudah bangun bisa tertidur kembali.

Suasana makan siang yang tadi sangat harmonis, tiba-tiba berganti menjadi dramatis. Apalagi Asti, dalam perdebatan ini Asti lah yang selalu di pojokan. Dada Asti merasa begitu sesak karena menahan tangis, kata-kata Arif barusan membuat hati Asti begitu terluka.

"Asti maafkan ucapan ayah mertuamu, ibu harap kamu tidak tersinggung As." Dina mencoba menenangkan hati menantunya. Sebagai sesama wanita, Dina juga ikut merasa kesal dengan ucapan Arif barusan.

Asti mencoba tersenyum, namun hatinya terlanjur terluka. Dia hanya bisa tertunduk lemas.

"Ucapan bapak tadi jangan kamu pikirkan ya As." Melihat air wajah Asti yang berubah menjadi sendu, sebagai suami Rudi mencoba menenangkan hati Asti sambil menggenggam erat tangannya.

Arif beranjak dari duduknya, kemudian mengajak istrinya untuk pulang. Tapi Dina malah menghampiri Asti dan Rudi yang ikut berdiri hendak mengantar mereka keluar.

"Ibu harap kamu tidak sakit hati As. Bapak memang sudah ingin sekali memiliki cucu, cuma cara penyampaian bapak yang salah sehingga menyinggung kamu." Dina memang sosok ibu peri yang ada di dunia nyata. Tangan Dina mengusap pundak Asti, seolah memberikan kekuatan secara tidak langsung. Kemudian Dina pamit untuk pulang, karena Arif terlihat sudah tidak nyaman berada di sana.

"Ibu tolong nasehati bapak, Rudi jadi merasa bersalah kepada Asti." Terlihat raut wajah Rudi kesal, namun dia tidak ingin melawan bapaknya itu karena dirasa percuma. Watak Arif yang keras membuat Rudi malas untuk berdebat dengannya, karena ujung-ujungnya Rudi yang harus mengalah.

"Iya nanti ibu coba ya." Kemudian mereka pamit, dan kini rumah Rudi kembali sepi.

***

hanya di depan Dina, Arif terlihat seperti macan yang kehilangan taringnya.