"He-hentikan! Jangan sentuh dia! Aku sudah memberikan dompetku,'kan?" Kak Diana memeluk pinggangku. Aku kembali menangis.
"Tenang saja, aku hanya akan menjadikannya sandra." Ia menjawab dengan tersenyum dan menendang kakakku. Kak Diana terhempas. Kak Allie menopang tubuh kak Diana yang terhempas.
"A-Apa yang kau lakukan!? Kalau ingin sandra, bawa saja aku!" Kak Allie menangis.
"Ti-tidak, bawa saja aku! Mereka berdua masih kecil, mungkin saja akan merepotkanmu. Aku mohon." Kak Diana mencoba berdiri. Aku hanya memberontak dan menangis.
Aku merasa bersalah pada diriku sendiri, aku membenci diriku sendiri. Semua orang dan para robot hanya melihat kami bertiga dengan tatapan belas kasihan. Perampok itu kembali tersenyum
"Maaf saja, aku menolak permintaan kalian berdua." Ia membawaku dengan paksa.
Kak Diana memegang kaki kanan sang perampok yang membawaku sedangkan Kak Allie memegang erat kaki kirinya. Aku takut. Aku terus memberontak, aku takut dengan yang akan terjadi kepada kakakku dan akhirnya aku mencoba untuk melawan, aku menggigit tangan kanan yang menggenggam erat tanganku, sementara perampok ini sibuk menendang Kak Allie dan Kak Diana, gigiku kutancap semakin keras.
"APA YANG KAU LAKUKAN!?" tubuhku terpental. Kak Diana dan Kak Allie pun ikut terpental.
Ia mulai mengeluarkan pistolnya dan menodongkannya di depan mataku. "Apa kau ingin adik kecilmu mati!?" Ia terlihat kesal. Tubuhku kaku, tangisanku berhenti, detak jantungku terdengar jelas ditelingaku, aku hanya terisak, aku tak dapat bergerak. Lubang pistol itu berada tepat di depan mataku.
Duar!
Suara tembakan terdengar jelas ditelingaku. Aku melihatnya. Jantungku berhenti berdetak. Darah merah itu mulai mengalir di depan mataku, bajuku dan rambutku.
"RIO!!" Kak Allie menangis hebat. Penumpang kereta menjadi panik dan kembali menjerit.
Perampok yang menyeretku tadi tergeletak tak berdaya di depan mataku, sebuah lubang terlihat di kepalanya. Tubuhku gemetar, jantungku kembali berdetak. Aku melihatnya, sebuah robot dengan topi koboi dilengkapi pistol di kedua lengannya. Robot itu menembak pemimpin perampok di depan mataku. Robot itu tersenyum, namun itu tidak berlangsung lama.
Tuing!
Duar!
Di depan mataku, aku menyaksikan lagi, sebuah kematian, korban keempat, ia adalah robot yang telah menyelamatkanku. Aku kembali menangis, darah di pipi, rambut, dan baju aku hiraukan, aku menangis begitu keras, darah itu seperti mengalir dari kedua mataku. Kulihat Kak Diana tidak dapat bergerak karena kepalanya terbentur keras hingga mengeluarkan darah, Kak Allie menghampiriku dan mendekap tubuhku.
"BERANINYA KAU MEMBUNUH PIMPINAN KAMI!!" Perampok berbaju hitam itu berjalan mendekati kami bertiga, 1 perampok lagi berbaju hijau yang tadi membunuh robot penyelamatku juga ikut mendekati kami bertiga. 2 perampok itu menembak setiap robot yang dilihatnya, ada juga beberapa manusia yang terkena pelurunya, korban terus menerus bertambah, pecahan kaca membuat suasana kereta semakin ricuh. "SUDAH KUBILANG DIAM!!" Perampok berbaju hitam mengatakannya dengan lantang, perampok berbaju hijau terus menerus menembaki jendela dan robot. Semuanya kembali diam tak ada yang melawan hanya terdengar isakan tangis dan aura ketakutan yang menyelimuti gerbong ini. Mereka terus berjalan sambil menodongkan pistolnya. Akhirnya mereka berdua sampai di depan kami bertiga. Kak Allie memalingkan wajahnya dan mendekapku lebih erat, ia menangis. Kak Diana masih tak sadarkan diri, aku berharap ia hanya pingsan, aku tak bisa menolongnya, aku takut.
