Chereads / Bukan Cinta Suamiku / Chapter 1 - Pernikahan dan Luka

Bukan Cinta Suamiku

🇮🇩Dilla_mckz
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pernikahan dan Luka

Senyum palsu terus terukir di bibir seorang wanita yang saat ingin terlihat anggun dengan balutan gaun pengantin. Tangannya sejak tadi diremas kuat oleh sang ibu, agar tetap memastikan sang putri tetap tersenyum.

"Mama," bisiknya.

Seorang wanita yang wanita itu panggil mama menoleh dengan wajah tak bersahabat.

"Kenapa harus aku?" lirihnya.

"Semua ini karena kamu, semuanya berantakan karena kamu," bisik wanita itu penuh penekanan.

"Diam Amara, lebih baik kamu tanggung jawab atas perbuatan kamu." Wanita dengan kebaya merah itu melangkah pergi menjauh meninggalkan sang pengantin wanita sendirian.

"Kak Axel," panggilnya pelan ketika melihat seorang lelaki dengan jas hitam berjalan mendekat ke arahnya.

"Kakak dari mana?" Seorang pria yang dipanggil Axel itu tak menjawab, bahkan bertingkah seolah tak melihat sosok di sampingnya.

"Maaf," lirih wanita itu kecil, bahkan dirinya sendiri tak yakin jika suaranya terdengar.

Axel melirik sekilas, lalu kembali menatap sekitar dengan pandangan datar.

Amara wanita yang sedang memakai pakaian pengantin itu meneteskan air mata bahkan tak peduli jika akan yang melihatnya. Dia benar-benar merasa bersalah, apa lagi setelah melihat perubahan pria yang sedang berada di sampingnya. Karena dulu Axel bahkan tak pernah mengabaikannya.

***

"Mama aku masih mau tinggal sama Mama," mohonnya dengan tatapan sendu.

"Jaga Amara, Axel." Tanpa menunggu balasan dari Axel maupun Amara ibu dua anak itu langsung pergi begitu saja, bahkan sama sekali tak berniat melihat kepergian putri bungsunya.

"Cepet." Amara mengangguk berlari kecil memasuki mobil hitam milik Axel.

Setelah satu hari menjalankan akad dan resepsi Amara langsung pindah ke rumah milik Axel. Sebenarnya Axel menyiapkan rumah itu bukanlah untuknya.

"Kak Axel soal kak Poppy." Axel melirik sinis seolah tak ingin mendengar kelanjutan ucapan seorang wanita di depannya.

"Amara bener-bener minta maaf." Tak peduli walau Axel tak ingin mendengarkan, Amara hanya ingin mengatakan yang sebenarnya.

"Amara tahu Amara salah. Kalau aja aku enggak maksa—"

"Lo bisa diem gak!" Amara tersentak kaget mendengar bentakan Axel. Kepala wanita itu langsung menunduk dalam, tak berani melanjutkan ucapannya.

Axel mengepalkan tangannya di balik setir, menahan gejolak dadanya. Axel benar-benar membenci wanita yang sekarang telah bergelar menjadi istri untuknya.

***

Amara hanya dapat mematung saat memasuki rumah mewah milik suaminya. Bukan karena terlalu mewah, hanya saja karena beberapa foto yang terpajang di dinding rumah mewah itu. Amara merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang begitu menyiksa.

"Apa aku bener-bener menghalangi mereka?" gumam Amara.

Beberapa foto Poppy dan Axel terpasang di dinding. Axel benar-benar terlihat bahagia difoto itu, bahkan Amara menjadi saksi cinta kedua manusia itu.

Seharusnya kemarin Axel dan Poppy kakak dari Amara menikah. Namun, karena sebuah kecelakaan yang meninpa Poppy membuat kedua pihak keluarga sepakat untuk tetap melanjutkan pernikahan itu, tetapi dengan Amara menjadi pengantin wanitanya. Selain karena Poppy sedang koma di rumah sakit, keluarga besar juga tak mau menanggung malu karena membatalkan pernikahan begitu saja.

Amara tak bisa menolak. Karena semua orang menyalahkannya, karena waktu itu Poppy mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi hanya karena kebodohan Amara.

Amara menghela napas kasar. Dia semakin merasa bersalah. Amara takut Poppy akan semakin marah, apa lagi mengingat kakaknya begitu mencintai Axel.

"Neng Amara ini tasnya." Lamunan Amara buyar ketika mendengar satpam yang memanggil namanya.

"Makasih, Pak." Amara menunduk sopan setelah mengambil koper miliknya.

