Selesai memantapkan hati dengan istikharah, Mayang kembali ke ruang rawat Daud. Terlihat pria itu sedang tertidur lelap.
Mayang yang sudah mengantuk pun hendak istirahat juga. Kebetulan di sana ada sofa cukup panjang. Sangat cocok untuk merebahkan diri. Dia mengambil selimut yang tersedia untuk membungkus tubuhnya. Perlahan menutup matanya.
Baru sekejap saja, Mayang dibuat terkejut dengan sesosok pria berbaju putih sedang duduk di atas ranjang Daud. Perlu beberapa saat bagi Mayang sampai mengenali ternyata itu adalah sosok Daud yang sedang mengaji.
Mayang menyipitkan mata. Mengintip. Suaranya terdengar lembut sekali. Menentramkan hati. Terlebih dengan balutan koko putih yang dia kenakan tampak begitu gagah dengan peci di kepalanya. Wajahnya teduh. Membuat siapapun wanita nyaman melihatnya.
Namun, perlahan bayangan itu memudar. Dari ruangan yang agak temeraman itu, tidak terlihat Daud yang sedang duduk mengaji, melainkan masih di posisinya yang merebahkan diri. Astaga, ternyata itu hanya halusinasi Mayang. Mayang yang begitu mengharapkan Daud sampai-sampai yang ada di otaknya Daud yang insyaf dan menjadi imam yang baik.
Mayang beranjak dari tempatnya merebahkan diri. Duduk di samping Daud. Dilihatnya lamat-lamat wajah Daud yang meneduhkan. Coba kalau sering terbasuk air wudlu, pastilah lebih meneduhkan. Yang semakin lama membuat dada Mayang sesak. Mayang tidak mampu membohongi dirinya sendiri. Dia pun merebahkan kepalanya di samping Daud. Tangsisnya pecah di sana.
Ternyata tangisnya itu mengusik telinga Daud sampai terbangun. Pria itu mengernyitkan dahi melihat Mayang yang menangis.
"Kamu kenapa May?"
Mayang agak sedikit tersentak. Dia mendongakkan kepala. Sekarang terlihat wajah Mayang yang bersimbah air mata. Matanya nanar menatap Daud yang membuat Daud bingung.
"Kamu kenapa menangis seperti ini, May? Ada masalah? Ceritalah." Daud berujar lembut layaknya lelaki yang ingin mendengarkan curhatan wanita. Lelaki yang bersedia menyediakan sepasang telinganya untuk menerima apapun keluh kesah wanitanya tanpa menyela. Menghiburnya dan bahkan memberikan pelukan supaya tenang.
Mayang tidak segera menjawab. Namun sorot matanya sudah mewakili semuanya. Bahkan dia begitu mengharapkn kehadiran Daud. Kehadiran Daud selamanya didalam hatinya. Mayang tidak mau menolaknya lagi. Bahwa dia cinta sekali sama Daud. Sangat cinta.
"Daud, a-aku…" Mayang terbata-bata. Menekan egonya.
"Iya kamu kenapa May?"
"Aku mau jadi istrimu, Daud."
Daud terdiam. Agak terkejut dia tampaknya. Namun, dia terlihat bisa mengendalikan diri.
"Kamu serius dengan ucapanmu?"
Mayang mengangguk mantap. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya. Tidak ada hati Andini yang harus dia jaga. Kini hanya soal hatinya dan hati Daud. Mayang ingin hati mereka bertaut.
Raut wajah Daud tampak berpikir. Membuat Mayang was-was. Apa jangan-jangan Daud sudah benar-benar lelah? Lelah menunggu Mayang berucap iya sampai-sampai dia sudah berpaling ke yang lain?
Mayang masih setia menunggu. Menatap lamat ke Daud. Besar harapannya Daud untuk menjawab pernyataan Mayang dengan mantap. Namun apa hati pria itu masih mantap setelah dipermainkan Mayang. Mayang yang selalu menolak permintaan Daud. Mayang yang sok jual mahal. Sekarang malah meminta kepastian dari Daud. Hanya gara-gara Daud sudah dekat dengan Siska. Wanita yang secara fisik jauh di atas segala-galanya dibandingkan Mayang?
