Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Di Balik Kesempurnaan Jovanka

🇮🇩WhiteJasmine_01
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.4k
Views
Synopsis
Menjalin cinta dengan salah seorang wali murid yang bertittle duda kaya dan tampan? Say No! Jovanka Putri Ahmad tidak mau menjalin cinta dengan wali muridnya sendiri. Apalagi, wali muridnya itu adalah orang yang berkali-kali membuat tekanan darahnya naik. Di mata Jovanka, David Ryan Efendi telah ditandainya sebagai seorang ayah yang membuat putrinya trauma. Jovanka menutup celah bagi David untuk masuk ke hatinya. Namun, sifat David yang keras kepala dan pantang menyerah, membuat Jovanka pusing karenanya. Akankah celah itu mengikis dan membiarkan David perlahan-lahan mengisi hati Jovanka? Atau julukan ayah yang membuat putrinya trauma masih melekat erat pada diri David? ——— Written by WhiteJasmine_01 Check it out!
VIEW MORE

Chapter 1 - Bu Guru Jovanka, Mau Peluk!

(It's time to end the school)

Seruan itu diiringi dengan irama yang menyeruak ke seluruh penjuru sekolah. Jovanka yang baru saja selesai mengisi buku berita acara kelas 2.1 menengadah, memandang jam dinding di depan sana. Bibirnya tersungging lebar tatkala mendengar seruan anak-anak yang gembira karena jam sekolah sudah berakhir.

Dia menutup buku berita acara dan berdiri. "Ayo, rapikan bukunya. Jangan sampai ada yang tertinggal, ya! Kotak makannya juga masukkan ke tas."

Ekor matanya menangkap seorang bocah laki-laki yang sudah berdiri, siap untuk berlari, kabur dari ruang kelas.

"Theo," panggilnya sambil mengacungkan jari telunjuk seraya menggeleng. Bocah laki-laki itu langsung tersenyum lebar dan terkekeh. "Belum waktunya. Kita berdoa dulu setelah selesai kelas, oke?"

"Ya, Bu Guru!" sahut bocah laki-laki bernama Theo itu.

Jovanka kembali menatap murid-muridnya dari ujung satu ke ujung lain. Rata-rata dari mereka sudah memakai tas, siap untuk pulang.

"Tidak ada yang tertinggal lagi, Nak?"

"Tidak ada, Bu Guru!" jawab mereka serempak.

"Nak, jangan lupa, besok kita ada acara untuk memperingati hari ayah. Kalian harus apa?"

"Kasih surat undangan ke ayah, terus bawa ayah ke sekolah!"

"Pintar, Erika!" puji Jovanka yang membuat hidung anak perempuan itu kembang-kempis.

Baru saja Jovanka hendak mengambil napas untuk membuka suaranya lagi, seorang anak perempuan telah mengacungkan tangannya lebih dahulu.

"Bu Guru Jovanka, Ariel mau pimpin doanya!" seru Ariel, anak perempuan yang rambutnya dikuncir kuda.

"Ariel mau pimpin doanya? Oke, boleh." Jovanka tersenyum simpul setelahnya.

Seluruh mata sejenak tertuju pada Ariel yang duduk di bangku tengah nomor dua.

"Teman-teman, sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa menurut kepercayaan masing-masing mulai," ujar Ariel yang kemudian mengangkat tangannya sambil menunduk. Tak lama kemudian, dia kembali mendongak. "Selesai. Memberi salam kepada Bu Guru Jovanka!"

"Selamat siang, Bu Guru Jovanka!" seru anak-anak dengan senyum lebar.

"Selamat siang juga, Anak-anak!" Jovanka membalas seraya tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. "Kemarin yang pulang duluan barisan satu, sekarang barisan empat, ya. Ayo, Theo!" seru Jovanka memanggil bocah laki-laki yang tadi tidak sabar untuk pulang.

Satu per satu dari mereka meninggalkan kelas dengan memilih salah satu dari tiga permintaan, peluk, highfive, atau salaman.

"Bu Guru Jovanka, mau peluk!" pinta Ariel yang seharusnya sudah keluar sejak tadi, tetapi sengaja untuk keluar paling akhir. Jovanka sudah tidak heran dengan kebiasaan muridnya yang satu itu.

Jovanka tetap mempertahankan senyumnya. "Boleh, Ariel." Dia menunduk, kemudian memeluk anak perempuan itu. Jovanka hendak melepaskan pelukan, tetapi anak itu menahannya.

"Kenapa, Ariel?" tanya Jovanka yang setelahnya langsung berlutut di hadapan Ariel.

"Bu Guru Jovanka," panggilnya agak sendu.

"Ya, Ariel?"

"Bu Guru Jovanka," panggilnya lagi dengan suara yang benar-benar sendu.

"Ya, Ariel. Kenapa, Nak?"

"Besok hari papa," jawab anak itu. Jantung Jovanka berdenyut nyeri. Jovanka tahu alasan Ariel bertingkah seperti ini. Ariel melepaskan pelukan dan menatap Jovanka dengan matanya yang berkaca-kaca. Hati Jovanka serasa disayat-sayat melihatnya.

"Ariel," panggilnya sambil mengerutkan alis.

"Apa papa akan datang, Bu Guru?" tanya anak perempuan itu dengan wajah memelas.

Jovanka terdiam sejenak. Tidak tahu harus menjawab seperti apa. Jovanka tidak ingin memberikan harapan palsu pada anak di hadapannya, tetapi juga tidak ingin membuatnya sedih.

"Ariel sudah beri undangan pada papa?" tanya Jovanka tersenyum tipis.