"Aku pasti bisa lewatin semuanya." Amara menyemangati dirinya sendiri. Dia yakin Tuhan punya tujuan atas semua ini.

Amara melangkah masuk ke dalam kamar, di sana sudah ada Axel yang sedang menatap jendela dengan pandangan datar.

"Kak Axel—"

"Lo tidur di kamar sebelah!" potong Axel sebelum Amara menyelesaikan kalimatnya.

Amara mengangguk kaku. Dengan perasaan campur aduk Amara menarik kopernya menuju kamar tepat di sebelah kamar Axel.

Amara rasa cukup semuanya menjelaskan. Jika Axel benar-benar merasa terganggu dengan kehadirannya.

Setelah pintu tertutup Amara langsung menjatuhkan dirinya di lantai.

"Kenapa rasanya sakit. Padahal aku tahu semuanya bakal kayak gini." Air mata wanita itu luruh begitu saja. Rasanya begitu menyesakkan.

"Kenapa semuanya malah gini?"

Amara pernah bermimpi menikah dengan lelaki yang dia cintai, hidup dengan bahagia bersama. Lalu, kenapa mimpinya itu sama sekali tak terwujud.

"Sakit banget rasanya," lirih Amara meremas dadanya yang terasa begitu sesak.

"Maafin Amara, Kak."

Kepala Amara seketika penuh. Bagaimana jika Poppy marah dan membencinya, bagaimana jika Poppy dan Axel masih tetap berhubungan bahkan setelah pernikahan ini sudah terlaksana.

"Jangan berpikiran tentang hal bodoh, Amara!" Amara memukul kepalanya keras. Dia harus yakin, jika semuanya akan berjalan baik. Ya, semuanya akan berjalan dengan baik.

***

Axel menuju dapur dengan bertelanjang dada. Matanya tak sengaja menangkap punggung Amara, pria itu berdecak sebal langsung membalikkan tubuhnya. Namun, sebelum berlangkah pergi suara Amara lebih dulu terdengar.

"Kak ayo sarapan!" Amara berlari kecil menghampiri Axel.

Axel menatap Amara yang sedang tersenyum lebar. Dulu dia sangat suka melihat senyum itu, dulu dia benar-benar menyayangi Amara seperti adiknya sendiri.

"Gue enggak laper," tolak Axel.

"Nanti kakak sakit." Amara menarik tangan Axel paksa hingga sampai di meja makan.

"Kita sarapan dulu." Axel mengepalkan tangannya melihat Amara yang terlihat bahagia. Bahkan setelah kakak dari wanita itu masih belum siuman di rumah sakit.

"Lepas!" Axel menepis kasar tangan Amara hingga tak sengaja terkena pinggiran meja. Amara memekik kaget langsung mengelus tangannya yang terlihat memerah.

"Lo itu egois tahu gak! Gue enggak nyangka banget!" Axel pergi meninggalkan Amara sendiri dalam keheningan.

Senyum wanita dengan dress hijau itu luntur. Kepalanya menunduk melihat masakannya yangs sama sekali belum tersentuh.

Tanpa sadar air matanya jatuh begitu ke pipi mulusnya.

"Aku emang egois," ucapnya dengan suara serak menahan isakan. Dia tak mau Axel mengetahui dirinya menangis, Amara tak mau malah semakin membebankan lelaki itu.

***

Amara terus melirik jam dinding dengan perasaan cemas. Sudah hampir tengah malam tetapi Axel belum juga pulang. Bahkan sama sekali tak menghubungi Amara.

Amara ingin langsung pergi tidur, tetapi sama sekali tak bisa. Dia benar-benar mengkhawatirkan Axel.

"Kak Axel di mana, sih?" Dia melirik ponsel yang sama sekali tak memunculkan nama Axel dengan perasaan campur aduk.

Tak mungkin Axel meninggalkannya, tak mungkin pria tega melakukannya.

Walau beberapa hari ini sikap Axel bisa dikatakan tak baik kepada, Amara yakin jika Axel tak mungkin pergi begitu saja.

Amara duduk di sofa dengan pandangan terus mengarah kepada jam.

"Aku telpon aja, deh."

"Halo?" Amara bernapas lega ketika mendengar suara Axel di seberang sana.

"Nemenin kak Poppy?" Amara tersenyum kecut.

"Iya. Kak Axel jangan lupa makan," ucapnya dengan suara serak.

Cepat-cepat Amara mematikan ponselnya. Dia jadi menyesal menelepon Axel. Karena yang dia dapatkan hanyalah sebuah luka.