Rabu, 20 Februari 2013
"Bu, saya minta keadilan bu." ujarku dengan geram dan tangan yang mengepal.
"Kamu mau minta keadilan yang seperti apa? kalau buktinya sudah ada, dan banyak saksi mata." jelas wanita penyihir berkedok guru di hadapanku.
"Tapi bu, Dhika nggak salah, Dhika di tuduh sama mereka dia orang bu."
"Halah alasan saja, sudah-sudah kamu saya skors tidak masuk sekolah sampai kamu mengakui kesalahan kamu."
"Hah, di skors bu, tapi kan saya tidak..."
"Sudah-sudah jangan ngeles lagi kamu, besok tidak usah masuk sekolah."
"Baik bu!" jawabku dengan lemas dan lesu, berjalan keluar kantor tertunduk.
Aku menahan air mataku agar tidak keluar, sementara mereka yang tidak menyukai ku, tertawa puas. Dan aku hanya menutup mata dan berusaha tidak mendengarkan perkataan mereka.
Kejadian yang sebenarnya terjadi. Seperti biasa, saat istirahat di mulai, mereka menyeret ku masuk kedalam kamar mandi. Mereka menyiramkan air dan menghamburkan sampah di atas kepala ku. Para pembuli itu sangatlah senang dan bahagia atas perbuatannya.
Salsa ketua dari gang chibi-chibi, adalah anak dari seorang pejabat yang tersohor di kota ku. ia tak menyukai sikap Yani yang selalu membela ku, walau ia juga ikut membuliku. sebenarnya Yani adalah gadis yang baik, namun karena suatu hal ia harus berteman dengannya walau itu tak membuat nya bahagia.
"Lu suka ya sama Dhika?" ujar Salsa.
"Nggak sa, gw cuma kasihan aja."
"Halah halah, nggak usah sok kasihan lu, lu aja ikutan kan tadi."
"Iya tapi..."
Salsa memotong perkataan Yani, dan dengan keras menjambak rambutnya. "Lu suka kan sama Dhika, ngaku aja dah lu!"
"aaaahhh, ng... nggak sa nggk," jelasnya, kemudian karena tangan Salsa yang geram menjambak keras rambut Yani. "Sakit sa ampun." Yani memohon.
"Percuma lu suka sama dia, dan percuma juga lu minta maaf pas gw lagi marah. Nih rasain perbuatan lu." Salsa dan kawan-kawan nya menyeret Yani menghadap sebuah kloset duduk. Ia menenggelamkan kepala Yani kedalam toilet, sementara itu teman-temannya menyiramnya, bahkan tak segan-segan mereka mengencinginya. Pemandangan yang membuat ku muak dan kesal. tapi aku tak bisa apa-apa karena tanganku sudah di ikat.
"hahahahahahaha..." mereka tertawa dengan puasnya. "rasain tuh akibatnya kalau ngelawan gw." kata Salsa.
Yani menangis dan tidak terima, ia melawan Salsa namun kekuatannya begitu lemah. Karena teman-temannya menghadang ia menyakiti Salsa.
"Ngapa lu mau ngelawan hah? nggk akan bisa woiii!!" Salsa kembali menjambak rambutnya. Kali ini karena Salsa semakin geram, tak segan-segan ia mejedutkan kepala Yani ke tembok begitu keras, dan membuatnya bocor, karena Yani tak tahan melihat darahnya ia pingsan.
"woii... woii... woii... gimana ini, haduuuhh gmn woii!" Salsa terlihat begitu panik dan cemas atas perbuatannya.
"Eh sa, lihat kan ada Dhika." ujar seorang padanya.
"Aaahh pinter juga lu, cepat panggil guru."
lalu salah seorang berlari, sedangkan ikatan di tangan ku di lepaskan.
aku yang ingin pergi di hadang olehnya. "Lu mau kemana? sini aja... kalau lu pergi dari sini gw pecahin juga pala lu!" ancamnya yang membuat ku tak dapat berkutik.