Anak perempuan itu menggeleng pelan. Mengelap hidungnya yang sedikit beringus. "Belum, Bu Guru. Ariel takut papa tidak bisa datang lagi."

Begitu mendengarnya, yang langsung terlintas di kepala Jovanka adalah anak ini trauma dengan ayahnya sendiri!

Jovanka membelai kepala Ariel sambil tersenyum. "Ariel tau cerita pak petani yang gagal panen berkali-kali, tapi tetap berusaha?"

Anak itu mengangguk. "Yang setelahnya pak petani berhasil mendapatkan banyak uang karena panennya berhasil?"

"Betul, Nak. Jadi, Ariel sudah tau apa yang harus dilakukan?"

"Ariel harus tetap berusaha memberikan surat undangan pada papa, Bu Guru."

Jovanka mengangguk dengan wajah menenangkan. "Ya, Ariel harus berusaha lagi, Nak."

"Kalau papa tidak bisa datang lagi?"

Jovanka terdiam. Dia menatap Ariel tanpa bisa berkata-kata untuk sejenak.

"Bu Guru, kalau papa tidak bisa datang lagi gimana? Ariel harus apa? Ariel takut, Bu Guru."

"Nanti Bu Guru Jovanka yang akan marahi papa kalau tidak datang lagi, oke?"

"Memangnya Bu Guru berani? Papa itu galak."

"Ibu tidak takut. Ibu lebih galak," jawabnya diikuti auman seperti singa. Membuat Ariel tertawa, terhibur dengan candaan Jovanka.

"Ariel percaya sama Ibu. Ariel lebih percaya sama Ibu daripada sama papa. Ariel sayang Bu Guru Jovanka!" serunya langsung memeluk erat Jovanka.

Jovanka tersenyum, membalas pelukannya walaupun rambutnya sakit karena ketarik. "Bu Guru juga sayang Ariel."

"Sebanyak Ariel sayang Bu Guru Jovanka?"

"Hmm, kalau itu... sepertinya Ibu kalah dari Ariel. Ya, kan?"

"Ya, ya, ya! Ariel yang lebih sayang sama Bu Guru Jovanka!" serunya sambil berjingkrak-jingkrak. Membuat senyum Jovanka semakin tersungging, tetapi hatinya terus berdenyut sejak tadi.

***

"Bye-bye, Bu Guru Jovanka!" seru Ariel sambil melambaikan tangan dari dalam mobil.

"Bye-bye juga, Ariel!" sahut Jovanka, melakukan hal yang sama dengan anak muridnya itu.

Mobil hitam mewah itu berbelok, keluar dari parkiran sekolah yang amat besar. Menyisakan Jovanka sendirian di tengah-tengah parkiran yang cukup terik. Pandangan Jovanka terarah pada sebuah pohon yang berdiri kokoh di sana. Dia memicingkan mata, kemudian menghela napas.

"Baru tengah hari, tapi sudah berasa berat saja," gumam Jovanka menghela napas kasar, kemudian berbalik masuk ke sekolah dengan buku-buku di tangan kirinya.

Tak, tok, tak, tok

Sepatu setinggi 5cm yang bergesekan dengan lantai membuat suara di selasar yang sudah hampir kosong. Hanya ada beberapa guru dan murid saja yang menyapanya.

"Bu Jo!" panggil seorang laki-laki yang akrab di telinganya.

Jovanka tidak menoleh karena tahu laki-laki itu mengejar langkahnya. Begitu sang laki-laki sejajar dengannya, Jovanka baru menyahut.

"Kenapa, Pak Galih?"

"Aku liat kamu tadi dari parkiran."

"Hmm."

"Habis antar anak murid? Ariel, ya?"

"Iya."

Galih menatap jeli pada Jovanka. "Em... kamu nggak mau tau kenapa aku bisa tau kamu habis ke sana?"

"Loh, Bapak tau karena liat saya, kan?" sahut Jovanka sambil mengangkat sebelah alis, menatap aneh pada Galih yang terkekeh garing.

"Omong-omong, Jo, panggil aku Galih aja dong. Masa pakai bapak? Emangnya aku udah tua apa? Aku masih--"

"Bapak memang lebih tua daripada saya," potong Jovanka menghentikan langkah sambil tersenyum paksa. Membuat langkah Galih ikut terhenti.

Jovanka menatap Galih dengan cukup tajam. "Saya dua puluh enam, Bapak tiga puluh. Jelas, Bapak lebih tua daripada saya. Dan saya harus menghormati Bapak. Lagipula kita berada di lingkungan sekolah yang saya rasa tak pantas untuk memanggil dengan akrab seperti itu."

"Hmm, benar juga, Jo." Galih mengangguk-angguk. Dia menatap Jovanka dengan seringai tipis. "Jadi, kalau di luar sekolah bisa dong panggil Galih aja?"

Jovanka mengalihkan tatapan, kemudian menghela napas kecil. "Bapak lebih tua daripada saya. Maaf, saya permisi dulu, Pak Galih," ujar Jovanka menekankan panggilan Pak Galih di akhirnya.

"Kamu mau ke mana, Jo?"

"Toilet," jawabnya terpaksa berbohong agar laki-laki itu tidak mengikutinya lagi.

Galih dibuat mematung. Jovanka menganggukkan kepala, kemudian berjalan lagi dan belok ke kanan di ujung selasar untuk pura-pura ke toilet.

Galih menatap kepergian Jovanka dengan mata yang menggila.

"Kamu memang sangat menarik, Jo. Saya dibuat gila sama kamu," ujarnya pelan seraya mengacak-acak rambut.

———