"Gimana belajarnya hari ini, Non Ariel?" tanya Sanikem, orang yang merawatnya sejak kecil.
Ariel yang sedang mengamati jalan lewat kaca mobil, menoleh pada Sanikem.
"Biasa-biasa saja, Bi. Ariel belum nemu pelajaran yang Ariel suka selain tematik sama Bu Guru Jovanka."
Jovanka lagi.
Sanikem tersenyum simpul. "Non Ariel suka banget, ya, sama Bu Guru Jovanka?"
Ariel langsung menghadap Sanikem. Matanya berbinar cerah, seolah-olah sangat tertarik untuk membicarakan Jovanka, guru yang sangat dikaguminya.
"Ariel nggak tau udah berapa kali Ariel bilang ini ke Bibi, tapi Ariel benar-benar suka banget sama Bu Guru Jovanka."
"Karena Bu Guru cantik, kan? Pintar juga, toh?"
"Jangan lupa, Bu Guru Jovanka juga baik banget sama Ariel." Anak perempuan itu mendekatkan diri ke Sanikem. "Tadi pas pulang, lagi-lagi Ariel dipeluk sama Bu Guru Jovanka. Lama... banget...!"
"Wah, Bu Guru Jovanka baik banget sama Non Ariel. Pasti Bu Guru Jovanka sayang juga deh sama Non," sahut Sanikem seraya mengelus puncak kepala nonanya.
"Pasti begitu kan, Bi?" jawab Ariel seraya melihat lalu lintas di depan sana.
Sanikem menoleh singkat. "Loh, kok ragu gitu, Non? Pasti dong Bu Guru Jovanka sayang sama Non."
"Bu Guru Jovanka juga bilang gitu sih ke Ariel."
"Terus kenapa Non Ariel ragu?"
"Hmm." Ariel menoleh sejenak ke kiri. "Bu Guru Jovanka kesal nggak ya sama Ariel?"
"Kenapa harus kesal?"
"Karena Ariel sering minta peluk. Ariel juga sering nangis. Ariel sering ngadu ke Bu Guru Jovanka karena papa yang terus ingkar janji. Ariel... bukannya Ariel nyebelin, ya, Bi?"
"Loh, Non Ariel kok mikir begitu?" sahut Pak Parman, supir pribadi. "Kalau Bu Guru Jovanka kesal sama Non Ariel, Bu Guru Jovanka nggak akan mau dekat-dekat sama Non Ariel. Soalnya Non Ariel nyebelin. Tapi, yang bapak liat, Bu Guru Jovanka selalu ada di sisi Non Ariel setiap Pak Parman sama Bi Sanikem jemput Non. Pak Parman yakin kok Bu Guru Jovanka nggak pernah mikir Non Ariel nyebelin."
Ariel terdiam cukup lama seraya menatap Pak Parman. Bibirnya terbuka, kemudian tertutup lagi. Sebelum akhirnya dia mengatakan, "Berarti Ariel nyebelin di mata papa, ya? Soalnya papa nggak pernah ada di sisi Ariel."
"Eh, Non...!"
"Duh, ngomong opo iki?" gerutu Sanikem pada Parman. Sanikem langsung memeluk Ariel. "Ndak, Non, ndak. Pak David ndak kesal sama Non. Pak David juga Ndak nganggap Non nyebelin. Pak David cuma... cuma sibuk sama pekerjaannya. Pak David juga kerja untuk Non."
"Hmm, buat apa kerja kalau papa nggak pernah hadir di acara sekolah? Ariel malu sama teman-teman karena yang datang Bibi atau Pak Parman mulu. Memangnya Ariel nggak punya papa apa?"
"Non...!" Sanikem melebarkan matanya. Dia makin erat memeluk Ariel. Sementara Ariel melepaskan pelukannya sambil tersenyum.
"Nggak papa, Bi. Ariel tau kok. Em... maaf tadi Ariel bilang malu kalau Bibi dan Pak Parman mulu yang datang. Ariel nggak malu kok kalau kalian datang, Ariel cuma malu kalau papa nggak datang mulu."
"Bukan malu, tapi apa, ya?" ujarnya mencari kata-kata yang benar. "Ah, nggak tau. Pokoknya besok kalau papa nggak datang lagi, Bibi sama Pak Parman tolong datang ke sekolah, ya," pinta Ariel sambil tersenyum, tapi rautnya agak sendu.
"Ya, Non. Bibi sama Pak Parman pasti datang. Tapi, Non mau ajak Pak David dulu, kan?"
Ariel mengangguk seraya memalingkan wajah, memandang ke luar.
"Ariel tetap ajak papa. Kata Bu Guru Jovanka, Ariel harus tetap berusaha walaupun selalu gagal. Tapi, kalau besok papa nggak datang juga...."
Ariel tidak melanjutkan ucapannya. Dia terus memandang ke luar sampai mobil hitam mewah itu tiba di pekarangan rumah berwarna putih gading yang elegan.
