TRRIIINGGG!
Bunyi bell sekolah tanda pelajaran pertama hari ini akan segera dimulai telah berbunyi. Banyak para siswa mau pun siswi yang masih berada di luar kelas langsung bergegas menuju kelas masing-masing. Tapi tidak denganku yang kini masih setia duduk didalam ruang guru memperhatikan para siswa/i berlarian menuju kelas mereka.
"Miu, sudah siap?"
Seorang wanita berjilbab dengan senyum tipis menghampiriku. Aku pun mengangguk pelan dan beranjak dari tempat duduk ku saat ini. Wanita yang akrab dipanggil Bu Sri itu berjalan mendahuluiku keluar dari ruang guru, dengan jarak yang tak terlalu jauh aku berjalan mengikuti Bu Sri yang menurut ceritanya berapa saat lalu ia sudah lebih dari 10 tahun mengajar Matematika disekolah ini.
Ok, namaku Tamako Miu seorang keturunan Jepang-Indonesia yang saat ini menetap di negara merah putih. Ayahku keturunan asli Jepang ia bekerja di Indonesia dan berakhir menikahi ibuku yang seorang keturunan Jawa asli. Sebagai guru Bahasa Jepang untuk orang Indonesia yang ingin pergi bekerja ke Jepang ayahku sering kali mengajakku dan ibu berpindah-pindah tempat sesuai yang ditugaskan oleh perusahaan tempat ayah bekerja. Mau tak mau aku pun sering berpindah-pindah sekolah.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah baru, setelah hampir satu bulan aku belajar dirumah sendirian. Mengurus kepindahan sekolah dalam sistem zonasi sangatlah rumit hingga membuat prosesnya cukup memakan waktu.
Tak sampai 5 menit aku dan Bu Sri pun sampai di kelas II-B, kelas yang akan menjadi tempatku belajar untuk setidaknya sampai tugas ayahku harus pindah tugas lagi dan jika beruntung mungkin sampai aku lulus.
Sekolah ini adalah sekolah swasta yang cukup besar namun berada ditempat yang kurang strategis karena berada di pedesaan yang nyaris saja terpelosok di Jawa Timur. Meski pun nyaris terpelosok sekolah ini memiliki fasilitas yang cukup mumpuni, bangunannya pun sangat modern jauh dari kesan kuno.
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru dari Jakarta. Kalian bantulah untuk beradaptasi disini.." kata Bu Sri yang baru saja meletakkan barang bawaannya di meja guru.
Helaan nafas pelan ku hembuskan perlahan dari bibirku saat Bu Sri menatapku yang masih berada diluar kelas. Bu Sri memberikan isyarat padaku untuk segera masuk.
"Nah, Ayo nak perkenalkan diri pada teman-teman baru mu.." pinta Bu Sri sesaat aku sudah berdiri didekatnya tepatnya didepan kelas.
"Hai, namaku Tamako Miu, pindahan dari SMA N XXX Jakarta. Salam kenal dan mohon bantuannya.." ucapku sedapatnya yang penting mereka tau namaku.
"Nah, kalian baik-baiklah dengan Miu. Jangan karena dia anak baru kalian menjahilinya nanti. Paham?" intruksi Bu Sri.
"Paham Bu..." kompak para murid berseru.
"Miu, silakan duduk disamping Mia, hanya itu bangku kosong dikelas ini. Mia angkat tangannya.."
Aku menatap kearah para murid setelah menyimak Bu Sri. Seorang siswi yang duduk di meja barisan No.2 dari depan mengangkat tangannya. Tanpa membuang waktu lagi aku pun berjalan kesana untuk duduk.
"Baik, sekarang kita mulai pelajaran kita ya. Buka BAB.03 halaman 210" Bu Sri kembali memberi intruksi.
"Hei, Aku Mia. Nama kita hampir sama.." sapa teman sebangku dengan suara berbisik.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Teman sebangku ku beberapa bulan lalu pindah, dan aku duduk sendirian disini.." ucapnya masih berbisik sembari meletakkan buku cetak matematikanya ditengah agar aku bisa melihatnya juga. Dia baik juga, tau saja aku pasti belum punya bukunya.
