Dani ternyata anak pengusaha ternama. Bergerak dibidang perhotelan, sudah beberapa tahun Hartono menghabiskan waktu hanya kerja, kerja, kerja dan kerja. Semenjak perceraiannya Hartono Wijaya Sukoco lebih fokus mengembangkan bisnisnya di seluruh nusantara.
"Ini kantor papa kamu?" tanya Cua takjub.
"Ya, kenapa? ada masalah?" Dani menekan tombol lift menuju ruangan Papinya.
"Siang mas Dani." kekeh secretaris Hartono.
"Hmmm... Papi ada?" Dani menatap wajah Laras yang manis.
"Ada mas, sepertinya lagi nggak sibuk." senyum Laras, membukakan pintu untuk Dani.
"Silahkan mas." kekehnya lagi.
"Makasih." Dani berlalu, membawa Cua masuk bersamanya.
"Haiii Pi." Dani menghampiri Papinya mencium dan memeluk, kemudian berlalu menuju sofa yang ada dihadapan meja Hartono.
Cua menghampiri Hartono, mencium hormat pada tangan orang tua Dani.
"Cua om." Senyumnya.
"Ooooh... kamu siapanya putri saya." Hartono memperhatikan wajah Cua yang lugu.
'Sepertinya anak ini anak baik-baik.' batin Hartono.
"Hmmm saya temen Dani om." Cua menghampiri Dani ikut duduk disamping Dani.
"Oooh... kamu temen Dani di kampus?" tanya Hartono.
"Iya om." senyum Cua sopan. Hartono menelan salivanya, sambil menggelengkan kepalanya.
"So... what is your goal to meet Papi?" senyum Hartono.
"Hmmm... menerima tawaran Papi untuk bekerja disini." senyum Dani.
"Ooooh... are you serius?"
Hartono masih belum yakin.
"Serius pi, tapi dengan catatan, Cua juga berkerja disini." pinta Dani dengan wajah tanpa dosa.
"Permintaan apa ini, ini kantor Dani, bukan ajang coba-coba atau traning." penolakan Hartono sangat jelas di telinga Cua.
"Kalau Papi keberatan aku nggak akan pulang." ancamnya terdengar sangat biasa.
"Oke, biarkan Papi mewawancarai temanmu, jika masuk kriteria mungkin akan Papi pikirkan." tegas Hartono.
"Deal, aku menunggu di luar, silahkan wawancara." tegas Dani, berlalu keluar meninggalkan Papi dan Cua.
Cua tampak bingung sedikit takut, karena baru kali ini dia bertemu dengan pengusaha ternama. 'Hartono Wijaya Sukoco' pfffh....
Hartono melihat kepergian putrinya kembali menatap Cua, menghela nafas dalam.
"Oke... bisa ceritakan sedikit perkenalan kamu dengan putri saya? dan darimana asal keluargamu? apa maksud kamu mendekati putri saya."
Hartono menatap Cua tajam, memperhatikan secara seksama, dari ujung rambut hingga sepatu yang di gunakannya.
"Hmmm... saya baru mengenal anak om tadi malam. S s s saya dari Riau, kuliah di bisnis, satu kampus dengan anak om, saya hanya berteman, nggak ada niat yang lain." jujur Cua menunduk. Jantungnya berdegub kencang. Ingin lari, tapi tidak bisa.
"Oke, apa kamu berprestasi di kampus?" tambah Hartono lagi.
"Setidaknya saya mendapatkan beasiswa dari tempat papa saya bekerja." Cua masih menunduk.
"Ooooh... berarti kamu anak yang pintar, mendapat beasiswa." Senyum sinis Hartono.
"Kira-kira seperti itu om." jawab Cua masih gugup.
"Saya akan mencari informasi, silahkan tinggalkan KTP mu di depan, besok silahkan kesini untuk mengambilnya." Hartono memperhatikan Cua.
"KTP buat apa om? saya nggak pinjam uang sama om, atau memanfaatkan putri om, saya seorang mahasiswa, merantau kesini masih di biayai orang tua saya, walau tidak banyak, tapi cukup untuk saya." tegas Cua menolak.
"Ooooh... kamu pintar sekali, saya hanya ingin memastikan, posisi apa yang cocok untuk wanita abege seperti mu, bukan untuk memberimu pinjaman." tegas Hartono, didalam hati tersenyum lucu berdebat dengan teman putrinya.
