Chereads / TENANGLAH DI SYURGA, NAK! / Chapter 3 - PART 3

Chapter 3 - PART 3

"Ada ya di sini yang tega membunuh anaknya demi mengejar materi, padahal seharusnya tugas seorang Ibu yang utama adalah menjaga anak di rumah. Kan zaman sekarang bisa aja berbisnis dari rumah. Enggak seperti zaman dulu, kalau kerja mesti keluar rumah," Mami mertuaku memulai pembicaraan dengan sinis. Tentu saja kata-kata dari Mami begitu menyakitkan. Harusnya sebagai seorang mertua kepada menantunya yang sedang sedih bisa menghiburku. Tetapi ini malah berkata-kata yang semakin menyakitkanku.

"Aku saja bela-belain resign loh Mi dari pekerjaanku. Kan Mas Eko sudah mencukupi keperluanku dan Fiko," Fina menimpali dan sengaja semakin memojokkanku. Fiko adalah putra pertama mereka yang sudah berusia hampir empat tahun. Sebenarnya Fina bisa di bilang tidak resign sama sekali karena kerjanya hanya sebagai kasir di toko sembako Mami. Sewaktu hamil Fiko, dia sudah berhenti membantu Mami. Sekarang Fina hanya fokus mengurus Fiko di rumah karena Eko, suaminya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang lumayan.

"Ibu macam apa dia? Sampai anaknya sakit tidak di hiraukannya. Malah lebih memilih pekerjaan yang tiada habisnya dan habis itu, dia malah sempet-sempetnya shopping lagi!" Mami makin lama makin mengomel, yang tentu saja semakin menyakitkan telingaku.

"Ih enggak tahunya anaknya malah di jadikan pengemis oleh babunya! Malang nian nasibnya. Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai deh terjadi sama aku. Ya itulah Mbak Ratu, di bilangin orangtua malah ngeyel. Sekarang terima aja akibatnya," sahut Fina senang sekali terus-menerus mengejekku. Tidak ada satupun kata prihatin atau turut merasakan kesedihan yang aku rasakan.

Tak lama kemudian datanglah mobil ambulans yang membawa jenazah anakku. Kulihat Mas Farhan dengan wajah sedih menggendong putri kami Alika yang sudah terbungkus kain kafan dan di sebelahnya di dampingi oleh Mas Fahmi. Ya Allah. Pemandangan yang sungguh menyayat hatiku. Aku langsung bergegas menghampiri Mas Farhan, namun Mami dan Fina menghalangi langkahku.

"Mau apa kamu Ratu?" hardik Mami sambil memegang tangan kananku. Sementara Fina memegangi tangan kiriku. 

"Lepas! Lepaskan aku! Aku mau menghampiri anakku!" Aku berteriak meronta-ronta berusaha melepaskan kedua tanganku dari cengkeraman mereka berdua. Namun sayang, mereka berdua terlalu kuat. Tenagaku yang cuma seorang diri tentu saja kalah dengan mereka. Apalagi aku kelelahan dan juga kurang tidur.

Mas Farhan memasuki ruangan tamu kami. Sebentar lagi akan di adakan sholat jenazah. Bapak-bapak dan ibu-ibu siap menempati shaf yang sudah di tentukan. Sementara aku menangis di pojokan sambil meraung-raung.

"Bisa diem nggak sih kamu Ratu!" teriak Mami yang kesal karena aku terus menangis dengan keras. "Nasi sudah menjadi bubur. Percuma aja kamu mau meraung, menangis sekuat tenaga. Enggak akan ada gunanya! Enggak akan membuat Alika hidup lagi!

"Kamu paham nggak sih Mbak? Orang-orang mau bersiap-siap menyolati jenazah anakmu. Harusnya kamu bersyukur karena masih ada tetangga dan keluarga yang peduli dengan kamu dan anakmu!" balas Fina dengan sinis sambil membuang muka.

Aku pun terdiam, tapi aku masih menangis sesenggukan. Mami ikut sholat jenazah bersama para ibu yang lain. Sedangkan Fina duduk di sebelah ku mengawasiku, sambil sekali-kali mengecek ponselnya. Mbok Nem memberikanku segelas air putih, sambil sesekali mengelus punggungku.

"Yang sabar ya Bu," bisik Mbok Nem sambil menyeka air matanya.