"Terima kasih.." ujarku singkat.
"Aku senang sekali akhirnya tidak senang sendiri. Aku harap kita bisa berteman ba—"
"Mia, bisa nanti saja mengajak Miu mengobrolnya?" kata Bu Sri yang akhirnya memergoki Mia.
"Ehehe.. Maaf Bu.." Jawab Mia cengengesan sembari mengarahkan pandangannya kedepan.
*****
3 Jam Kemudian..
Aku merenggangkan tubuhku setelah cukup lama hanya duduk diam memperhatikan guru menjelaskan pelajaran. Tugas rumah yang sudah tersalin di buku PR segera aku masukan ke tas agar tidak tertinggal nantinya. Beberapa siswa/i mulai keluar satu persatu dari kelas untuk pergi kekantin, beberapa ada yang tersenyum kearahku dan berbasa-basi mengajakku ke kantin, tapi karena aku sudah membawa bekal dari rumah aku pun tidak bisa ikut.
"Miu, kamu bawa bekal dari rumah ya?" tanya Mia saat aku mengeluarkan kotak bekal ku dari tas.
"Iya.." jawabku Singkat.
"Wah, Sama.." Mia pun langsung mengeluarkan kotak bekalnya yang terbungkus rapi dengan kain berwarna hijau.
Keningku seketika mengerut. Simpul yang digunakan untuk membungkus kotak bekal Mia sangat mirip dengan simpul orang Jepang saat membawakan bekal anak mereka. Mungkinkah Mia sama denganku.
"Ini?" aku menyentuh kain bekal Mia.
"Iya, kita sama. Nama lengkapku Ryuseda Mia." Mia menyerukan suaranya seolah tau isi pikiranku.
"Ah~ pantas saja" aku mengangguk paham dan tersenyum.
Ya, aku cukup senang bertemu dengan teman yang memiliki kesamaan sepertiku, tapi bukan berarti aku bisa begitu saja akrab dengannya. Ada hal yang sulit membuatku mendapat teman dekat kecuali orang itu memiliki isi otak yang sama denganku.
"Ayo, kita makan!" seru Mia yang entah sejak kapan sudah membuka kotak bekalnya.
"Iya.." sahutku segera membuka bekalku.
Perutku yang sudah meminta untuk segera diisi tak bisa diajak berdiskusi lagi, jadi aku pun langsung melahap apa yang ada dalam kotak bekalku, begitu pula Mia yang tampak lahap dengan bekalnya. Mulutku fokus mengunyah, tapi mataku tidak bisa fokus melihat makanan dan justru mengamati sekitar, sampai akhirnya fokus mataku terarah pada seorang murid laki-laki yang sepertinya bukan dari kelas ini masuk menghampiri seorang murid laki-laki dikelasku yang duduk berbeda 3 meja dariku.
"Arya, ayo kekantin.." ajak siswa tersebut pada siswa kelasku yang rupanya bernama Arya.
"Kuy lah, bentar lu kemarin masih ada utang ma gue. Jadi bayarin makan gue ya" sahut Arya mendongak menatap siswa yang kini berdiri disampingnya itu.
"Siplah, seorang Edo kagak bakal lupa utangnya" jawab siswa yang rupanya bernama Edo itu sembari mendaratkan tangannya di bahu Arya.
Senyum tak bisa aku tahan memperhatikan interaksi dua murid laki-laki itu. Perutku rasanya mulai dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu yang berterbangan.
"Good! kebetulan gue kan lagi bokek," ucap Arya beranjak dari kursinya dan merangkul bahu Edo.
Perawakan Arya sedikit lebih pendek dari Edo, kulitnya putih, dan memiliki mata yang sipit. Sepertinya Arya adalah keturunan Tionghoa. Sementara Edo perawakan yang teinggi, tegap, dan bahu yang lebar, kulitnya yang sedikit gelap membuat kesan eksotis pada dirinya. Struktur wajah Edo juga tegas dan mereka berdua sangat terlihat cocok dimataku. Sial, otakku berulah.