"Aku hargai kejujuranmu, May. Tapi,"
Mayang terbelalak. Nah kan, tepat seperti yang Mayang pikirkan bahwa Daud ragu. Daud ragu untuk menerimanya. Rasanya Mayang ingin kelimpungan saja. Menjerit histeris.
"Tapi, apa Daud? Apakah kamu sudah menemukan yang lain?" kejar Mayang. Dia ingin tahu alasan kenapa Daud tidak begitu tertarik lagi dengan Mayang.
"Bukan begitu May. Tapi ini soal diriku. Kamu tahu kan kalau aku sudah terlanjur patah hati dengan kamu. Atas semua yang aku lakukan, pengorbanan selama ini , perjuanganku bertaruh nyawa. Semuanya aku lakukan karena aku iklas. Bukti kesungguhanku sama kamu. Tapi, kamu tidak pernah melihat hal itu. Kamu dengan gampangnya menolakku terus-menerus."
Mayang sesegukan. Iya, Daud, aku memang salah. Aku wanita yang tidak tahu diri. Selama ini kamu sudah berjuang sendirian, sedangkan aku malah sibuk mencari cara untuk menjauhimu.
"Apa itu artinya kamu juga menolakku, Daud?"
Daud menghela nafasnya. Melepaskan semua beban.
"Aku tidak tahu, May. Yang jelas aku butuh waktu sendiri sekarang. Tolong pahami aku."
Kalau sudah begitu, Mayang tidak bisa berkata lagi. Mungkin ini adalah puncak di mana Daud merasa lelah. Dan disaat seperti itu memang yang paling tepat adalah menyendiri. Tapi sampai kapan Daud akan begini.
"Lebih baik kamu istirahat saja, hari masih malam." Daud berkata sebelum akhirnya dia tertidur lagi. Sedangkan Mayang beranjak dari tempat duduknya. Dengan langkah gontai dia berjalan menuju sofa. Merebahkan diri di sana. Matanya tidak bisa terlelap karena terus mengeluarkan air mata.
Begitulah hari berjalan, ketika Mayang masih menemani Daud. Dia harus menyaksikan Daud yang terus menunjukan kemesraan dengan Siska. Sedangkan Siska dengan sikap professionalitasnya secara lebih terbuka mau menerima sinyal-sinyal dari Daud. Mereka memang seperti pasangan yang pas. Dan Daud terlihat lepas sekali bersama Siska. Senyumnya lebih sumringah. Senyum yang dulu sering ditunjukan ke Mayang.
Sampai hari kepulangan Daud, yang mungkin menjadi hari terakhir Mayang bersama dengannya. Terlihat Siska yang sedang bersamanya. Menemaninya pulang. Mayang dengan senyum miris melihatnya. Sekuat hati merelakan Daud, walaupun di sisi lain dia masih sangat menginginkannya.
Mayang pun melanjutkan hidup. Tidak lagi tergantung bayang-bayang Daud. Mencoba melupakannya dengan menyibukan diri di resto dan mengurus Novi yang semakin lama semakin membaik. Bahkan, sekarang Novi sudah mau diajak komunikasi. Yang lebih mengharukan lagi, Novi sudah mau memanggilnya dengan sebutan ibu.
Di hari kepulangan Novi menuju ruma baru yang dulu dijanjikan Andini, Mayang lebih sering menghabiskan waktu dengan anaknya itu. Menumbuhkan kepercayaan yang dulu pernah hilang. Yang membuat Mayang tersadar sekarang atas kesalahannya dulu. Mayang terlalu fokus dengan rasa kesepiannya jauh dari suami, tanpa memikirkan ada seorang anak yang sangat butuh perhatiannya. Anak yang membutuhkan perannya sebagai ibu.
Mungkin untuk sementara, Mayang tidak usah memikirkan soal lelaki. Biarlah jodoh nanti akan datang sendiri.
Malam itu, ketika Mayang merebahkan diri tidur berdua bersama dengan Novi. Tiba-tiba, terdengar suara berisik dari arah balkon.
Mayang yang terkesiap langsung bangun dengan posisi terduduk. Juga Novi yang terlihat mengginggil ketakutan. Sepertinya traumanya kambuh.
