"Meera!" Sebuah tepukan pelan di bahunya membuat sang empu menoleh ke sumber suara. Gadis dengan pipi gembul itu menatap ke arah Nazwa dengan penuh tanda tanya.
"Udah ngelamunnya?" tanya Nazwa yang tengah berdiri dengan tangan berkacak pinggang menghadap Ameera. Tatapannya pun terlihat begitu malas untuk meladeni sang teman yang sungguh lamban gerak-geriknya.
"Ngelamun? Aku nggak ngelamun kok!" elak Ameera menggelengkan kepala. Gadis itu terlihat begitu yakin dengan jawabannya walaupun itu semua hanya dusta.
"Ck, udah kepergok masih ngelak lagi!" balas Nazwa merotasikan bola matanya. Sudah cukup sering ia memergoki sang sahabat sedang melamun entah memikirkan apa. Dan setiap kali dirinya bertanya, ia akan mendapat jawaban yang sama.
"Udah, buruan ayo!" sambung Nazwa sambil menarik kasar tangan Ameera. Nazwa tak memiliki tingkat kesabaran setinggi itu jika harus menunggu sang sahabat terbangun dari lamunan panjangnya. Ayolah, perutnya sudah meronta-ronta.
"Ayo kemana Naz? Ini masih belum..." ucapan Ameera seketika terpotong saat ia mengalihkan pandangan menatap jam tangan yang ia kenakan. 9.45. Itu artinya bel istirahat sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Mengapa ia tak sadar?
"Belum apa? Dari tadi udah bel kali, Meer! Lo- nya aja yang gak sadar!" Dan sudah Nazwa tebak kalau Ameera tak menyadari bel istirahat sebelumnya. Sahabatnya yang satu ini memang benar-benar "luar biasa".
"Iya-iya. Sabar dong! Giliran makan aja cepet!" jawab Ameera akhirnya menuruti ajakan Nazwa. Ia memang merasa lapar sebelumnya, namun ada satu hal yang berhasil mengalihkan itu semua. Hal yang akan menjadi sebuah candu baru bagi seorang Ameera.
Kedua gadis itu kini berjalan menyusuri koridor dengan diiringi tawa. Suasana sekolah hari ini sangatlah menyenangkan bagi Ameera. Di mana ia bisa puas mengedarkan pandangan untuk menatap sosok lelaki jangkung yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
Ameera masih ingat dengan jelas jika lelaki itu sudah keluar dari kelas beberapa menit yang lalu. Lalu kemana perginya ia? Kenapa Ameera tak bisa menemukannya.
"Lo lagi nyari siapa, sih? Dari tadi celingak-celinguk mulu!" tanya Nazwa menatap bingung ke arah sahabatnya. Sikap Ameera kali ini sungguh berbeda dari biasanya.
"Eh, enggak kok! Aku nggak lagi cari siapa-siapa!" jawab Ameera dengan merekah kan senyum di bibirnya. Huft, semoga aja dia percaya, batin Ameera.
Namun bukannya diam dan memahami jawaban dari temannya, mata Nazwa malah memincing ragu di sana. Sepertinya ada yang tak beres di sana. "Eh! Bukannya itu Langit, ya?"
"Hah, mana?" tanya Ameera langsung menoleh ke arah pandang Nazwa. Gadis itu dengan spontan celingak-celinguk mencari keberadaan sang pemilik nama Langit yang sempat Nazwa sebutkan sebelumnya.
"Tuhkan, lo pasti lagi nyariin Langit, ya? Ngaku aja deh lo!" desak Nazwa saat rencananya memancing gerakan Ameera berhasil di percobaan pertama.
"Eng-enggak!" jawab Ameera sambil menggeleng pelan di sana. Gadis itu menelan ludahnya kasar saat menyadari betapa bodohnya ia sampai terpancing dengan godaan Nazwa.
"Kalau enggak kenapa gugup gitu jawabnya?" Satu tangan Nazwa bergerak untuk menowel- nowel pipi gembul Ameera. Senyum menyebalkan pun masih belum pudar dari bibirnya. "Lo suka sama Langit, ya?" tanya Nazwa seketika tepat pada sasarannya.
"E- enggak! Lo jangan ngada-ngada deh!" elak Ameera masih dengan kegugupan yang sama. Manik matanya pun tak berani menatap lawan bicaranya.
