Xiaoya melipat kedua tangannya ke depan dadanya, memperlihatkan kekesalannya terhadap Lorina.
"Kau benar-benar sudah mau pensiun ya?" tanya Xiaoya dengan begitu menyindir Lorina.
"Apa maksudmu? Aduh, untuk apa aku membuang-buang waktuku mengikuti party agensi yang sama sekali tidak ada gunanya?" tanya balik Lorina dengan membalas Xiaoya dengan tatapan kesalnya.
"Mereka sedang mencari pemeran untuk drama adaptasi itu! Kau harus datang untuk menunjukkan valuemu!" ujar Xiaoya begitu menggebu-gebu. Ia begitu gemas dengan Lorina yang terlihat begitu cuek dengan urusan karirnya sendiri.
Lorina terdiam dan memikirkan kalimat demi kalimat yang dilontarkan Xiaoya padanya.
"Minggu depan kan? Jangan lupa jemput aku tepat waktu," ucap Lorina lalu kembali melanjutkan tidurnya. Sesungguhnya ia tidak benar-benar tidur, ia memikirkan kemungkinan pekerjaan yang mungkin akan didapatkannya seperti perkataan Xiaoya.
Xiaoya tampak terlihat puas dengan Lorina yang akhirnya menyetujui hadir dalam acara peresmian kerja sama agensi mereka, ia menunjukkan senyum lebarnya yang seketika membuatnya terlihat begitu feminim.
"Siap! Aku pasti datang tepat waktu, aku pergi ya!" seru Xiaoya sembari berjalan keluar dari rumah mewah Lorina, ia tak lupa mematikan seluruh lampu selain lampu teras seperti yang disuruhkan Lorina padanya.
Sebelum benar-benar pergi, Xiaoya menuliskan secarik kertas untuk mengingatkan asisten rumah tangga Lorina, agar Lorina tetap diperhatikan jam makan siang dan makan malamnya. Secarik kertas itu diletakkan di depan kulkas, agar asisten rumah tangga yang bekerja tiap pagi hingga sore, bisa melihat kertas itu saat datang bekerja besok. Xiaoya memang sangat perhatian.
***
Tokyo, Jepang.
Seseorang tampak sedang bersantai di sebuah ruangan baca yang cukup luas, dengan banyaknya pilihan buku yang datang dari berbagai genre. Wangi buki-buku tua membuat ruangan itu semakin nyaman untuk sekadar dikunjungi sebagai penghilang rasa penat dan penenang semata. Namun, ada yang aneh dari orang itu, berada di ruangan baca, ia malah asik bermain game di handphone-nya, tak satupun buku disentuh olehnya.
Orang itu berteriak cukup keras saat karakter yang dimainkannya dalam game pertarungan harus berhenti karena K.O, ia lalu keluar dari aplikasi game itu dengan kesal, lalu menaruh handphone-nya dengan asal di atas meja.
"Kau sudah puas bermain game? Bagaimana kalau lanjut menulis saja?" tanya orang di hadapannya sembari menaikkan laptop ke depan orang yang bermain game tadi.
"Aku belum memiliki ide, Pak Kento," balas orang itu sembari meregangkan cara duduknya, melipat tangannya dan memejamkan mata. Ia memanggil orang di depannya dengan sebutan yang begitu sopan, dan orang itu bernama Kento.
"Hideo Sato! Mau sampai kapan kau begini? Jangan lupa bahwa novelmu yang terakhir rilis dua tahun lalu! Sejak itu kau tidak menghasilkan karya apa-apa lagi, kau tidak bisa selamanya berdiam diri dan bermain game semaumu," protes Pak Kento terhadap pria penyuka game bernama Hideo Sato. Kita semua sudah bisa menebak, bahwa Hideo adalah seorang penulis novel.
Hideo tak merasa senang dengan perkataan yang ditujukan padanya barusan, namun ia juga tak bisa mengelak, sebab tak ada yang salah dari perkataan itu.
"Aku masih berusaha," ucap Hideo pelan.
"Sampai kapan? Kau sudah terlalu jauh tenggelam dalam keadaan writers block, aku tak ingin kau hilang," ucap Pak Kento penuh kekhawatiran.
"Jangan khawatir Pak CEO, tanpa aku juga kau masih memiliki banyak penulis handal lainnya," ucap Hideo santai. Rupanya Pak Kento merupakan seorang CEO penerbit tempatnya bernaung.
Hideo Sato, pria Jepang berusia dua puluh enam tahun. Ia sudah menekuni karirnya sebagai penulis selama empat tahun. Sejauh ini, ia sudah merilis tiga buah novel fantasi dibawah naungan Top Media, salah satu penerbit terkenal di Jepang, yang mana CEO-nya adalah Pak Kento, orang yang sangat menyukai Hideo Sato.
