Bab 4
Pindahnya Demas ke Jakarta menjadi kesedihan tersendiri buat Aira. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh Demas. Masih ada beberapa hari lagi untuk Demas akan pindah ke ibu kota. Waktu-waktu yang tersisa sangat dimanfaatkan Demas dan juga Aira untuk menikmati kebersamaan. Sepulang dari kerja, keduanya pasti pergi bernostalgia ke tempat-tempat yang sering mereka datangi. Sehingga mereka tidak menyadari sudah hampir tiga hari ini keduanya selalu pulang sangat larut malam. Hal ini membuat kekhawatiran kedua orang tua Aira dan juga ibu dari Demas.
Para orang tua pun sudah berkumpul di kediaman Aira sambil menunggu anak-anak mereka pulang. Empat tahun pacaran sudah membuat orangtua dari Aira dan juga Demas menjadi satu keluarga. Saat Demas mengantarkan Aira ke rumahnya, kedua sejoli ini kaget ketika melihat para keluarga sudah berkumpul di ruang tamu. Semua melempar senyuman pada keduanya, tapi tidak dengan mereka. Aira dan Demas saling memandang dan melangkah pelan masuk ke dalam rumah.
"Kalian berdua duduklah!" titah dari ayah Aira. Mereka berdua pun duduk sambil tertunduk.
"Kalian sudah lama berhubungan dan usia kalian juga sudah bukan anak ABG lagi, Ibu, bunda dan ayah menginginkan kalian menjalin hubungan lebih serius lagi, sebelum Demas berangkat ke Jakarta." Saat mendengar itu keduanya langsung mengangkat kepala mereka.
"Apa?!" ucap keduanya dengan nada yang kaget.
"Bukannya ibu tidak percaya kalian selalu pulang selarut ini, tapi kita menjaga omongan tetangga kalau kalian berdua pulang selarut ini." Jelas ibunda dari Demas.
"Bu, Ayah, Bunda, Mas berani bersumpah kalau kita berdua menjalin hubungan yang sehat. Dan untuk lanjut kehubugan yang lebih serius lagi, jujur Mas belum siap. Kita berdua masih belum mewujudkan impian kita. Terlebih kita masih satu bulan bekerja dan di dalam kontrak kerja belum boleh menikah sebelum masa kerja satu tahun."
"Benar apa yang dikatakan Mas Demas. Walaupun sebenarnya Aira ingin sekali menikah, tapi impian kita masih belum ada yang terwujud."
"Kalau begitu, kalian bertunangan dulu saja sebelum Demas berangkat ke Jakarta, sambil menunggu masa kerja kalian dan juga impian-impan kalian, bagaimana?" lanjut ayah Aira. Keduanya saling memandang.
Untuk Aira dia sangat senang bisa mempunyai hubungan terikat serius dengan cinta pertamanya itu, tapi tidak dengan Demas. Walaupun dia sangat mencintai Aira, hatinya belum bisa menerima untuk mempunyai hubungan yang lebih serius.
"Bagaimana?" Tanya Bunda. Aira tersenyum mengangguk, sedangkan Demas masih diam tertunduk. Semua memandang Demas mengharapkan jawaban darinya, termasuk Aira.
"Maaf, Ibu, Ayah, Bunda dan kamu Aira. Bukannya Mas menolak untuk hubungan lebih serius lagi, tapi untuk saat ini, Mas masih ingin konsentrasi dalam karir Mas. Mungkin tahun depan akan lebih baik kita maju ke jenjang yang lebih serius lagi, setelah Mas dan Aira membeli sebuah rumah kecil untuk keluarga kecil kita nanti."
Jawaban Demas bukan hanya membuat para orang kecewa, tapi juga Aira. Karena keputusan Demas sudah seperti itu, semua keluarga termasuk Aira terpaksa menyetujuinya. Hari sudah semakin larut, Demas dan keluarganya pun pamit pulang. Semanjak kejadian tadi, Aira merasa kalau cinta yang Demas miliki tidak sebesar cinta yang dimiliki oleh Aira. Dilihat bagaimana Demas menolak untuk bertunangan tadi, Aira menjadi ragu tentang perasaan Demas selama ini padanya. Disaat Aira ragu dengan perasaan demas, Demas tidak sama sekali memikirkan perasaan Aira. Dia menganggap kejadian tadi adalah sesuatu yang biasa.