"Saya akan menuliskan CV saya, bisa beri saya selembar kertas? pulpen saya ada." jawab tegas Cua membuat Hartono makin tertantang.
Hartono memanggil secretarisnya, meminta kertas sesuai permintaan Cua. "Baik... tulis disini semua data kamu, cantumkan nomor rekening mu dan gaji yang kamu inginkan." tegas Hartono.
Cua menelan salivanya, menerima kertas pemberian Hartono. Mulai menulis data diri, mencantumkan nomor rekening, dan gajinya, setelah Cua rasa tidak ada yang mesti dirubah, Cua memberikan kembali pada Hartono yang dari tadi memperhatikannya. "Ini om." Cua percaya diri. Merasa ini tantangan untuknya menakhlukkan kota Jakarta. Mencoba kembali, 'keberuntungannya.'
"Hmmmm... masih 18 tahun, sangat muda, semester empat, jurusan bisnis, aktif berbahasa inggris, tinggal didaerah Slipi. kuliah di UPH, Rekening BRI, Gaji 8 juta. Luar biasa, menakjubkan." mata Hartono kembali menatap Cua,
"Apa yang bisa kamu berikan pada saya, jika saya memberimu upah 8 juta?" tanya Hartono santai.
"Saya akan melakukan pekerjaan saya sesuai joblist yang om berikan, beri saya kesempatan 3 bulan menjiwai pekerjaan saya secara profesional." jawab Cua sombong.
"Baik, saya akan meletakkan kamu dibagian Promosi, saya akan menggaji kamu 10 juta/bulan, dengan syarat.
1. Kamu bekerja jam 8.00 sampai jam 16.00.
2. Target kamu 2,5 milyar sebulan.
3. Kita sangat propesional di luar persahabatanmu dengan putri saya Dani.
4. Ubah putri saya menjadi wanita yang sesungguhnya, ini bonus yang saya berikan kepada kamu, jika kamu berhasil dalam waktu setahun.
Apa kamu setuju?"
Hartono menatap wajah Cua yang tiba-tiba memerah.
Cua menarik nafas dalam, menyandarkan tubuhnya yang menegang, karena wawancara yang aneh menurut pikiran Cua. 'Kesal.' batinnya. "Target 2,5 milyar? ngerubah anak om? Oooh my God." Cua memijat pelipisnya.
"Sanggup? jika tidak, tinggalkan ruangan saya, dan jangan pernah mendekati putri saya." sinis Hartono sambil tersenyum.
"Saya sanggup, berapa bonus yang akan saya terima?" tegas Cua lagi menerima tantangan yang diberi Hartono.
"Saya akan memberikan fasilitas, membiayai kuliah kamu, jika kamu bisa merubah putri saya. Dengar, saya tidak pernah main-main, jika kamu melanggar satu point saja, saya akan menuntut kamu." sarkas Hartono.
"Hmmmm..." Cua menelan lagi salivanya, menatap wajah Hartono sangat serius.
"Baik, bisakah saya meminta gaji saya dimuka? karena saya tidak memiliki baju formal, dan saya akan mengatur jam kuliah saya." tegas Cua.
"Ternyata kamu gadis polos dan jujur, menyikapi sesuatu." senyum Hartono menatap wajah Cua.
"Ya... saya menerima tawaran om, untuk menggali kemampuan saya, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan saya." senyum Cua.
"Oke, saya sudah mentransfer 20 juta, anggap itu bonus diawal, ingat... jangan main-main sama saya, silahkan masuk besok pagi. HRD akan membantu kamu."
Hartono meletakkan kembali hp pintarnya. Meminta secretarisnya menyiapkan perjanjian mereka, ditanda tangani diatas matrai 10 ribu, di copy rangkap dua sebagai pegangan Cua.
"Deal." Hartono memberikan tangannya dihadapan Cua setelah perjanjian mereka di tanda tangani. Cua menerima tangan Hartono tanda setuju. Sesuatu yang baru memacu adrenalin Cua. Merubah anaknya sebagai wanita tulen, itu sangat gampang. Lagian waktu yang diberi masih lama. Satu tahun, kekehnya dalam hati. Kali ini keberuntungan kembali berpihak padanya. 'Yeeeesss.'
"Tapi jika anaknya tidak mau berubah jadi wanita tulen! Habislah aku dikulitin bapaknya Dani! Ooogh Tuhan! Bodohnya aku menandatangani semua perjanjian ini! Hikz!" Batinnya kesal.***