Benar saja, ada yang menghancurkan kaca balkon. Seorang pria bertubuh gempal terlihay menggunakan pakaian serba hitam plus penutup kepala Dan terungkap siapa dia ketika membuka penutup kepalanya itu.
"Hahaha… jumpa lagi denganku, Mayang." Pria dengan kumis tebal yang tidak lain adalah Marwan. Si brengsek yang menyebabkan semua petaka ini terjadi.
"Mau apa kamu ke sini?" Mayang membentak sambil menyembunyikan Novi di pelukannya. Kasihan sekali anak itu. Dia mengginggil ketakutan sampai keringat dingin mengucur.
"Aku ingin memberi pelajaran kepada anakmu itu. Gara-gara dia aku sampai dikejar-kejar polisi!" Marwan menghardik. Dia merasa berkuasa karena dia lelaki bertubuh besar yang berhadapan dengan dua wanita yang dianggap lemah.
Mayang mendecih. Sudah tidak punya hati menjual Novi, malah sekarang menyalah-yalahkan. Mayang tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Novi di detik-detik terakhir saat Novi diseret ke lokalisasi.
"Kenapa kamu menjual anakku ke lokalisasi?"
Marwan tertawa terbahak. Tawanya begitu menggelegar memenuhi ruangan. Terdengar bengis dan tidak punya hati.
"Anakmu itu sama dengan kamu. Sama-sama wanita murahan yang begitu gampang ingin ditiduri. Hanya dengan ucapan manis luluh begitu saja."
"Oh seperti itu ya." Mayang berkata santai.
Mayang beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan mendekati Marwan. Memberikan tatapan menggoda yang membuat Marwan terperangah.
"Mau apa kamu Mayang? Kamu kangen dengan milikku yang besar ya?"
Mayang hanya tersenyum kecil. Sekarang tubuhnya sudah begitu dekat dengan Marwan. Ketika wajah mereka sangat dekat hampir berciuman. Tiba-tiba, Mayang menendang bagian bawah Marwan dengan keras. Membuat pria itu menjerit kesakitan sambil memegang kejantannya yang remuk. Tidak hanya itu. Ada beberapa vas bunga di sana langsung dia hantamkan ke tengkuknya. Membuat pria itu merintih sampai pingsan.
"Sudah Sayang, tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. Pria brengsek ini sudah tidak sadarkan diri."
Begitu ucap Mayang kepada Novi. Novi terlihat membuka kedua tangannya yang menutupi wajah. Memang terlihat Marwan yang sudah tidak sadarkan diri.
Mayang pun segera mengambil tali untuk mengikat kaki dan tangan Marwan. Menggulingkannya sampai ke pojok ruangan. Dia mengambil segelas air untuk disiramkan ke wajah Marwan.
"Bangun!"
Gaya Mayang sudah seperti polisi yang meringkus tersangka. Dia sampai menendang-nendang kaki dari Marwan supaya bangun.
Marwan tergeragap. Begitu sadar dirinya sudah dalam keadaan terikat. Dia pun langsung meronta. Bibirnya berteriak. Mengumpat.
"Woi! Wanita murahan! Lepaskan aku! sialan kamu!"
Buk! Buk!
Cukup dengan tendangan dua kaki membuat mulut Marwan berhenti mengoceh. Dalam keadaan seperti ini percuma rasanya meronta. Tangan dan kakinya terikat. Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sekali lagi kamu berteriak, aku tidak segan merobek mulut sampahmu itu!" gertak Mayang. Wanita itu tidak main-main. Di dalam nakas, ada pisau buah yang sengaja dia ambil terus dia acungkan ke arah Marwan, tapi pria itu malah terkekeh. tersenyum meremehkan.
"Kamu! Berani menyakitiku! Hahaha, kamu itu wanita lemah Mayang. Bahkan semut pun kamu tidak berani membunuh."
"Justru menurutku kamu itu lebih lemah dari semut. Semut mampu menggigit. Sedangkan kamu tidak bisa berbuat apa-apa selain berbual tidak jelas." Mayang membalas dengan tangkas. Seketika Marwan terdiam. Dia melihat ada perubahan dalam diri Mayang.
"Terus kamu berani menyakitiku begitu?"
"Kenapa tidak?"
Buk! Buk! Prank!