Ameera bukanlah tipikal orang yang pandai berbohong. Apalagi gelagat tubuhnya, seolah membongkar seluruh fakta saat bait pertama kebohongan keluar dari bibirnya.
Sedangkan Nazwa, mata gadis itu semakin memincing saja. Sebuah senyum menggoda pun terbit sempurna di bibirnya.
"Ngaku aja! Gue nggak bakal bilang siapa-siapa kok!" ucap Nazwa sedikit berbisik di depan Ameera. Alisnya pun naik turun menimbulkan kesan lebih menyebalkan dari sebelumnya.
"Ish, apaan sih! Enggak kok, mana ada!" jawab Ameera lanjut berjalan meninggalkan Nazwa sendirian. Gadis yang kini memasang raut wajah masam itu terus merutuki kebodohannya karena refleknya yang sungguh memalukan.
"Yaelah, gue ditinggal lagi! Ameera!" teriak Nazwa seraya berlari mengejar temannya. Senyum menggoda itu pun masih tersungging tinggi di bibirnya.
"Udah, jujur aja! Lo suka sama Langit, kan?" ucap Nazwa semakin menggoda. Kakinya yang telah berhasil mengimbangi langkah Ameera kini berjalan mundur menghadap ke arah sahabatnya.
"Suka apanya, sih? Orang aku nggak ada rasa apa-apa kok sama dia!" ucap Ameera masih kekeh dengan jawabannya. Nada bicaranya pun sedikit lebih keras karena rasa kesalnya pada Nazwa.
"Dia siapa?" Sebuah suara tiba-tiba terdengar berhasil menghentikan langkah kedua gadis di sana. Ameera dan Nazwa yang tadinya berdebat pun spontan menoleh menghadap sang empu yang baru saja datang di tengah-tengah mereka.
Langit?
'Mati aku!'
"Eng-enggak kok! Bukan apa-apa!" jawab Ameera seraya tersenyum kikuk di depan Langit. Batinnya terus berdoa agar lelaki itu tak mendengar sedikit pun pembicaraan antara dirinya dan Nazwa. Semoga.
"Oh iya? Emang kalian tadi lagi ngomongin apa?" ucap Langit lanjut bertanya. Senyum manis pun terbit di bibirnya. Matanya sedikit melebar seolah memancarkan rasa penasaran akan pertanyaannya.
"Oh, kita lagi ngomongin.."
"Novel! Kita lagi ngomongin novel! Iya kan, Naz?" potong Ameera sambil menatap tajam ke arah Nazwa. Giginya pun sedikit menggertak seolah meminta mulut Nazwa untuk bungkam di depan pujaan hatinya. Jika Langit tahu tentang perasaannya, bisa kacau semua.
Nazwa yang mendapat tatapan tajam dari Ameera hanya bisa meringis di tempatnya. Dan setelahnya, arah pandangnya kembali menatap Langit dengan menerbitkan senyum terpaksa.
"Iya, kita lagi ngomongin novel." Pada akhirnya Nazwa mengalah di sana. Ia tak mau jika sang sahabat jadinya merajuk karena kejujurannya. Biarlah jawabannya sangat tak masuk akal dengan apa yang Langit dengar sebelumnya, itu akan menjadi urusan Ameera karena spontan melontarkannya.
Langit yang mendengar itu pun spontan tertawa. Kepalanya sedikit menggeleng saat menyadari betapa bodohnya dua orang gadis itu saat sedang berbohong kepadanya.
"Emang novel bisa disebut dengan dia, ya?" tanya Langit disela-sela tawanya.
Ameera yang mendengar pertanyaan Langit lagi-lagi hanya bisa tersenyum sebagai tanggapannya. Bodoh! Bodoh! Bodoh!
"Kalau gitu gue duluan, ya!" ucap Langit berpamitan kepada mereka. Langkahnya kembali mengayun untuk meninggalkan dua gadis yang sedang saling tatap di tempat yang sama.
"Oh iya, dari pada lo harus punya rasa sama buku novel itu, mendingan lo punya rasanya sama gue aja! Lumayan kan, bisa diajak romantis-romantisan di dunia nyata!" ujar Langit sambil menaik turunkan alisnya. Senyum jahil pun tersungging di bibirnya yang tebal. Dan tepat setelah mengatakan itu semua, lelaki itu melenggang pergi dari sana.
Seketika itu juga Ameera diam terpaku di tempatnya. Dia mendengarnya. Langit mendengar semuanya.
"Akhhhh!"