Aku hanya mengangguk kecil. Dadaku begitu sesak, aku bahkan tak bisa leluasa melihat jenazah anakku.

"Mbok, ini semua salahku Mbok. Harusnya aku enggak meninggalkan Alika," jawabku lirih.

"Bu, ini semua sudah takdir dari Allah. Ibu harus bisa menerimanya."

"Tapi aku enggak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri Mbok. Aku Ibu yang jahat, Ibu yang enggak berguna," aku terus saja menangis sambil merutuki kesalahan diriku sendiri.

Setelah selesai sholat dan pembacaan doa. Jenazah Alika akan di bawa dengan mobil ambulans menuju tempat pemakaman umum. Mas Fahmi kali ini yang menggendong Alika. Sedangkan Mas Farhan mengiringi Mas Fahmi karena Mas Farhan terlihat sangat terpukul. Sesekali Eko mengusap-usap punggung Mas Farhan agar dia lebih tenang.

"Aku ikut! Pokoknya aku harus ikut!" teriakku histeris karena aku ingin melihat jenazah anakku untuk terakhir kalinya.

"Mami tidak akan mengizinkan kamu ikut ke tempat pemakaman Alika! Nanti yang ada kamu malah akan bikin ribut dan bikin malu Mami!" sahut Mami sambil berkacak pinggang.

"Tolonglah Mi! Izinkan aku ikut," pintaku sambil memegangi kaki Mami. Padahal aku dulu orang yang paling pantang memohon sesuatu kepada orang lain selain dengan kedua orangtuaku. Namun kali ini, demi melihat anakku aku harus rela merendahkan diriku sendiri di hadapan mertuaku.

"Sekali Mami bilang jangan ikut, ya jangan ikut! Kamu jangan melawan Ratu!" jawab Mami tetap pada pendiriannya. Mami memang keras kepala. Pendiriannya yang keras, susah sekali untuk melawan perkataan beliau.

Mas Farhan yang sudah berjalan duluan pun menoleh ke arahku. Dia menatap heran atas peedebatanku dengan Mami. Kemudian dia menghampiri kami dan berusaha untuk melerai perdebatanku dengan Mami.

"Mi, sudahlah. Ngapain pake acara ribut-ribut segala. Malu di dengar tetangga. Farhan capek Mi! Sudahlah! Izinkan Ratu ikut dengan kita. Bagaimanapun Ratu adalah ibu kandung Alika! Dia yang sudah melahirkan Alika dan menyusui Alika," sahut Mas Farhan berusaha untuk membelaku di hadapan Maminya.

"Halah, wong melahirkan secara caesar aja bangga! Kan nggak sakit tuh pas melahirkan! Pantesan aja dia tega sama anaknya! Coba Mami melahirkan kalian bertiga secara normal sakitnya minta ampun. Adikmu Fina dan Rita, istrinya Fahmi juga malah sudah dua kali melahirkan normal. Makanya kami nggak ada yang tega sama anak!" balas Mami dengan ketus dan beliau masih belum terima kalau aku ikut ke pemakaman.

"Mi, sudahlah! Enggak akan ada gunanya Mami dan Mbak Ratu berdebat terus. Semua sudah terjadi, semua sudah takdir dan suratan dari Allah yang tak akan mungkin kita ingkari," jawab Eko dengan lembut. Berani juga dia menegur Mami. Biasanya dia kebanyakan hanya diam saja, apalagi dia hanya menantu juga di keluarga ini. Memang Eko wataknya pendiam dan cara bicaranya halus. Dia hanya mau berbicara jika hal penting dan terdesak saja. Berbeda sekali dengan istrinya yang cerewetnya minta ampun persis dengan Maminya.

Akhirnya, akupun di izinkan pergi dengan mobil Mas Farhan. Mas Farhan dan Mas Fahmi menaiki mobil ambulans bersama dengan putri kami. Sementara Eko yang menyupir mobil Mas Farhan. Aku duduk paling depan. Sementara di belakang, ada Fina dan Mami.

Kalian pasti bertanya dimana orangtuaku. Orangtuaku akan sampai ke sini besok karena orangtuaku tinggal berbeda pulau denganku. Aku dulu merantau sampai akhirnya menikah dengan Mas Farhan.

(Bersambung)