Mayang berkali-kali menendang perut Marwan. Mengambil satu vas bunga lagi untuk menghantam tepat di wajah Marwan. Pria itu terdengar melonglong kesakitan di tengah wajahnya yang bersimbah darah. Sayangnya tidak ada yang mendengar suara Marwan mengingat rumah itu sangat luas, sedangkan hanya ada Mayang dan Novi di sana.
"Arghhhh! Sialan kamu! Kamu tidak takut apa ditangkap polisi gara-gara khasus penganiayaan?"
Mayang terkekeh. "Justru aku akan menyesal kalau tidak memberikan hukuman setimpal kepada pria yang sengaja menjerumuskan anakku ke lokalisasi. Mau dipenjara sekalipun aku tidak peduli, yang penting anakku mendapat keadilan. Caranya dengan menghukum kamu seperti ini."
Kini wajah Marwan berubah pias. Ternyata Mayang tidak selemah yang Marwan pikir. Dia sekarang menjelma menjadi wanita yang tidak segan melawan kalau ada yang mengusik.
"Bagaimana? Masih berani menghardik kami lagi? Atau kubuat nyawamu berakhir di sini!"
"Ampun, Mayang. Jangan! sakit!" Marwan mengiba. Karena berkali-kali Mayang menginjak, menendang, meludahi. Membuat sekujur tubuhnya babak belur. Tapi, itu semuanya tidak sebanding dengan teriakan Novi tatkala diseret menuju lokalisasi, sampai Novi kehilangan kewarasannya.
"Teriak ampun yang kenceng Marwan! Ayo!" Mayang menantang. Sedangkan Marwan semakin tidak berdaya di bawah sana. Dia sudah sampai muntah darah.
Setelah merasa cukup, Mayang menghentikannya. Dilihatnya Marwan yang meringkuk sambil batuk batuk darah.
"Aku minta kamu minta maaf kepada anak saya sekarang!" Mayang memerintah.
Daud terlihat memandang Novi yang terlihat mematung di atas Ranjang. Agaknya dia cukup kaget melihat keberanian sang ibu.
"Minta maaf sekarang BEGO!" Mayang menendang kepala Daud. Tidak peduli mau dia merintih kesakitan.
"I-iya, Novi, tolong maafkan kesalahan Bapak. Bapak tidak bermaksud untuk menjualmu ke mucikari."
"Tidak bermaksud kamu bilang?" Mayang sudah bersikap dengan kakinya.
"I-iya, maksud saya. saya memang sengaja membawamu ke lokalisasi. Maafkan aku, aku khilaf, Novi. Tolong maafkan Bapak."
Novi tidak menjawab. Air matanya menggenang.
"Bapak jahat! hanya gara-gara Novi tidak mau melakukan itu, Bapak tega membawaku ke tempat kotor itu huhu…."
Maya terkesiap. Dia langsung menangkap maksud dari perkataan anaknya. Rupaya Novi menolak berhubungan badan sehingga pria durjana ini kesal dan membuangnya ke lokalisasi. Brengsek sebrengsek-brengseknya lelaki.
Mayang menghela nafas. Mengatur emosinya yang sedemikian menyeruak. Jangan sampai dia gelap mata yang bisa menyebabkan nyawa Marwan melayang.
"Dan satu lagi, aku minta kamu jujur denganku." Mayang berkata. Sekarang dia agak lebih tenang.
"Apa itu, Mayang?"
Mayang mengatur nafasnya lagi. Karena peliknya masalah yang membuat dadanya sesak.
"Apa benar kamu yang menyuruh orang untuk menaikan suhu inkubator, sehingga bayiku tewas terpanggang?"
Marwan seperti gelisah sendiri. Raut wajahnya berubah penuh penyesalan.
"Iya, May. Memang aku yang melakukannya."
Mayang langsung naik pitam. Diambilnya satu vas bunga lagi dan di hentamnya ke arah kepala Marwan. Namun, kali ini tidak mengenai Marwan. Marmer di sampingnya yang retak.
"Biadap kamu Marwan! Bisa-bisanya kamu membunuh darah dagingmu sendiri! Dia anakmu Marwan! Kenapa kamu tega melakukan hal ini!"
Novi yang melihat kemarahan Mayang yang tidak terkendali langsung melompat dari ranjang dan memeluk Mayang. Mayang yang merasakan pelukan anaknya pun bisa sedikit tenang, tapi tangisnya tumpah ruah.
