Hati dan pikiran Nirani semakin gamang, melihat sang Nenek masih dalam keadaan tak sadarkan diri di ruang IGD.
Tadi sore saat Nirani pulang dari bekerja, ia mendapati sang nenek pingsan terkapar di depan pintu kamar mandi. Kepanikan tak bisa terhindarkan, Nirani segera membawa sang nenek ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa ada penyempitan di jantung sang nenek. Dokterpun menyarankan agar sang nenek beristirahat di rumah sakit selama beberapa hari, dikarenakan kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukan rawat jalan. Sang nenek juga harus segera menjalani operasi pemasangan ring. Kalau tidak dilakukan, nyawa sang nenek bisa terancam kapan saja.
Nirani bingung, jika neneknya harus dirawat, itu berarti dia harus menyediakan uang yang tidak sedikit sebagai biaya perawatan selama di rumah sakit. Sedangkan ia sendiri baru dua minggu bekerja, tanggal gajian juga masih lama. Nirani semakin tidak bisa berfikir dengan jernih, ia tak tahu kemana lagi harus mencari uang untuk biaya berobat sang nenek.
Nirani mulai mendekatkan benda layar pipih itu ke telinganya. Beberapa detik ia menunggu seseorang menjawab panggilannya.
'Hallo, Ra. Ada apa?' Sahut seseorang di ujung sana. Dia adalah Ricky.
"Kak Ricky, aku butuh bantuanmu!' Sahut Samara. Akhirnya dia menghubungi Ricky kembali. Seorang kepala agensi sales di tempat Nirani bekerja. Nirani adalah seorang Sale Promotion Girl.
"Bantuan apa, cantik? Bilang aja, siapa tahu aku bisa membantumu!" timpal Ricky dengan suara khas centilnya.
"Kak, aku butuh uang lima puluh juta malam ini juga. Nenek harus segera di operasi! Aku nggak ada uang sebanyak itu. Aku nggak tahu lagi harus minta tolong pada siapa. Aku nggak punya saudara di sini, kak. Jadi, bisakah Kakak bantu aku?"
"Hemm, gimana ya, Ran. Kalau cuma uang segitu sih, aku jelas ada. Tapi aku nggak bisa dong ngasih secara cuma-cuma. Secara uang segitu bukan jumlah yang sedikit. Emmm, gimana ya!" ucap Ricky terdengar basa-basi.
"Maksud Kakak, ada syaratnya gitu?"
"He he. Iyap! Kamu pintar! Ada syarat yang harus kamu penuhi kalau kamu mau uang itu malam ini juga. Gimana, kira-kira kamu mau nggak?" Ricky mencoba merayu.
"Syarat apa Kak? Aku akan lakukan apapun demi Nenek. Katakan saja!" timpal Nirani dengan suara lantang.
"Syaratnya sih, masih sama seperti tawaranku tempo hari, Ran. Gimana?"
"Maksud Kakak, aku harus jadi wanita seperti itu?" seru Nirani.
"Iya, Ran. Ya, aku hanya bisa membantumu dengan cara seperti itu. Kalau kamu mau ya aku transfer kalau nggak mau ya maaf aja, aku nggak bisa kasih bantuan uang itu." terang Ricky tanpa basa-basi.
Nirani mengambil nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Pilihan yang berat memang. Namun apa daya Nirani. Nasib neneknya kini benar-benar ada di tangannya. Sekali dia mengambil keputusan yang salah, keselamatan sang Nenek menjadi taruhannya.
"Gimana, Ran? Apa kamu bersedia?" tekan Ricky, berharap Nirani akan bersedia menerima tawarannya.
Nirani menghela nafasnya perlahan. "Ba-baiklah Kak, aku mau melakukannya!" Ucapnya terbata. "Asalkan nenekku bisa segera dioperasi! Aku akan melakukannya, kak!" ucap Nirani dengan bibir bergetar. Ia tengah bersandar pada dinding rumah sakit yang berada di dekat pintu masuk kamar rawat inap sang nenek.
"Nah, dari tadi kek. Kan nenekmu nggak perlu nunggu-nunggu kaya gini." sahut Ricky dari ujung jalan sana, diiringi tawa kecil yang terdengar menggelitik telinga Nirani. "OK. Malam ini juga kamu langsung kerja ya! Nanti aku kirimkan alamat lokasinya lewat whatsapp."
