Bunyi langkah sepatu menggema di loby. Dia berlari dengan kencang dengan napas yang tersenggal. Deru napasnya berat sulit terkendalikan.
Sebuah benda kotak yang dia genggam, di dekatkan dan di scan, sehingga palang pintu yang menghalangi jalannya dapat terbuka. Lalu, tak lama wanita itu masuk ke dalam.
Dia berlari menekan tombol lift dengan gugup. Sekali melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangan mungilnya.
Menunggu lift yang tak kunjung terbuka, akhirnya wanita itu berdecih dan memilih untuk pergi menaiki tangga.
"Sial! Aku pasti terlambat."
Dia melangkah naik ke atas tangga dengan gesit. Tak membiarkan waktu terbuang begitu banyak. Karena pada dasarnya dia sudah membuang waktu banyak terlambat untuk datang ke kantor.
Dia terus menaiki tangga, mengesampingkan rasa lelah dan begitu ngos - ngosannya dia.
Saat sudah mencapai tangga yang terakhir. Dia berhenti sejenak mengambil napas. "Aku belum terlambat…"
Dia berlari menuju ujung di mana terdapat sebuah ruangan yang cukup besar. Tangannya menggapai knop pintu dan membukanya, masuk.
"Maaf, saya terlambat!"
Manik matanya masih tak sadar, bahwa di ruangan itu sudah di penuhi orang yang sedang menjalankan rapat dengan kondusif. Dia masih mengatur napas yang ngos - ngosan akibat berlari tadi.
"Keluar."
Suara baruton mengintrupsi membuat wanita itu mengerjapkan mata. Dia mendongak untuk melihat intrupsi siapa yang dia dengar.
Seorang pria tampan dengan setelan formalnya berdiri di depan ruang rapat. Tatapan tajamnya seolah menusuk manik matanya.
"Ke— keluar? Bahkan ini belum telat lama. Saya hanya terlambat satu detik, dan saya di suruh ke luar? Apa kah bercanda?" tanyanya dengan tidak senang.
Pria yang memiliki suara bariton itu, memukul meja dengan kedua tangannya sambil menatap tajam Anggita, wanita yang terlambat datang meeting pagi ini.
"Kamu harus mengulang pada sekolah dasar rupanya Nona. Satu detik, masuk dalam pergantian waktu sesuai dengan kesepakatan jam kerja. Apa ketua divisi kamu tidak membriefing untuk meeting hari ini, ha?!" teriaknya menakutkan.
Anggita hanya diam, di bentak di depan umum. Dia tidak suka. Dia merasa hanya karena berbeda satu detik, apa iya dia harus di permalukan seperti ini? Tidak adil rasanya.
Anggita menghela napas. Dia akan membuka mulut untuk beradu argumen dengan pria asing yang memimpin jalan rapat kali ini. Namun, sebuah tangan menariknya ke luar.
"Anggita! Shss… mau mati? Jangan bantah mulu. Udah," bisiknya.
Anggita yang di tarik, dia menahan tangannya untuk di ajak pergi. Dia masih bersikukuh pada pendiriannya. "Mel, aku kan engga ngerasa salah! Aku engga mau kesannya aku salah telat berjam - jam. Aku tadi rela buat naik tangga. Ya karena itu aku telat sedetik. Sedetik doang please… tapi-"
"Jika tidak ada yang mematuhi intruksi saya. Silahkan ambil surat resign kalian di meja saya! Bukan hanya untuk satu orang, tapi semuanya!" kata pria asing itu dengan sangat dingin.
Anggit menoleh ke arahnya. Dia mengepalkan tangan. Amel pun yang melihat Anggita kesal, dia menarik paksa Anggita untuk pergi dari sana.
"Ayo!! Buruan ih."
Sementara pria dingin itu masih menatap taham kepergian Anggit yang menjauh dan pintu ruangn rapat pun tertutup.
"Rapat bisa kembali di lanjutakan."
—
Anggita yang duduk di mejanya merasa kesal. "Ih! Sumpah. Dia itu siapa?! Kenapa sih sok banget jadi orang. Gila, sedetik doang please bedanya. Tapi lebay banget suruh acara ngusir segala."
Amel tersenyum. Dia meletakan segelas teh di meja Anggita. "Minum dulu. Biar engga stress."
Wanita itu meneguk teh yang di berikan dari Amel. Dia butuh ketenangan menghadapi situasi yang menyebalkan.
"Denger - denger itu Bos baru."
"Bos?" tanya Anggita dengan heran.
Amel mengangguk. "Yaps. Dan tau engga. Itu orang gosipnya lebih galak dari pada Bos lama."
