Wajah Salim lalu menunduk sebentar dan tatapannya terfokus pada kaki cawan yang masih digenggamnya. Jarinya yang memegang cawan bergerak-gerak seolah mereka sedang berdansa. Kedua sudut bibirnya pun tertarik, membentuk senyuman dingin.
'Satu... Dua... Tiga...', Salim menghitung dalam hati.
Bukan. Salim bukan sedang menghitung peluncuran bogemnya ke arah si pria tua. Sebaliknya, saat ini dia tengah berusaha untuk mengatur emosinya agar tak muncul ke permukaan sehingga dapat dilihat oleh semua pengunjung kedai yang ada di sana.
Itulah bagian tersulitnya. Mengontrol amarah tidak semudah bila dibandingkan dengan mengobrak-abrik seluruh tempat tersebut. Tapi Salim harus dapat melakukannya. Dan dia bisa.
Selepasnya Salim mengangkat kembali wajahnya dan melempar senyum lebar ke arah si pria tua. Sikapnya menunjukkan seakan dia sama sekali tidak terpengaruh oleh ucapan ngawur si pria tua itu mengenai dirinya dan juga orang tuanya.