"Bu, lihat bu ini tadi saya lihat si Dhika yang mecahin kepalanya Yani bu!"
dan akhirnya si guru berjelma siluman itu percaya begitu saja, dan segera membawa Yani untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Aku tak hanya diberikan sangsi skors dari sekolahan, bahkan denda yang seharusnya bukan aku tanggung turut diberikan kepada ku. "Tuhan kenapa kau berikan cobaan ini kepadaku?" ujarku dalam hati.
-------
"Assalamualaikum."
Dengan jalan tertunduk sedih, aku memasuki rumah. "Loh, Dhika kok dah pulang?" tanya ayah yang mengagetkanku dari belakang.
"Eh-hmm, a-anu ini yah, tadi guru-guru rapat sekolah, jadi sekolah di adakan hanya setengah hari." jelasku dengan gugup.
"Oooohhh... kamu habis nangis dhik, kok matanya sembab?" tanya ayah yang terheran.
Aku tak dapat mengatakan apapun, langsung ku peluk dia yang sedang berdiri membawa makanannya. Aku membisikkan ketelinganya, "Dhika di skors dari sekolahan, jadi ayah besok datang kesekolahan." bisikku dengan gugup dan takut.
"Asstaghfirullah, Dhika kamu berani bohongin ayah, katanya tadi gurunya rapat, sekarang begini?" bentak ayah mengelus dada, karena aku membohonginya barusan. "Terus kenapa kamu di skors?"
"Yah, Dhika nggak ngelakuin apa-apa, tapi Dhika yang di tuduh buat ngelakuin itu, Dhika yang menjadi saksi dengan mata kepala Dhika." aku menjelaskan dengan bergemetar dan ketakutan, mataku kembali memerah air mata kembali membasahi pipiku.
"Emang kenapa, kok bisa kamu di tuduh siapa yang nuduh kamu?"
Aku menceritakan semua kejadiannya kepada ayah, keringat dingin mengucur deras. "Plak!!!" Ayah menampar wajahku, "Ayah nggak percaya sama mulut kamu, kalau kamu nggak suka nggak usah salahin orang lain, ayah tahu dia anaknya seperti apa baik, sopan, kamu iri kan makanya disekolahan kamu nyelakain temennya, biadab kamu." ayah terus-terusan membentakku, ia tak percaya dengan apa yang aku ceritakan barusan, sedangkan aku tak percaya ia membela Salsa karena memang ia adalah anak yang begitu baik dan polos di pandangan seluruh warga. Bahkan ayah dan ibu selalu membanding-bandingkan aku dengannya.
"Anak ayah aku atau Salsa?", "Ayah nggak tahu banyak hal tentang Salsa, ayah cuma tahu covernya saja, sebenarnya dia itu penindas yang menggunakan jabatan ayahnya sebagai tameng." Aku membentak ayah merasa benar-benar kecewa, karena aku tak memiliki lagi seorang yang bisa ku percaya.
Seperti yang aku katakan tadi, ia benar-benar begitu ramah dengan orang tua, bahkan mencari muka di mata publik. Sedangkan disekolah, ia menggunakan jabatan ayahnya untuk membeli seorang teman, aku tahu beberapa kali teman-teman di gengnya selalu membicarakan keburukan dirinya di belakang. Dan aku pun heran kepada para guru, mereka begitu takut dengan ayahnya yang menjabat sebagai seorang lurah di desa. Mungkin saja mereka takut untuk kehilangan pekerjaannya di bandingkan kehilangan seorang murid. Bahkan aku berharap Salsa mati dalam perjalanan ia tumbuh menjadi dewasa.
Aku akhirnya meninggalkan ayah yang sedang mengomel tidak jelas, aku benar-benar menutup telinga dan mata. Aku mengunci diri dalam kamar, menulis kejadian ini dalam lembar kertas. Bahkan ku sempat berfikir, apakah aku benar anak yang terlahir di keluarga ini? karena mereka selalu membanding-bandingkan aku dengan anak lain. Kalau ditanya iri atau nggak, jelas merasa iri dan benar-benar nggak pd, baik itu di depan keluarga atau depan teman kelas sekalipun.
---------------------------
Oh iya, ini cerita terjadi saat aku duduk di bangku kelas 5 SD, tak ingat jelas apa saja yang terjadi saat itu. tapi aku ingin menceritakan keluh kesahku pada dunia ini, melalui perjalanan bait kata yang aku tulis disini.