"Sabar, Bu." Novi berkata dengan airmata yang menetes. Tidak menyangka kalau kisah cinta ini bisaa berakhir pelik. Antara Marwan, Mayang dan juga dirinya.
"Tolong dengarkan aku, May. Aku melakukan semua ini karena aku sayang sama anak itu." Marwan berdalih. Mayang seperti terbakar. Namun, Novi berusaha keras menahan ibunya supaya tidak berkobar.
"Sayang kamu bilang? Kamu itu membunuhnya? Tolol!"
"Bu, sabar Bu." Novi menangis juga. Ibu dan anak itu dalam kemelut yang luar biasa.
"Mayang, tolong dengarkan aku dulu. Aku bisa jelaskan semuanya." Marwan antara panik, menyesal, kalut. Tubuhnya sudah babak belur. Kalau Mayang sampai mengamuk lagi. Mungkin nyawanya yang melayang.
Mayang tidak histeris lagi. Tubuhnya mendadak lemas tidak bertenaga. Mendengar pengakuan dari keparat ini. Seadainya membunuh tidak dilarang. Pastinya Marwan tidak hidup lagi. Biadap seperti dia tidak pantas hidup di dunia ini.
Sedangkan Novi hanya membisu. Sebuah kesalahan besarnya adalah ketertarikannya kepada Marwan yang dia nilai baik, kebapakan, bisa ngemong, tapi kenyataannya busuk sekali. Hatinya harus patah sedini itu Membuatnya sulit untuk mempercayai lelaki lagi.
"Jadi begini, May." Marwan mulai bercerita. Susah payah dia berkata. Terdengar terbata karena wajahnya yang babak belur dengan darah yang mengucur sana-sini. Pria itu terlihat menghirup ingus di sela matanya yang mulai berair.
"Dari awal, aku sudah menduga kalau bayi itu adalah bayiku. Hanya saja aku sengaja tidak mengakuinya karena aku lebih memilih Novi. Memang nafsuku ini sering keterlaluan. Aku sangat menyesalinya."
"Begitu bayi itu lahir, dengan bantuan Sapto selaku suami resmimu kala itu, aku berhasil melakukan tes DNA dengan dia, tapi."
Marwan terlihat mengatur nafas. Wajahnya yang babak belur ditambah menangis membuat dia kesusahan saja untuk berbicara.
"Sesuai yang aku duga, bahwa bayi itu adalah anakku. Aku jelas syok berat. Terlebih keadaannya yang membuatku hampir menangis, May, dia tidak punya tempurung kepala. Aku sebagai bapaknya merasa terpukul. Merasa kasihan dengan anak itu. Bagaimana dengan masa depannya, dia pasti akan sangat menderita sekali. Maka kala itu aku memutuskan untuk menyuruh orang menaikan suhu inkubator." Marwan menjelaskan dengan panjang lebar. Berharap Mayang mau luluh dan mengerti. Namun kenyataannya, dia malah semakin murka.
"Itu bukan alasan yang logis, Marwan Sunandar! Kalau Cuma kelahirannya yang premature dan kepalanya yang tidak ada tempurung. Masih ada cara lain untuk bisa membuat dia menjadi bayi normal pada umumnya. Dia baru saja lahir. Hidup yang cerah menantinya. Tetapi kenapa kamu bunuh dia hah!" Suara Mayang melemah sambil memegang dadanya. Dadanya terasa sesak sekali.
"Ibu." Novi cemas tatkala Ibunya yang hampir ambruk. Gadis itu lantas membimbing Mayang untuk duduk di pinggir ranjang.
"Nak, tolong telfon tante Andini supaya datang ke sini. Bilang kalau Marwan ada di sini."
Novi mengiyakan. Dia meraih ponsel ibunya dan menelfon Andini. Terdengar suara Andini yang syok di seberang sana. Dia pun mengiyakan untuk datang.
"Tolong, May, jangan bawa aku ke kantor polisi. Aku masih ingin hidup bebas, May." Marwan mengiba. Merenggek mirip anak kecil.
