"Apa warna kesukaannya?"
"Apa motif favorit nya?"
Arjuna mulai frustasi hanya karena pakaian. Sementara Sam berusaha menahan tawa melihat tingkah laku laki-laki itu yang tidak biasa.
Jika Raja ingin menghabiskan malam dengan Permaisuri Jie pun, tidak sampai segitunya, pikir Sam geli sendiri. Tapi entahlah hatinya senang melihat raja seperti itu. Wajah sang raja yang begitu panik adalah keajaiban alam.
"Menurut saya anda memakai apapun akan terlihat gagah dan tampan," ucap Sam lama-kelamaan ingin kegilaan tuan nya berhenti.
Jika saja pria paruh baya itu bukan seorang kasim, dipastikan Arjuna bakal merinding setelah mendengar pernyataannya.
Arjuna menatap Sam dingin. Matanya menyuruh kasim itu untuk berhenti berucap dan lebih baik mikir saja.
Hanya reaksi ketakutan bercampur kecanggungan yang terlihat dari pria didepannya itu. Arjuna tidak memperdulikannya dan memilih untuk melanjutkan memilah-milah pakaian lagi.
"Mmm, biasanya Yang Mulia memakai pakaian ungu atau tidak merah jambu," cicit Sam menyelipkan saran di sana, merasa bersalah karena hanya bisa diam saja tadi, dan menyuruh berhenti pun malah kena omel.
Kening Arjuna mengerut, tak habis pikir dengan pola pikir kasim nya itu. Dia menatap tajam kasim nya untuk kedua kali.
Maksud mu aku memakai pakaian warna itu?" tanya Arjuna begitu tidak santai.
Sam sedikit terperanjat, dia menelan ludah. Untung dirinya selalu berusaha sabar menghadapi laki-laki berkedudukan raja itu. Tak lama, muncul ide di otaknya.
"Menurut saya bagaimana jika Yang Mulia memakai baju warna biru tua saja. Di malam hari warna cukup terang, dan tidak berlebihan, dan warnanya cukup kuat."
Ide Sam terdengar tidak buruk, Arjuna pun menerima saran itu.
"Terimakasih Sam Fuu."
Sementara Irene di aula nya.
"Dayang Eve, apa Raja sudah datang?" tanya gadis itu harap-harap cemas, tangannya tidak berhenti untuk mengipasi wajahnya yang tengah di rias.
Ada sesuatu hal aneh terjadi, sedari tadi wajah Irene mudah mengeluarkan peluh. Perias mati-matian mencari cara untuk mencari solusi untuk mengatasi tersebut.
"Tenang Yang Mulia. Tidak ada tanda-tanda Raja kemarin, yang Mulia pun bilang dia akan kemari menjelang tengah malam. Ini baru seperempat malam," ucap Eve menenangkan.
"Fokus saja pada riasan anda Yang Mulia," lanjut sang dayang.
Setelah di rias, jam pasir mulai memadati tabung kaca dibawah.
"Dayang Eve apa aku sudah cantik?" tanya Irene tiba-tiba tidak percaya diri.
"Anda selalu cantik Yang Mulia."
Eve hampir tertawa kecil saat menjawabnya.
Gadis itu menghela nafas. "Takut tidak cukup cantik untuk Raja," pikir seorang good looking.
Setelah semua selesai. Irene duduk bersimpuh dengan kedua tangan masing-masing dimasukkan ke lubang lengan baju. Tak lama, mendengar suara gemuruh di luar. Itu pasti Raja, pikirnya.
Jantung Irene mulai berdegup kencang. Takut, senang, bahagia, entahlah rasanya begitu campur aduk.
Dulu, seminggu sekali Arjuna memang rutin ke Aula Selir. Itu dilakukan semata-mata untuk menghilangkan rumor mengenai dia yang dicampakkan Raja. Di Aula mereka tak lebih dari melukis, mendongeng, bahkan bermain kartu, yang untung nya tidak sampai merokok dan menghabiskan kuaci atau kacang goreng, apalagi sama-sama memakai sarung.
Itu lah alasan Irene tidak terlalu canggung dengan Arjuna, tapi tetap dia gadis yang tahu batasan dan etika.
Tapi hari ini, Arjuna berkata bahwa ingin menghabiskan malam dengan nya, sebagai istrinya. Meskipun hanya seorang Selir, Irene bertekad untuk melakukan yang terbaik karena sudah kewajiban nya. Tapi bukan sekoyong-koyongnya kewajiban sih, faktanya Irene pun memang mencintai Arjuna.
Pintu Aula nya terbuka terdengar. Itu pasti Raja yang masuk, pikir Irene. Kepalanya tiba-tiba ingin menunduk, tidak tahu kenapa, dia sangat malu.