Btw, namaku Dhika Argalia Pratama, menjadi seorang yang tidak percaya diri dan benar-benar introvert serta masa bodo pada dunia yang sedang berjalan. Karena selalu dibanding-bandingkan oleh keluarga dengan anak orang lain yang lebih unggul. Padahal kalau aku juara satu sekali pun, mereka tak pernah memberiku dukungan, atau masa bodo dengan nilai yang aku dapat dari sekolah. Tapi mulut mereka tidak berenti untuk terus membandingkan aku dengan orang lain.
Aku akan melanjutkan cerita. Keesokan harinya ayah benar-benar datang, aku tak paham apa yang mereka katakan. Tapi ayah mengatakan bahwa aku memang anak yang nakal dan bandel dirumah, padahal sebaliknya. Aku masih terheran-heran kala itu. dan sangsi untuk denda biaya rumah sakit orang tuaku yang menanggungnya, "Hah, betapa enaknya dia yang menuduhku sembarangan," gumamku dalam hati.
Skors dua minggu di rumah itu sangatlah membosankan, aku tetap saja mengunci diri di dalam kamar, sedangkan malam hari ayah memaksa ku untuk mengakui kesalahanku. Tapi aku tidak bersalah, apa yang harus aku akui? Terus-terusan ayah memaksaku untuk berkata jujur, hingga membuat mentalku benar-benar down. Demam tinggi menyelimuti ku kala itu. Ibu memohon pada ayah untuk berhenti memaksaku mengatakan yang sejujurnya, ibu tahu aku tidak bercerita bohong, tapi karena ayah masih begitu malu dengan kejadian itu, aku di paksa untuk mengakui kesalahan ku.
"Terimakasih bu," bisikku di dekat telinganya.
Ibu berusaha keras untuk menjauhkan ku dari pertanyaan ayah yang membuatku semakin pusing, bahkan sempat mereka bertengkar. "Aaaagghhhh!!! aku memang anak pembawa masalah dikeluarga ini." bahkan sempat aku berfikir, "Kenapa aku lahir?" hah lelah.
-------------
Dua Minggu sudah masa hukuman ku selesai dan aku telah pulih dari demam sedangkan ayah, kembali bekerja di luar kota, meninggalkan kami berdua. Aku kembali ke sekolahan terkutuk itu, sepertinya memang tak ada keadilan untuk murid-murid yang tidak mampu seperti aku, sedang mereka yang dapat membayar upah guru lebih tinggi, akan dipuja-puja seperti dewa. Hah aku pikir guru adalah panutan, sepertinya tidak sama sekali untuk mereka.
Belum saja sehari aku masuk sekolah, mereka datang lagi menghantui ku. Kini Salsa tidak sendirian ia telah bergabung dengan Wanda sepupunya. Ia juga seorang ketua geng di kalangan adam. Sama-sama anak pejabat, memang anak-anak pejabat begitu sombong dan angkuh.
"Woiii... Dhika ikut kita orang!" pinta mereka memaksa.
"Hah, ng-nggak sa!"
"Waaahhh... waaahhh udah berani ngebantah kamu ya?" ujar Salsa.
"Ng-nggak sa, aku mau belajar besok ujian."
"Nggak usah sok pinter lu ya, sampe lu rangking satu lagi, gw patahin tangan lu."
Dari lorong yang sunyi dan sepi, karena anak-anak sedang berada di luar ruangan, terdengar langkah kaki. "tap tap tap" mereka panik dan segera melihat siapakah pemilik langkah kaki tersebut.
"Salsa psssttt!!" salah seorang anak laki datang membisikkan sesuatu. "Waahhh ide bagus tuh."
bisik Salsa setuju.
Kemudian "Plaaakkkk!!!" tamparan keras mendarat di pipi Salsa. "Gile sakit banget danc!!!" ia menahan sakitnya lalu mengaduh kesakitan. Seketika seorang guru datang dari balik pintu, ia bertanya dengan nada memelas ke Salsa.
"Kamu kenapa nak?" tanyanya.
"Ini bu, Salsa di tabok sama Dhika, bu." ujar Wanda menyudutkan ku.