"Mas, kenapa kamu menolak untuk bertunangan terlebih dahulu?" Tanya ibu Demas saat mereka sudah sampai di rumah.
"Mas, belum siap, Bu. Lagi pula Mas masih muda dan masih mau mengejar impian Mas, Bu. Maafin Mas ya, Bu!"
"Kamu tidak perlu minta maaf sama ibu, tapi yang harus kamu lakukan sekarang adalah meminta maaf pada Aira. Tadi dia tampak kecewa saat kamu menolak untuk bertunangan. Ibu sangat mengerti bagaimana perasaan wanita dan mungkin sekarang Aira sedang merasa sedih. Mendengar itu Demas baru menyadari tentang perasaan Aira.
"Kalau begitu, mas masuk kamar dulu ya, Bu." Dengan cepat Demas menuju kamarnya dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Aira.
Aira masih merasa sangat kacau malam itu. Dia merebahkan tubuhnya sambil melihat foto-foto kebersamaan dia dengan Demas di galeri ponselnya.
'Mas, apa kamu tidak benar-benar menyukaiku?' gumam Aira sambil matanya tertuju pada foto Demas yang sedang merangkul dirinya.
Di saat Aira meneteskan air matanya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia lihat nama Demas yang ada di layar ponselnya. Aira langsung meletakan ponselnya di dada. Entah kenapa dia tidak ingin mengangkat telepon dari kekasihnya itu. Aira pun menyembunyikan ponselnya di bawah bantal dan langsung menarik selimut kemudian memejamkan matanya.
'Yank, kok telepon aku enggak diangkat sih? Apa benar yang dikatakan ibu, kalau kamu kecewa dengan jawaban aku tadi? Maafkan aku, Sayang.' Lirih Demas pelan sambil menatap layar ponselnya yang sedang menelepon Aira tapi tak kunjung diangkat.
Keesokan harinya, Aira berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Dia sengaja pergi lebih awal, karena tidak ingin bertemu dengan Demas. Dia yakin kalau pagi ini Demas akan menjemput dirinya, karena semalam dia tidak mengangkat telepon darinya.
"Pagi, Bunda!" sapa Demas yang baru saja datang ke rumah Aira.
"Loh Mas, kok di sini? Aira sudah sejak tadi berangkat ke kantor. Katanya sih ada kerjaan pagi-pagi yang harus diselesaikan. Bunda kira kamu tahu. Apa kalian berantem?"
"Ah … iya Bunda, aku kok bisa lupa ya. Hehehe … kalau begitu Demas berangkat ke kantor dulu ya, Bun." Demas sengaja berbohong, karena tidak mau bunda merasa khawatir dengan hubungan dia dan Aira.
Beberapa meter dari rumah Aira, Demas merogoh ponselnya yang berada di saku celana, Dia mencoba menghubungi Aira untuk memastikan keberadaan kekasihnya, karena tidak mungkin Aira langsung ke kantor sepagi ini. Berulang kali Demas menghubungi Aira, tapi tidak sama sekali ada jawaban. Dia pun memutuskan untuk mngirim pesan singkat untuk Aira.
Demas : "Sayang, kamu di mana? Kenapa sejak semalam kamu tidak mengangkat telepon dariku? Apakah kamu marah denganku? Sayang, maafkan aku!"
Demas kembali memasukkan ponselnya di saku celana dan melanjutkan perjalanannya. Dia yakin kalau Aira masih berada di sekitaran komplek rumah dia. Sambil berjalan pelan, Demas melirik kanan dan kiri siapa tahu dia menemukan Aira yang sedang berjalan kaki. Demas terus berjalan sampai akhirnya berada di gerbang komplek dan Demas sama sekali tidak menemukan Aira. Dia merasa sangat bersalah, karena ucapan dia semalam. Demas tidak tahu kalau Aira akan semarah ini padanya.
'Sayang, maafin aku.' Lirih Demas dan kembali melanjutkan motornya menuju kantor.
~Bersambung~
Hubungan akan lebih terasa hidup dengan saling menghargai dan juga saling memahami
¬Aira