"Salam hormat Yang Mulia," ucap Irene dengan kepala yang masih menunduk, tidak berani menatap sang raja yang tengah berdiri di sana.
Gadis itu sedang tertunduk tapi hal tersebut tidak menyurutkan auranya yang begitu menawan. Sudut bibir Arjuna terangkat,"Perlihatkan wajah mu!"
Diri Irene sangat malu, tapi itu adalah perintah. Dia pun mengangkat kepalanya perlahan.
Lagi dan lagi Arjuna terpesona dengan kecantikan Irene yang bahkan malam ini wajah berkali-kali lipat lebih cantik. Pakaian unggu tua dengan benang emas yang berkelip ditengah penerangan minim membuat sang pemilik lebih bercahaya daripada lentera di sana.
Sungguh, Arjuna meruntuki diri sendiri, mengapa dia baru sadar dengan kecantikan selirnya. Ah, cinta memang buta, bahkan membutakan matanya hingga tidak menyadari keberadaan permata didekatnya. Permata mampu dan mudah dia raih. Tidak seperti Jenna, yang sangat sulit, bahkan untuk mendapatkan sebuah senyumannya.
Sementara Irene pun tidak bisa untuk tidak terpesona dengan ketampanan Arjuna yang bukan bahan untuk dibuat gibah. Hidung mancung, rahang tegas, kulit putih bersih, mata hitam terang kecoklatan, itu semua membuat mata Irene seakan gila, tidak ingin sedetikpun berhenti untuk terus memandang.
Arjuna perlahan melangkah dan mendudukkan diri di depan gadis itu.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Arjuna dengan wajah datar namun terkesan hangat, berbeda dengan hatinya yang jedag jedug seolah sedang melakukan perayaan.
"Saya baik-baik saja. Bagaimana dengan anda Yang Mulia sendiri?" jawab Irene tak lupa mengulas senyum.
"Diam aja cantik, kalau bicara malah makin cantik," batin Arjuna meneguk ludah. Dia pun mengangguk kecil dengan perasaan gugup, namun berhasil disembunyikan oleh wajah ketenangan palsunya.
"Syukurlah. Aku cukup baik."
Suasana di Aula hening, tidak ada yang membuka suara, hanya jangkrik yang bersuara di luar terdengar. Irene menunduk karena sedikit tidak nyaman ditatap seperti itu terus-menerus.
"Kedatangan ku ke sini berbeda dengan kedatangan-kedatangan ku sebelumnya. Apa kau tahu?" Sebenarnya, Arjuna percaya diri. Tapi dia hanya ingin mendengar kesiapan Irene, jadi pertanyaan itu seakan-akan hanya ingin menggoda saja. Haha.
Blush!
Wajah gadis itu memerah. "Mampus! harus jawab apa,"batin Irene. Dia pun memutuskan untuk mengangguk kecil saja.
Arjuna memeluk Irene tak memedulikan jarak, hingga gadis itu nyaris terjungkal ke belakang ketika dia memeluknya.
"Apa kau bersedia malam ini?"
Seketika leher Irene merinding, tubuhnya bergetar setelah mendengar bisikan sang raja. Dengan perasaan malu, tak lama dia mengangguk kecil.
Arjuna dibuat gemas melihat reaksi sangat singkat, padat, jelas itu.
Berbeda ketika pertanyaan tersebut saat ditujukan pada Jenna, dia sering menggiring pertanyaan itu dengan sebuah smirk kemenangan yang licik.
Namun sekarang berbeda, entahlah rasanya begitu beda.
Sedetik kemudian Arjuna mendorong tubuh Irene, mengansurkan kedua tangannya ke bawah lutut dan punggung gadis itu agar bisa digendong.
Refleks Irene pun melingkarkan kedua tangannya di leher laki-laki itu. Menyaksikan ekspresi terkejut Irene, Arjuna benar-benar tidak bisa berkata bahwa gadis dipangkuannya itu adalah gadis terimut sedunia.
Arjuna pun bangkit sambil membopong tubuh Irene ke kamar, yang kemudian dia dudukan di tengah-tengah tempat tidur.
Pandangan Arjuna menelusuri setiap inci wajah Irene. Matanya benar-benar seperti ingin dimanjakan oleh visual Irene terlebih dulu, sebelum dia melakukan hal lebih yang tidak terkendali nanti.
"Kau sangat cantik malam ini."
Seketika wajah Irene kembali memerah layaknya buah delima, menundukkan kepala sejenak, kemudian dia tersenyum senang bersama pipi merona.
"Dan tambah cantik jika kau tersenyum."
Laki-laki didepannya ini memang berniat membuat jantungnya copot dari tempat, pikir Irene. Bahkan dia merasa hampir akan pingsan karena ditatap lekat tanpa henti. Sungguh, Irene ingin membelai lembut rahang itu, namun tid_ eh belum berani.