"Emang dia siapa? Kok bisa gantiin Bos lama kita? Setahu aku, Mel, Bos kita itu long last kalau mimpin perusahaan," heran Anggita.
"Emm, entah. Mana tau. Coba tanya orangnya sendiri," goda Amel pada Anggita.
"Ck! Najis. Bisa stress lama - lama kalau berhadap sama orang sombong kaya dia."
Anggita kembali meminum tehnya. Dia minum, sambil mengingat kejadian yang baru saja dia alami. Tapi, dia merasa aneh. Kenapa dia merasa seperti pernah melihat wajah dingin, dengan rahang tegasnya? Namun… di mana?
Ah, tidak! Pasti dia hanya merasa saja seperti pernah mengenalnya.
—
Seperi pekerja kantoran lainnya. Sebagai staff marketing tentu saja Anggita melakukan pekerjaannya. Dia mengubungi beberapa klien yang di tawarkan bekerja sama dengan perusahaan yang dia naungi.
"Baik Bapak, saya tunggu kabar baik selanjutnya. Selamat siang."
Anggita menghela napas lega. Setidaknya pekerjaan dia hari ini lebih maksimal di banding sebelumnya.
Wanita itu nampak mengolet dan meregangkan tubuhnya. "Argh! Kayanya butuh ngisi makan nih."
Anggita menoleh ke sekitar, dan mencari Amel, teman kantornya.
"Mana si Amel? Di cariin ilang kaya setan. Tapi engga di cariin nongol kaya setan. Aneh emang itu anak!"
Anggita pun yang sudah lapar tak ambil pusing. Dia lalu bangkit dari duduknya dan kemudian melangkahkan kaki keluar dari office untuk menuju kantin.
Dia berjalan sambil memainkan ponselnya. Mencoba menghubungi Amel dengan pesan text, agar dia menyusul ke kantin untuk makan siang bersama seperti biasanya.
Saat dia sampai di lift, wanita itu menekan tombol, dan menunggu lift menjadi terbuka. Menunggu, sambil memainkan ponsel, mengusir rasa bosannya.
Ting!
Wanita itu masuk tanpa menoleh ke depan, karena sambil memainkan ponsel. Dia memasuki lift, dan lift pun menjadi tertutup. Bahkan, dia menekan tombol lantai dasar tanpa melihat, dan sibuk pada ponselnya.
"Astaga ini anak, ternyata udah makan siang duluan sama si Ko Andre. Biasa dah kalau udah mulai bucin, dunia serasa ngontrak deh rasanya," ujarnya dengan terkekeh geli.
"Dan kalau sudah asik bermain ponsel, bahkan sepatu saya yang menjadi korbannya."
Anggita terdiam. Suara bariton itu kembali mengintrupsi di telinganya. Apa dia tak salah dengar?
Dia mencoba mengelus telinganya barang kali dia salah dengar. Mana mungkin sih dia bersama dengan pria yang menggantikan atasannya lama, dalam satu lift yang merupakan lift karyawan.
"Argh! Mana mungkin. Perasaan aja sih. Ngga mungkin, ck!"
Glek!
Sepatu heelsnya semakin menginjak sesuatu yang tak rata di permukaan belakangnya. Anggit mengerutkan kening merasakan hal aneh.
Dia menoleh pada bawah kakinya, melihat heels sepatunya. Sebuah sepatu hitam dengan gaya monk straps yang sangat licin dan glosy itu berada di bawah heelsnya.
Anggita meneguk salivanya. Dia merasa masuk sendiri di lift, dan kenapa ada sepatu yang dia injak saat ini?
Dengan gugup dia menoleh ke belakang. Matanya melebar dengan terkejut. Bahkan saking terkejutnya dia mundur dan menabrak dinding lift.
"Ha! A— anda?!"
Tatapan yang masih sama, dingin dan tak berekspresi itu diam. Dia melirik sepatunya yang kotor dan berbekas.
Tak lama pria itu merogoh sesuatu di sakunya dan membawa ke samping telinganya. "Daniel, bawakan sepatu milik saya yang baru ke ruangan. Saya tunggu."
Mendengarnya, Anggita panik. "Pak— maaf, saya tidak melihat anda di belakang saya. Saya-"
Ting!
Lift terbuka. Pria itu yang ada di depannya, mengibaskan tangan sebagai tanda Anggita di minta menggeser tubuh.
"Kamu bisa berhenti dan minggir? Saya harus ke luar."
Anggita langsung menggeser tubuh. Tak mengucap sepatah kata, pria itu pergi ke luar dari lift. Melihatnya ke luar, Anggita memukul kepalanya.
"Sial! Mampus, bakal di tandai seumur hidup ini sama bos. Arghh!"