***
Jakarta Pusat, 22.17 WIB
Ceklek
Pintu kamar Ariel sedikit terbuka. Dari sana muncul Sanikem yang melongok melihat Ariel masih duduk di meja belajar seraya mencoret-coret buku.
"Non Ariel," panggil Sanikem seraya masuk menghampiri.
Ariel menoleh dengan matanya yang lemah karena menahan kantuk. "Oh, Bibi. Papa belum pulang?"
Sanikem menggeleng pelan. "Non tidur saja, ya? Sudah malam, besok kan ada acara di sekolah. Nanti Bibi yang sampaikan ke bapak."
"Papa pulang jam berapa? Ada kabar nggak?"
Lagi-lagi Sanikem menggeleng. "Nggak ada, Non. Tadi Bibi sudah hubungi ke kantor, tapi nggak ada jawaban yang jelas."
Ariel menatap jam kecil yang terpampang di meja belajar. "Tunggu lagi sampai jam setengah sebelas, ya, Bi. Mungkin papa pulang sebentar lagi."
"Baik, Non. Bibi temani nggak apa-apa?"
"Iya, tapi jangan berisik. Ariel lagi berkarya," jawabnya menunjuk buku yang sejak tadi dicoret-coretnya.
Sanikem mengacungkan ibu jari. "Siap, Non!"
Sanikem menghela napas pelan. Dadanya terasa sakit melihat majikan yang telah dirawatnya sejak kecil harus berjuang demi mendapatkan perhatian sang ayah meski sudah diingkari berkali-kali.
Tuk
Suara pensil dan kepala yang terjatuh ke atas meja menarik perhatian Sanikem. Dia berdiri, kemudian menghampiri saat melihat Ariel telah terlelap sebelum jam setengah sebelas malam.
Anak perempuan itu tak sanggup lagi menahan kantuk agar bisa bertemu dengan sang ayah.
Dengan tubuhnya yang agak gempal, Sanikem menggendong Ariel. Diletakkannya di kasur, kemudian dia selimuti.
Sanikem mengelus puncak kepala Ariel. "Selamat malam, Non. Tidur yang nyenyak. Biar Sanikem tepati janji untuk ajak bapak ke acara besok," ujarnya pelan.
Sanikem beranjak ke meja belajar. Mengambil surat undangan yang akan diberikan kepada David, kemudian menutup pintu kamar rapat-rapat.
***
Jakarta Pusat, 22.54 WIB
Suara klakson mobil terdengar di pekarangan rumah. Pertanda tuan pemilik rumah telah tiba. Seorang pria bertubuh gagah turun dari mobil dengan jas yang tersampir di pundak. Rambutnya agak acak-acakan dan raut wajahnya terlihat kelelahan.
Sanikem membukakan pintu dengan cekatan. "Selamat datang, Pak David."
"Ya. Ariel sudah tidur?" tanyanya begitu melangkah masuk.
"Sudah, Pak."
David mengangguk kecil. Pandangannya mengarah ke lantai dua di sisi kanan, tempat malaikat kecilnya berada.
"Sudah lama aku tidak melihatnya," gumam David yang tak bisa didengar oleh siapapun, meski ruangan itu kosong.
"Pak David."
"Ya?"
"Ini ada undangan dari sekolah Non Ariel untuk memperingati hari ayah." Sanikem menunduk, menyerahkan surat undangan yang baru saja diambilnya dari meja di dekat pintu. Memang sudah dia persiapkan sejak tadi.
"Hari ayah?" tanya David sambil menerimanya. Dia membuka surat tersebut dengan cekatan. Matanya membaca surat tersebut dengan sekilas.
12 November 20XX
Sekarang tanggal 11 November dan besok adalah harinya. David menutup mata seraya merapatkan bibir.
Hari ayah?
Untuknya yang tak pantas disebut sebagai ayah?
Wajahnya tercoreng arang jika besok dia muncul di depan Ariel.
"Besok...."
"Ya, besok, Pak. Non Ariel sangat mengharapkan kehadiran anda kali ini."
Kali ini.
Artinya sudah berapa kali anak itu mengharapkan kehadirannya? Dan sudah berapa kali dia tidak datang sampai Ariel sangat mengharapkan kehadirannya kali ini?
David yang sangat lelah, merasa ditiban batu besar di kepala. Dia merapatkan gigi-giginya.
"Bapak bisa datang, kan?" tanya Sanikem meyakinkan dengan raut berseri.
David menutup mata. Dia memalingkan wajah dari Sanikem.
"Aku sibuk. Kau saja yang datang, tentunya bersama Parman," balas David seraya memberikan surat undangan itu lagi kepada Sanikem.
"Tapi, Pak...!"
David seolah tuli. Dia berjalan meninggalkan Sanikem yang terdiam di ruang tamu sambil memegang surat undangan dengan pandangan sendu.
Makin lama Sanikem melihat punggung David yang makin menjauh, makin besar rasanya Sanikem ingin mengutuk majikannya sendiri.
———