Arjuna mengusap pipi Irene itu dengan ibu jari. Tangannya bergerak ke belakang untuk mencabut susuk yang menggulung rambut gadis itu.
Sementara mata Irene terpejam kuat ketika Arjuna melakukannya.
Sungguh, Arjuna lebih suka rambut Irene ketika terurai daripada terkumpul seperti itu. Yang paling difavoritkan nya adalah ketika gadis itu mengepang rambut ala ekor kalajengking, disimpan di satu sisi lehernya seperti tempo hari, cantik, manis, menggemaskan dan terkesan lugu.
Tangannya pun beralih ke nakas yang ada di samping tempat tidur, memungut pita di sana.
Karena jikalau Arjuna mengepang rambut Irene, itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama, jadi dia pun memutuskan untuk mengikat rambut Irene ala ekor kuda saja. Kemudian menyimpan hasil ikatan itu di satu tepi leher, membiarkan tepi lain mengekspose leher jenjang gadis itu yang akan menjadi kanvas untuk melukis tanda kemerahan, nanti, sebentar lagi.
Untuk keduakalinya Irene dibuat merinding akibat tangan laki-laki itu sesekali menyentuh lehernya.
"Jika kau mau memelukku, peluk saja,"
ucap Arjuna melihat kedua tangan selirnya itu terkepal erat seperti tengah menahan sesuatu.
Mampus, ketahuan, batin Irene yang membuat wajahnya semakin memerah saja.
Terlepas dari pertanyaan nya mengapa sang raja bisa tahu, Irene pun memeluk laki-laki itu. Dirinya ingin melepas rindu dan kecemasan yang sudah menggunung dari kemarin.
Arjuna tersenyum ketika sepasang tangan Itu melingkar sempurna di pinggang nya. Setelah selesai menguncir rambut, dia pun membalas pelukan itu mempererat pelukan, mencium pelipis gadis itu kemudian berkata, "Aku merindukan mu."
"Saya juga merindukan anda Yang Mulia," balas Irene semakin menyembunyikan wajah di dada bidang itu.
"Kau menangis?" Arjuna mendengar sebuah isak halus dari sana, dia pun melonggarkan pelukan guna memeriksa kondisi.
Benar saja, meskipun Irene tidak sampai menjatuhkan air mata, namun mata cantik dengan bulu lentik itu berlinang.
Sebesar itu kah dia merindukan ku, pikir Arjuna. Dia pun mengelus lembut pipi kenyal yang mirip seperti bakpao itu dan berakhir dia kecup.
Irene tertegun ketika benda kenyal itu sedikit membasahi pipinya, hatinya seperti sedang party di sana, merasa bahagia.
Arjuna perlahan membuka tali simpul yang mengikat baju luar gadis itu. Rasanya sia-sia saja Irene memilih gaun itu dengan penuh pertimbangan yang bahkan mengakibatkan terjadinya drama kecil bersama sang desainer.
Sekarang Irene hanya memakai baju dalam berwarna putih polos. Tubuh gadis itu pun diturunkan oleh Arjuna hingga kepalanya menghantam bantal.
Dengan mata tak lepas dari gadis cantik yang ada dibawah, Arjuna melepas bajunya kasar, membuang baju bermotif nya sembarangan hingga menyisakan baju polos putih seperti gadis itu. Dia mencium kening Irene terlebih dahulu, terlebih dahulu.
Arjuna mencium kening itu cukup lama, kemudian merubah posisi agar tubuhnya menutup sempurna tubuh Irene.
Sementara Irene merasakan jantungnya begitu berdegup, yang dia lakukan hanya memejamkan mata seraya mencengkram pelan seprei ranjang.
Elusan lembut dibalik lengan baju terasa begitu nyata, membuat kulit merinding dan geli, tapi dia menyukainya. Apalagi disaat yang bersamaan hidungnya disentuh, dikecup dan dilahap seperti anggur, itu semua membuat pikiran dan perasaannya semakin kalang kabut.
Perlahan Arjuna menurunkan bibirnya untuk menyentuh beda kenyal di bawah hidung itu, namun seketika tertahan akibat gedoran kencang pada pintu aula.
"Yang Mulia, Yang Mulia?!" ucap seseorang di balik sana.
Arjuna tidak peduli.
Cup!
Akhirnya bibirnya bisa menyentuh bibir Irene, setelah sekian lama.
"Yang Mulia, Permaisuri!!!" ucap seseorang itu lagi.
Masih tak peduli, Arjuna tidak ingin melepaskan bibirnya, orang baru sebentar. Ketika dia ingin memperdalam ciuman, "Yang Mulia!! Permaisuri merasakan sakit di perutnya.