Chereads / THE HAUNTED II / Chapter 9 - WICKED 3

Chapter 9 - WICKED 3

Mumpung Tama libur, aku mengajak Tama untuk pergi di Desa T yang terletak di kaki Gunung M. Tempatnya lumayan jauh dari desaku cukup tiga jam perjalanan saja, Kami berangkat setelah menunaikan sholat shubuh. Untuk menghindari penglihatan warga, kami memilih rute melewati sawah, dimana disana ada jalan bekas rel kereta api jaman penjajahan yang menuju ke jalan raya. Aku tahu resiko jika kabur dari rumah karantina itu. tapi pikiran ini juga butuh refreshing.

Entah kenapa, hari itu aku ingin pergi sejauh mungkin. Melepas segala pikiran yang keruh dan aku memilih gunung. Sejak dahulu aku suka ke gunung, gunung mana saja. Baik untuk mendaki atau jalan-jalan.

Kalau liburan kerja, aku pasti menyempatkan memilih salah satu gunung untuk mendaki, memang melelahkan ketika perjalanan menuju puncak, namun segala nikmat dan kepuasan akan kita temui ketika sudah sampai puncak. Gak percaya silakan dibuktikan. Bahkan pernah sekali, karena tidak ada teman untuk mendaki, aku memutuskan untuk solo hiking, mendaki gunung sendirian. Waktu itu aku memilih gunung S salah satu gunung di jawa tengah. Di tengah perjalanan tak jauh dari tempatku berada, samar-samar aku melihat kampung di tengah hutan, padahal sebelumnya kampung itu tak pernah ada , aku sudah dua kali mendaki di gunung itu. pada saat itu aku berfikir dengan logika, jadinya aku terus aja berjalan tanpa menghiraukan kampung.

But Everything has change.. semenjak aku karantina di rumah kosong itu, pemikiranku berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan kehadirannya jelas di depan mata, dan menerorku setiap saat.

"Ham, belok ke Cafe itu." titahku seraya menunjuk sebuah cafe di dekat pintu masuk desa. Aku mengamati penduduk sekitar, walaupun letak desanya terpencil, tapi penduduknya masih menerapkan protokol kesehatan, bahkan disetiap rumah disediakan Padasan yang terbuat dari kaleng cat lama dan sabun di atasnya.

Setelah memarkirkan motor, kita disambut panorama yang sangat menakjubkan. Sawah-sawah yang disusun terasering, aliran sungai yang jernih membelah persawahan, dengan latar belakang pegunungan yang eksotis. Mungkin keliatannya lebay, tapi bagi pelaut sepertiku yang terombang-ambing di lautan cukup lama, sangat jarang melihat pemandangan seperti ini.

"Milktea satu Mas," ujarku kepada pelayan cafe itu. Dia dengan sigap mencatat pesananku, "Kowe opo Ham?"

"Teh anget ae," sahutnya sambil memilih tempat duduk yang menyerupai Gazebo.

"Gimana? Enak 'kan disini?"

"Wenak Mas, sampeyan kok bisa tahu ada cafe disini?"

"Masmu ini 'kan anak gunung, jadi spot gunung yang bagus pasti taulah, Mainmu kurang jauh sih." kelakarku sambil mengambil posisi duduk di seberang Tama. Tama hanya mencebik sambil bersender di pinggir gazebo sambil memainkan ponselnya.

Hening, masing-masing dari kami tenggelam dalam keindahan alam, menarik udara segar sedalam-dalamnya, kabut tipis terasa segar menepuk-nepuk kulit. Melupakan kejadian beberapa hari ini yang cukup menegangkan.

"Ham," kataku hampir seperti orang menggumam.

"iya, Mas," sahutnya tanpa menoleh kearahku. Tangannya masih asyik main game mobil legend.

"Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Pak Muis." Aku berkata penuh ke hati-hatian. Sebenernya males juga. momen refreshing yang seharusnya untuk menyegarkan pikiran harus membahas hal-hal mistis. Walaubagaimanapun aku harus tahu keadaaan Pak Muis, karena dia adalah orang yang berjasa dalam hidupku.