Aku bergemetar, ingin menangis, aku menggelengkan kepala, namun guru itu tetap tak percaya kepada ku.
"Hei Dhika, kamu tahu kan bapak mereka berdua, jangan macam-macam kamu sama mereka berdua, kepala sekolah bisa saja mengeluarkan kamu." Kata guru itu dengan nada mengintimidasi.
"Ngg-nggak bu, Dhika nggak ngelakuin apa-apa." aku mencoba untuk membela diriku sendiri.
"Udah, sekarang kamu ikut saya ke kantor." ia menarik ku dengan kasar.
Lagi-lagi aku di masukkan ke dalam kantor, sedangkan para guru semakin mencibir ku. Membuat berita bohong ke seluruh masyarakat sekolah.
"Dhika... Dhika, kok kamu lagi... kamu lagi...." mereka menyoraki ku.
Aku memasuki ruangan kepala sekolah, berhadapan langsung dengannya. Aku berusaha menceritakan yang sebenarnya tapi guru yang membawaku itu memotong ceritaku, dengan dalih. "Banyak anak-anak yang melihat tadi, kalau Salsa di tampar sama Dhika."
"Nggak bu, Dhika nggak melakukan hal seperti itu."
"ngeles kamu ya?" ujarnya.
"Gubrak!!!" Bapak kepala sekolah dengan kencang memukul meja, hingga barang-barang di atasnya melayang tiga centimeter. "Ibu Wendy saya minta buat keluar dari kantor saya!!!" Dengan tegas ia membentak dan mengusirnya dari ruangan tersebut. Keadaan yang sebelumnya ramai, seketika hening dan sunyi, guru-guru lain meninggalkan ruang kantor dan tak ada yang berani menetap didalam.
"Dhika, lihat ini!" bisik Pak Joko selaku kepala sekolah, ia menyodorkan secarik kertas kehadapan ku.
"A-apa ini pak?" aku bertanya gugup dengan air mata yang tak sanggup ku bendung lagi.
"Ini surat dari Yani, bukti kalau kamu nggak bersalah. Yani sudah tidak bisa masuk sekolah lagi." jelasnya.
"Hah kenapa pak, kok bisa ada apa dengan Yani pak?" tanyaku penasaran.
"Ia telah tiada nak, ini surat terakhir dari Yani, sebelum Yani pergi dia telah berkata yang sebenarnya kepada bapak, menceritakan semuanya tentang Salsa, kamu, dan guru itu." Jelasnya lagi.
Aku menggenggam surat itu, rasa bercampur aduk antara senang bahagia dan sedih kecewa memenuhi hatiku. Berderai air mata membasahi pipi ku, memeluk erat pak Joko yang sudah berusaha mencari kebenaran untukku. Tapi karena aku, Yani telah pergi, begitu baiknya ia kepadaku semoga kau tenang di atas sana kawan.
----------------
Selepas dari kejadian itu aku benar-benar tenang, Salsa dan Wanda di adukan ke walinya. Sedangkan wanita penyihir itu, dikelurkan dari sekolah karena telah menerima upah dari kedua anak tersebut. Guru-guru dan teman-teman tak dapat mengira bahwa wanita itu telah bersekongkol dengan mereka. Yang seharusnya guru menjadi panutan yang baik bagi anak didiknya, tapi kenapa ia begitu terhasut dengan uang daripada harga diri dan jabatannya. Sepertinya wanita itu begitu malu atas keberadaannya.
Ayah yang meragukan ceritaku, meminta maaf. Ia benar-benar merasa bersalah, karena keegoisannya membuat anak semata wayangnya menjadi sakit-sakitan dan hampir saja kejiwaan terganggu karena satu masalah, yang seharusnya bisa di selesaikan dengan kepala dingin.
Teman-teman yang menjadi korban bullying, telah bebas dari tangan usil mereka. Sedangkan mereka yang sudah di keluarkan dari sekolah, tak mungkin akan kembali lagi, tapi mereka memaafkan kejadian yang pernah terjadi.
Sedangkan Salsa dan Wanda, tetap bersekolah di situ. Karena memang saat itu hanya tinggal 1 tahun lagi kita semua akan lulus.