Bagaimana rasanya jika menjalani hidup seperti menikmati kematian secara perlahan-lahan? Hampa, sunyi, dan penuh drama kebohongan! Lalu, ditemani sejuta obat.
*****
Hafiza Khaira Lubna, gadis mungil berkulit kuning langsat. Netranya menatap tempat pil, membaca keterangan yang tertulis dengan seringai. Seketika ia ingat dengan pernyataan, 'Enak ya, jadi lu!' senyum sinis terukir di bibir— mengenggam tempat obat semakin erat— melemparnya penuh keemosian. Tidak puas sampai di situ, Hafizah berjalan cepat menghampiri setiap laci yang ada di dalam kamar, lalu membuang setiap obat yang ia temukan. Kedua kaki yang sudah lemas, ia terduduk di sudut kamar dekat laci, menangis campur tertawa.
Mata sembab itu, tiba-tiba menatap sebuah cermin rias dengan penuh makna.
Ia bergegas beranjak dari duduk, berjalan ke arah kaca rias— di depan kaca rias— menatap sinis pantulan dirinya. 'Dasar lemah!'
Brak!
Hafiza menggebrak meja rias sambil memajukan wajahnya. "Kenapa aku yang mengalah? Merelakan kebahagian direbut olehnya," ujarnya. Ia mengepalkan tangan dengan erat, mengabaikan setiap kuku-kuku yang menusuk telapak tangan hingga darah segar mengalir.
"Apa aku boleh bersikap egois sekali? Demi mempertahankan kebahagianku?" tanya Hafiza di depan cermin rias.
Butiran bening turun perlahan-lahan ketika sosok laki-laki ada di benak kepalanya. Hancur! Gangguan psike pun ia rasakan, tapi apa! Tidak ada yang bisa memahami keadaanya, bahkan yang peduli pun tidak ada, miris sekali. Semuanya lebih peduli dengan wanita itu.
Hafiza menghapus air mata secara kasar, pipi mulus terkena darah akibat telapak tangan yang terluka. Lagi-lagi ia tersenyum sinis depan cermin . "Apa daya aku, hanya seorang wanita penyembuh luka. Bukan wanita yang spesial." Ia menjauhkan wajahnya dari cermin rias dan mengambil salah satu benda, tiba-tiba ... prak! Serpihan beling berhamburan di lantai.
Ada rasa sesak di hati yang tidak bisa dijelaskan. Hanya menangis, meratapi kebodohan yang Hafiza lakukan. Ia mengambil lagi salah satu benda di atas meja rias, memegang sangat erat. "Aku benci! Caramu mempermainkan aku semau mu. Aku pun benci dengan drama yang dibuat olehnya! Aku benci kalian!" pekiknya sambil melemparkan benda yang digenggam. Kaca rias pun sudah tidak berbentuk sempurna.
Hafiza melangkah ke tempat tidur, setiap langkahnya menginjak serpihan kaca, terciptalah jejak darah di lantai, tapi rasa sakit itu ia abaikan hingga sampai di tempat tidur, lalu duduk termenung. Tanpa diminta, pintu kamar terbuka menampilkan wanita berkerudung pink soft. Wanita ini menarik nafas melihat suasana kamar yang kacau.
"Aku lelah...," lirih Hafiza, tatapan matanya kosong.
Wanita berkhimar pink soft hanya bisa diam. Memperhatikan secara lekat, betapa rapuhnya Hafizah. "Ungkapkan selagi ada waktu. Jangan nyiksa diri sendiri kaya begini," pesannya.