Tama yang semula bersender kembali meneggakan badan. Dia melihat sekitar memastikan kondisi aman, gerak-geriknya sudah seperti mau membuka rahasia negara saja. Dia menghela nafas dan mulai bercerita.

***

Pak Muis adalah duda kaya raya di kampung. Dilingkungan kampung dia dikenal sangat sombong dan angkuh. Dia jarang sekali melakukan berkumpul dengan warga sekitar, bahkan tak mau menyumbangkan uangnya untuk kegiatan sosial yang diadakan di desa. Sebagai juragan sawah, dia juga sering menangguhkan bayaran orang-orang desa yang bekerja di sawahnya. ketika diminta, Beliau justru menghujat mereka dengan kata-kata pedas.

Sebenernya orang-orang enggan untuk bekerja di sawahnya Pak Muis. Karena beliau sering menghRafak mereka dengan kata-kata kasar. Namun karena sawah Pak Muis yang sawahnya bisa dibilang panen besar-besaran dan hampir tidak pernah gagal. Berbeda sawah yang lain yang mengalami serangan wereng, sehingga membuat mereka merugi. Tapi hal itu tidak berlaku dengan sawah milik Pak Muis.

Maka dengan terpaksa, mereka bekerja dengan Pak Muis dan harus tahan mendengar ocehan-ocehan sang juragan yang kadang menyakitkan hati. Hal itu juga terjadi dengan pelayan-pelayan yang bekerja di cafe miliknya, yang sering gonta-ganti pelayan karena tidak tahan dengan perangai Pak Muis, mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan beliau

Hal ini bukan tanpa alasan, karena dulu sebelum menjadi juragan, Pak Muis dihina habis-habisan oleh orang-orang kampung karena kemiskinannya. Namun seolah roda kehidupan berputar, mengangkat derajat beliau di puncak. Luka masih membekas dalam hatinya ketika mengenang perlakuan menyakitkan itu. Sehingga ketika sudah kaya raya, dia melampiaskan kekesalannya terhadap warga. Sehingga membuat warga benci setengah mati kepadanya

Mungkin inilah definisi sebenarnya dari orang jahat lahir dari orang baik yang terzalimi.

Ada kecurigaan yang timbul diantara warga karena istri dan anak Pak Muis sudah meninggal. Istrinya yang meninggal karena kanker payudara sementara anaknya yang waktu itu menginjak usia remaja juga meninggal karena kecelakaan saat menyebrang jalan. Warga mengaitkannya sebagai tumbal pesugihan. Padahal meninggalnya mereka murni karena takdir.

Pak Muis merasa seperti berada dalam puncak kejayaannnya. Sehingga dia menjadi lepas kontrol atas dirinya sendiri dan tak sadar bahwa satu kampung itu sangat membencinya. Sampai suatu hari Pak Muis menderita penyakit hipertensi karena sering marah-marah dan akhirnya mengalami stroke sebelah.

"Ya Ampun, kasihan sekali beliau , terus sudah di bawa kerumah sakit?" ujarku prihatin

"Tidak ada yang peduli Mas," sahut Tama dengan kesedihan yang cukup mendalam, dia seperti tidak tega untuk meneruskan ceritanya, " Warga pun acuh tak acuh dengannya walaupun jelas-jelas Pak Muis di depan rumah mengiba meminta tolong, meski lumpuh dia masih bisa mengerakan sebagian tubuhnya. Bahkan saking gak ada yang mau menolongnya, dia sampai menelfon ambulan sendiri untuk menjemput dirinya ke rumah sakit. Karena sudah terlalu lama di rumah sakit, beliau memutuskan untuk di rumah walaupun kondisinya belum sehat. Nah saat di rumah itu Justru ada yang menyebar gosip kalau Pak Muis terkena virus corona."

"Kok tega sekali ya Mereka."

" Ya begitulah Mas, Sebenarnya, ibu dan aku mau menjenguk dan merawat beliau Tapi warga seperti melarang dan mengancam akan memusuhi kita nekat ke rumahnya. Walaubagaimanapun beliau dan keluarganya pernah bertetangga dengan kita dulu pas beliau masih susah."

Perkataan Tama kembali mengingatkanku tentang memori sebelas tahun lalu dimana kondisi keluarga Pak Muis saat itu sangat memprihatinkan.