Pak Kento tidak akan lupa, bagaimana seorang Hideo Sato mengejarnya hingga ke bandara empat tahun lalu, dengan sebuah naskah tebal di tangannya. Saat itu Hideo baru saja menyelesaikan kuliahnya, ia tidak berniat mencari pekerjaan lain, dan hanya berfokus untuk menjadi penulis. Akibat kegigihannya mengejar Pak Kento selama berbulan-bulan, akhirnya Pak Kento bersedia menerima Hideo sebagai penulis di bawah naungannya. Sejak saat itu, Hideo menulis novel fantasi dengan begitu giat, ia tidak pernah menulis novel dengan genre lain. Fantasi membawa novel kedua dan ketiganya menjadi best seller. Ia menjadi salah satu penulis fantasi terkenal di Jepang.
Namun dua tahun ini tidak berjalan sesuai rencana. Hideo Sato tidak lagi menulis. Penggemarnya memenuhi website Top Media untuk menagih hasil karya seorang Hideo Sato. Hideo Sayo menghilang bak ditelan bumi, bahkan ia tidak berani muncul di halaman penggemar hanya untuk sekadar menyapa. Ah benar! Tidak ada satupun penggemar yang tahu bagaimana wujud asli seorang Hideo Sato. Hideo Sato berlindung di balik nama pena Satohi.
"Jangan pedulikan aku, yang aku khawatirkan yaitu dirimu sendiri. Begini saja, kau ikut denganku ke Beijing besok, aku akan memesan tiket untukmu," ucap Pak Kento. Sebuah kerutan terlihat jelas di dahi Hideo. Ia menatap Pak Kento dengan wakah malasnya.
"Untuk apa?" tanya Hideo.
"Kau harus berada di lingkungan baru. Jepang sudah terlalu pengap untukmu. Barangkali kau bisa meraih ide-ide cemerlang di sana," jawab Pak Kento dengan antusiasnya.
"Kalau aku mau aku bisa pergi sendiri, untuk apa pergi berdua denganmu," protes Hideo.
"Kau sudah lupa? Penerbit kita bekerja sama dengan Glam Entertainment Beijing, beberapa hari lagi akan ada acara peresmian di sana. Kau bisa sekalian berlibur," tutur Pak Kento.
"Oh, novel Akane?" tanya Hideo, pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya. Akane adalah penulis yang novelnya akan diadaptasi menjadi drama oleh Glam Entertainment, agensi Lorina.
"Iya, dia tidak bisa ikut ke Beijing, jadi aku akan membawamu saja," tutur Pak Kento.
"Ya, beberapa hari lagi adalah hari perayaan kematian kakaknya, dia tidak akan mau diganggu sebelum itu," ucap Hideo dengan mimik wajah sendu.
"Wohoo, sang mantan memang paling tahu," goda Pak Kento. Benar, Akane Ruan adalah mantan kekasih Hideo. Mereka berada di bawah naungan penerbit yang sama.
Hideo geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Aku malas pergi, Pak Kento sendiri saja," tutur Hideo.
"Tidak, tidak ada penolakan, kita akan berangkat besok malam," ucap Pak Kento. Ia bangkit berdiri, memberikan senyum lebar menyebalkannya lalu meninggalkan Hideo.
Hideo Sato tampak menghela napas pasrahnya.
***
Beijing, 1 April 2021.
Musim Semi menaungi sebagian besar kawasan Cina termasuk Beijing. Musim yang sangat disukai oleh banyak orang, sebab orang bebas kemana saja dengan nyaman pada musim ini. Pemandangan alam juga semakin cantik dengan tumbuhan yang tengah bersemi dengan manisnya. Musim yang tepat untuk Hideo Sato menginjakkam kakinya untuk pertama kali di negara ini, ah tepatnya, di kota ini.
Hideo tengah berada dalam perjalan menuju tempat penginapan bersama Pak Kento yang sedang terlelap, padahal bukan perjalan jauh, namun ia merasa begitu lelah. Hideo sendiri lebih memilih untuk menikmati betapa cantiknya musim semi di Beijing. Ia tidak mau ketinggalan sedikitpun pemandangan yang sebelumnya belum pernah dilihatnya.
Mobil yang membawanya berhenti di sebuah lampu merah. Mata Hideo tertuju pada seorang wanita berambut panjang cokelat dan memakai kaca mata hitam, yang sedang membantu nenek tua menyeberangi jalan.
Sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, Hideo tiba-tiba meminta untuk berhenti di jalan itu.
"Aku turun di sini saja, tolong sampaikan pada Pak Kento jika ia terbangun, bahwa aku akan menyusulnya sendiri ke hotel," ucap Hideo dalam bahasa Inggris, ia tidak tahu berbicara dalam bahasa Cina, dan ia sudah menebak bahwa sopir bandara yang membawa mereka sudah pasti tidak bisa berbahasa Jepang.
"Baik, Pak," jawab sopir itu.
Bersambung.