"Oke, baiklah kau akan membayarnya dengan nyawamu." Perampok berbaju hitam itu tersenyum sinis, tangan kanannya memegang pistol yang ditodongkan kepada kami berdua. Air mataku tak ada habisnya, apakah ini akan menjadi hari terakhirku? Aku belum siap.
Duar!
Jleb.
Terdengar suara tembakan dari arah belakang perampok berbaju hitam itu. Aku kembali melihatnya, robot dengan topi koboi itu yang tergeletak diujung gerbong, dengan pistol yang diarahkan ke arah kami bertiga, pistol itu mengeluarkan sedikit asap yang berarti pelurunya telah diluncurkan.
Bruk
Seseorang tergeletak tak berdaya di belakang perampok berbaju hitam yang tak lain adalah perampok berbaju hijau. Ia tertembak tepat di jantungnya, ia tertembak saat akan memindahkan mayat bosnya.
"AP-APA YANG KAU LAKUKAN, HAH!" Perampok berbaju hitam melihat ke arah robot itu, ia akhirnya memukul kepala Kak Allie dengan pistolnya dan menginjak kakinya, Kak Allie menjerit kesakitan, suara tulang yang retak terdengar jelas di telingaku, tubuh Kak Allie jatuh, ia melemah dan akhirnya tak sadarkan diri, Aku hanya bisa menangis di bawah tubuh Kak Allie dan menguncang guncang tubuhnya, semua penumpang tak ada yang menolong, mereka hanya melihat kami bertiga dengan tatapan iba.
"Akan kuurus kau nanti." Perampok itu menjauhi kami bertiga dan mendekati robot bertopi koboi, ia menganggat tubuh robot itu. Aku merasa aneh, seharusnya aku tak merasa seperti ini, merasakan lega. Aku berhenti menangis karena air mataku tak ada yang bisa kukeluarkan lagi. Apa yang harus kulakukan? Setelah selesai dengan robot itu maka selanjutnya adalah kami bertiga. Perampok berbaju hitam itu meluapkan kekesalannya dengan menembaki tubuh robot itu berkali kali, aku tak tega melihatnya, namun jelas nyawa manusia lebih berharga daripada robot. Tapi aku sama sekali belum berterimakasih kepada robot itu. Aku melihat pistol yang tergeletak tak terpakai didepan mataku, aku mencoba memberanikan diri, aku mengambil pistol itu, tanganku gemetar. "A-apa yang akan kau lakukan, Rio? Apa kau berniat membunuhnya?" aku sama sekali tak mempedulikan pikiranku. Aku mengelap darah yang berada dipipiku dan menarik nafasku dalam-dalam. Perampok itu masih terus menembaki robot itu walau setengah badannya sudah menjadi rongsokan. Aku mengisi pelurunya, aku menelan ludah. Apakah ini yang terbaik? Kak Allie dan Kak Diana masih tak sadarkan diri. Aku memfokuskan mataku, aku kembali menarik nafas.
Apakah ini normal? Bocah 7 tahun membunuh seorang perampok?
Aku kembali tak mempedulikan isi pikiranku. Perampok itu berbalik arah, aku kaget dan secara tak sadar aku menarik pelatuk pistol dilenganku lal—
Tok! Tok!
"Rio? Kau masih didalam?" suara Henry membuatku sadar. Aku membuka mataku.
"Ya-ya," Aku menjawabnya dengan gugup.
"Kita sudah sampai, aku dan Eli akan menunggu diluar. Apa kau perlu bantuan? Apa kau baik baik saja?" Henry mencemaskanku.
"Ya-ya terimakasih, aku baik baik saja, aku segera kesana."
Henry tak menjawab lagi, sepertinya dia sudah menunggu diluar, aku merasakan jantungku masih berdegub kencang, kulihat cermin, air mata membasahi hampir seluruh pipiku. Aku mengambil tisu dan membersihkan wajahku dengan air. Aku keluar dari toilet. Rasa mualku berkurang banyak. Dan ternyata Henry menungguku di depan kamar mandi "Apa kau baik baik saja?" Aku hanya mengangguk, dia tersenyum. Aku dan Henry berjalan keluar kereta, kulihat Eli di luar, ia melambaikan tangan, aku dan Henry membalasnya dan berlari. Angin berhembus lembut menyentuh kulitku, akhirnya kami bertiga sampai, sampai di Kota Troya. Perjalanan kami baru saja dimulai!