Hanya terasa dorongan dalam dirinya yang meminta untuk diyakinkan dan sang pangeran terasa sebagai tempat yang tepat baginya untuk mendapatkan kemantapan itu.
Tatapan kedua anak Adam itu tertahan pada satu sama lain. Salim tak mengatakan apapun bahkan sekedar melalui sorot matanya. Pendar matanya serupa permukaan perairan yang tenang dan menyejukkan siapapun yang melihatnya. Pada akhirnya, dari sanalah Arsia mendapatkan jawabannya. Bukan keyakinan hati seperti yang ditunggunya melainkan sebuah keputusan.
Arsia meletakkan penanya. Manik hitamnya mengunci Salim dalam bayangan retinanya.
"Aku tidak tahu apakah aku sudah menyinggungmu dengan meminta adanya perjanjian tertulis ini. Mungkin kau berpikir bila aku tidak mempercayaimu atau semacamnya. Aku minta maaf untuk itu bila kau merasa demikian," Arsia berucap. Ada sesal dalam getar suaranya.