"Iya kak. Emm, tapi tunggu dulu, Kak. Emmm, aku punya satu permintaan lagi, Kak. Boleh?" pinta Nirani.
"Permintaan? Apa?"
"Saat aku bekerja seperti ini, aku tidak ingin menggunakan nama asliku. Aku ingin nama lain, gimana, Kak Ricky setuju?" Nirani menggigit bibir bawahnya, berharap Ricky tidak akan mempermasalahkannya.
Nirani tidak ingin mengambil resiko dengan tetap menggunakan nama aslinya. Bisa-bisa orang terdekatnya akan cepat mengetahui pekerjaan sampingan yang dia lakoni sekarang. Mau ditaruh dimana muka dan juga harga dirinya. Terlebih sang Nenek, pasti akan sangat kecewa dengan keputusan yang Nirani ambil.
"Hemmm! Jadi maksudnya kamu ingin menggunakan nama samaran gitu?"
"Iya, Kak."
"OK tidak masalah. Kamu mau pakai nama siapa?"
Mulut Nirani terbuka sedikit. "Jadi, aku boleh memakai nama samaran kak? Terserah Kakak mau ngasih aku nama siapa. Aku akan terima, dan hanya kakak yang tahu identitas asliku."
"Hemmm, siapa ya, nama yang cocok buat gadis semanis kamu." Ricky berfikir sejenak. "Bagaimana kalau Claudia? Menurut kamu bagus nggak?"
"Terserah Kakak aja. Nama Claudia juga nggak terlalu jelek. Aku bisa menggunakannya."
"It's OK! Deal ya. Mulai sekarang nama kamu menjadi Claudia. Aku yakin, Ran, kamu akan jadi primadona di bawah naunganku!"
"Baik Kak! Jangan lupa segera kirim uangnya dan aku akan segera berangkat ke tempat itu! Nanti Kak Ricky share location saja."
"Siap, Claudia! He he he. Kirim nomer rekeningnya, aku akan segera mentransfer uang itu!"
"Baik Kak!" Nirani mematikan telfon. Menuju ke menu chatting dan segera mengirimkan nomer rekeningnya pada Ricky.
Nirani memejamkan netranya, perlahan tubuhnya merosot hingga ia terduduk di lantai. Air matanya berlinang. Keputusan yang berat baru saja dia ambil.
"Maafin Samara, Nek. Nirani terpaksa. Nirani nggak mau lihat nenek kenapa-kenapa. Di dunia ini hanya nenek yang Nirani punya. Nenek adalah segalanya buat Nirani." lirihnya seraya tergugu. Menekuk lututnya dan melingkarkan kedua tangannya di sana.
Tak selang berapa lama, notifikasi M-Banking telah masuk. Nirani segera menuju ke ruang administrasi dan menyelesaikan segala keperluan supaya neneknya bisa segera menjalani operasi.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Nirani memastikan sang nenek telah masuk ke ruang operasi terlebih dahulu, setelah itu ia pergi menuju ke sebuah hotel berbintang yang sudah dikirimkan lokasinya oleh Ricky.
Nirani menuju ke hotel dengan menaiki taksi online. Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Ia tak bisa membayangan kehidupannya setelah malam ini akan seperti apa. Tanpa terasa, cairan bening mulai menetes untuk kedua kali membasahi pipinya.
Sesampainya di hotel, Nirani segera berjalan menuju ke sebuah kamar sesuai dengan instruksi yang Ricky berikan. Hatinya sungguh tak karuan. Berdegup tak tentu arah. Ini adalah pengalaman pertamanya di dunia baru yang ia pilih sendiri. Nirani berdiri sejenak, berusaha menenangkan hatinya sendiri. "Semua demi sang nenek." batinnya seraya me gumpulkan keyakinannya.
Ting tong!
Nirani memencet bel di depan pintu kamar hotel bernomer 272. Sebentar lagi dia akan menyerahkan sesuatu yang selalu di anggap berharga untuk seorang wanita. Tapi demi menyelamatkan nyawa sang Nenek, dia rela di menyerahkan kehormatannya pada seorang yang bahkan tidak dikenalnya.
"Nenek, maafkan Nirani!" lirihnya dalam hati.