"Kamu akan bebas kalau sudah di akhirat. Aku yakin setelah terbukti kamu membunuh bayi itu dan menjual Novi, hukuman mati akan menantimu." Mayang berkata lugas meski suaranya lemah.
"May, tolong jangan May, aku takut dihukum mati." Marwan seperti pengecut yang berani bertindak tetapi tidak mau menerima akibatnya.
"Lepaskan aku, May. Aku mau menikahimu. Kita mulai hidup dari awal ya. Bukannya kamu dulu ingin aku nikahi?"
Mayang mendecih. Bisa-bisanya dia mengajak nikah setelah sebuah kelakuan biadapnya. Sampai kapanpun tidak akan terbuka hati Mayang. Hatinya sudah mati untuk Marwan dan Sapto.
Mayang hanya terdiam. Tidak menanggapi apapun permohonan Marwan. Begitu juga Novi yang sepertinya muak dengan lelaki itu.
Tidak berapa lama, datanglah Andini bersama dengan beberapa polisi. Andini langsung berhamburan di dekat Mayang yang sedang sesak nafas.
"May, kamu enggak apa-apa?" Andini cemas.
"Din, tolong minta kepada polisi untuk bawa si biadap ini."
Andini langsung menoleh tajam ke Marwan yang tergeletak di lantai dengan posisi terikat.
"Dia pasti menyusup untuk mencelakai Mayang dan Nov, tapi karena ketololannya dia berhasil ditangkap." Andini merutuk kesal. Dia seperti jijik untuk sekedar menyebut nama atau kamu.
"Pak! Tangkap dia Pak! Dia sudah melakukan banyak kejahatan. Hukuman berat menantinya."
Polisi segera meringkusnya. Terlihat mereka melepas tali yang mengikat kaki Marwan dan membawanya keluar. Marwan yang terlihat tidak terima, meronta. Umpatan kasar meletup dari mulutnya.
"Jangan tangkap saya, Pak! Saya tidak salah!"
Namun polisi tidak peduli. Marwan tetap digiring menuju mobil polisi yang sudah terparkir di depan.
"Tenang, May, tenang." Andini menenangkan Mayang setelah memberikannya minum. Kondisi Mayang yang syok parah mengakibatka sesak nafas.
"Marwan ternyata yang membunuh bayiku, Din. Tadi di sini dia sudah mengatakan semuanya. Semuanya." Mayang mengadu. Sebagai ibu yang melahirkan bayi itu, tentu rasanya sakit sekali. Apalagi saat dia tahu kalau pembunuhnya adalah bapak kandungnya sendiri.
"Benar kan yang aku duga, kalau Marwan yang melakukan semua itu. Ya, sudah, May. Sabar saja. Iklaskan saja. Kamu jangan sedih berlebihan. Nanti arwah anakmu tidak tenang di alam sana." Meskipun Andini terlihat ceplas-ceplos, tapi soal menenangkan hati seseorang, dialah jagonya. Andini termasuk wanita yang memiliki empati yang tinggi. Meski nafsunya besar.
"Kamu juga Novi, sesuka apapun kamu sama seseorang, jangan pernah percaya seratus persen dan tetap jaga diri. Harus ada batasan dengan lawan jenis, siapapun itu." Andini menasehati sudah mirip guru BP saja.
"Baik, Tante. Novi janji tidak akan percaya dengan lelaki lagi. Novi sekarang percaya sama ibu."
Mayang diam dengan air mata yang tidak kunjung surut. Andini yang mengetahui hal itu berinisiatif untuk menemani sahabatnya. Mereka pindah dari kamar yang berantakan itu. Mengajak ke kamar lain. Sebenernya yang tidak Mayang tahu, kalau rumah itu sudah dilengkapi pendeteksi maling atau penyusup. Hanya saja, tidak ada petugas keamanannya saja.
Mereka pun tidur di kamar lain yang cukup luas ranjangnya. Memungkinkan untuk tidur bertiga. Andini tidak henti-hentinya menenangkan Mayang dan juga Novi. Novi meskipun terlihat biasa saja, tapi Andini tahu kalau anak dari sahabatnya itu kalut berat. Sejujurnya, Andini sudah menganggap Novi seperti anaknya sendiri. Makanya, sebisa mungkin Andini juga menjaga Novi, sudah seperti ibu kedua dari Novi.