"Miu, kamu lagi ngeliatin apa sih?" tanya Mia tiba-tiba menyenggol lenganku.
Aku sedikit tergagap "T-tidak lihat apa-apa.."
"Ah~ kami naksir Arya ya??" tebak Mia dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Tidak.." aku menggeleng pelan dan kembali melanjutkan makan ku toh Edo dan Arya sudah tak terlihat.
"Kalau begitu Edo? dia lumayan banyak yang naksir lho.." tebak Mia sepertinya penasaran.
"Tidak juga" jawabku sekenanya.
"Terus apa dong?" tanyanya sembari menatapku antusias.
Andai saja dia adalah teman-temanku di sekolah lama pasti dengan blak-blakan aku akan menjawab bahwa aku sedang memperhatikan interaksi dua cowok tampan yang terlihat serasi kali. Tsk! Aku benar-benar merindukan teman-teman sesatku disekolah lama.
"Miu, kok diam aja sih?" tanya Mia menyadarkan ku dari lamunan sesaatku.
"Oh, tidak apa-apa kok.." jawabku sembari tersenyum.
Aku tidak bisa terbuka begitu saja dengan sembarang orang, karena belum tentu orang lain bisa menerima apa yang kita sukai terlebih jika yang disukai itu adalah hal yang umumnya dianggap menyimpang oleh banyak kalangan.
BRAGH!
Tubuhku nyaris saja terlonjak dari bangku tempat ku duduk. Mataku mengerjap beberapa kali menatap kearah Mia yang baru saja memukul meja. Tatapan mata Mia menusuk langsung kearahku membuatku membeku ditempat tak tau harus mengeluarkan kalimat apa.
"J-jangan tadi kamu..." Mia menggantung kalimatnya.
"Apa?" tanyaku mencoba untuk tak gugup.
Tiba-tiba saja Mia menarik kerah bajuku, ia langsung mendekatkan wajahnya ketelinga dan berbisik sangat peluk.
"Fujoshi~"
Sontak mataku membulat lebar. Mia tau hal ini? Ini kan daerah pelosok yang harusnya jauh dari hal-hal tersebut. Susah payah aku menelan ludahku, tak ada kalimat yang pas untukku mengelak.
"Tau apa itu Fujoshi?" tanyaku ragu.
Mia menarik diri dariku dan mengangguk "Tentu saja..."
"J-jadi?" tanyakku pelan.
"Kita sama!!!" teriak Mia membuatku sukses membelalakkan mata lebar.
"Serius?" Aku yang mulai semangat menanggapinya langsung meraih kedua tangannya.
"Iya, Serius. Aku juga sering memperhatikan mereka!!" jawab Mia antusias.
"HYAAAAA!" teriak kami berdua kompak pada akhirnya.
Tanpa sadar aku dan Mia langsung melompat kegirangan. Kami berdua saling memeluk untuk beberapa detik lalu kembali duduk sembari menetralkan nafas kami yang sempat terengah-engah.
"Apa drama Favoritmu atau Pairing?" tanyaku antusias dengan suara yang pelan terkontrol.
"Ah, banyak dari korea saat ini aku sedang tersangkut pada Kim Jiwoong dan Seobin, Jepang aku belum move on dari Ren dan Michieda, dari Thailand sejak dulu aku tak bisa berpaling dari Singto dan Krist!" jawab Mia dengan suara pelan pula.
"Ah, aku juga nonton itu. Jiwoong si vampir ganteng dan Seobin yang menggemaskan. Ren dan Michieda jalan cerita yang menggemaskan. Hei, percaya?! aku juga peraya. Akh! astaga Singto dan Krist itu back street terus tapi sekali buat moment bikin ketar-ketir.."
"Setujuh!! Astaga.. Jangan bicarakan hal ini dulu. Disini orang-orangnya masih banyak yang sensian. Tapi aku senang akhirnya dapat teman cerita seperti ini.."
"Oke, oke. kita lanjutkan istirahat kedua di tempat sepi.."
Ternyata aku mendapat angin sejuk di hari pertamaku masuk sekolah baru. Sepertinya aku akan cepat beradaptasi jika sudah seperti ini.