Pagi itu, setelah anak-anak asrama menyelesaikan sarapan mereka, mereka semua berkumpul di lapangan hingga membentuk bola yang besar mengelilingi sesuatu.
Gracia yang baru menghabiskan sarapannya karena tidak suka diburu-buru merasa penasaran dengan apa yang menjadi sumber kerumunan teman-temannya.
"Hei, apa yang terjadi? Apa yang kalian lihat?"
"Itu. Anak kelas junior tahun ketiga berlari memutari lapangan asrama sejak dari tadi."
"Hei, bukankah kau teman sekelas dengannya?" sahut anak lain saat melihat wajah Gracia.
"Aku?" posisi Gracia saat ini berada di barisan paling belakang anak-anak dan tubuhnya yang mungil membuatnya tidak bisa melihat apa yang ada ditengah-tengah kerumunan teman-teman asramanya.
"Kalau tidak salah… namanya adalah Paskha kan?"
Mendengar nama ini, Gracia terkesiap tak percaya dan segera berusaha menerobos kerumunan.
"Permisi, aku mau lewat." dengan susah payah, Gracia berjalan menerobos teman-temannya satu per satu hingga tiba yang paling depan dan melihat teman sebangkunya berlari memutari lapangan yang besar ini.
Disaat Paskha berlari mendekatinya, Gracia memutuskan untuk berlari bersamanya dan menyapanya.
"Paskha, apa yang kau lakukan?"
"Oh, hai Gracia." Paskha terlalu fokus akan latihannya dan tidak memperdulikan kerumunan teman-temannya sehingga tidak sadar Gracia ikut berlari bersamanya. "Aku sedang latihan lari pagi."
"Aku akan menemanimu."
Paskha hanya memberikan senyuman senang mendengarnya. Tadinya dia mulai merasa lelah, namun kini ditemani oleh gadis kesayangannya, rasa lelahnya tiba-tiba lenyap seketika.
"Sudah berapa kali kau memutari lapangan ini?"
"Uhm… Aku tidak menghitungnya. Tapi setidaknya aku sudah berlari hampir tiga jam."
Gracia hampir tersandung mendengar ini saking terkejutnya. Untungnya dia memiliki keseimbangan yang bagus hingga berhasil bangkit kembali dan menyamai kecepatan temannya.
"Tiga jam? Tanpa berhenti?"
"Begitulah."
"Kenapa? Untuk apa kau melakukannya?"
"Aku ingin mengetes kekuatan fisikku untuk menahan medan gravitasi."
"Tapi kan waktu yang diperlukan untuk membuka satu titik hanya dua jam. Kenapa kau masih berlari?"
Itu karena Paskha ingin membuka ketiga titiknya secara beruntun.
"Gracia, kau akan sulit mengatur pernapasanmu kalau terus berbicara."
Gracia memasang muka cemberut, namun tidak lagi berbicara dan turut berlari. Sayangnya, staminanya tidak bisa menyamai Paskha dan lamban laun, dia tidak lagi bisa berlari sesuai dengan ritem teman sebangkunya.
Napasnya mulai tak teratur dan keringat mulai mengucur deras membasahi bajunya.
Menyadari temannya mulai merasa lelah, Paskha mengurangi kecepatannya dan mengikuti irama kecepatan Gracia.
Gracia tidak menyadari apa yang dilakukan Paskha dan mengira dirinya berhasil menyusul kecepatan temannya.
Setengah jam kemudian, Gracia merasa seluruh kekuatannya disedot oleh sesuatu dan tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Paskha juga mengalami hal yang sama. Dia mulai merasa lelah dan keringat mulai bercucuran dari dahi, leher serta punggungnya.
Tampaknya tiga jam setengah adalah batasannya untuk saat ini. Meskipun dia menggunakan teknik pembagian stamina dengan energi roh pada kedua kakinya, dia masih belum bisa menembus empat jam.
Sementara itu, Gracia hanya bisa bertahan setengah jam. Itu bahkan tidak mencapai setengah untuk membuka titik pertama.
"Kau baik-baik saja?" meskipun dengan napas tersengal-sengal, Paskha masih bisa bertanya dalam satu hembusan napas.
Gracia ingin menjawabnya, namun pernapasannya tidak beraturan dan dia kesulitan menemukan suaranya. Pada akhirnya dia hanya menggelengkan kepalanya.
Dia merasa semua darah mengumpul pada otaknya hingga membuat kepalanya terasa pusing. Disaat Gracia mengangkat wajahnya dan melihat temannya disana, dia merasa bingung karena dia bisa melihat dua Paskha.
"Gracia? Gracia!!"
Hanya itulah yang didengarnya sebelum akhirnya kegelapan mengambil alih pandangannya.
Paskha menjadi panik begitu melihat perempuan yang paling berharga dimatanya tiba-tiba pingsan didepan matanya. Untungnya dia memiliki reflek yang cepat dan langsung menerima tubuh Gracia yang oleng sehingga tidak sampai terjatuh.
Paskha segera mengecek denyut nadi anak perempuan itu dan menyelidiki ekspresi Gracia. Dia menghembuskan napas lega saat mengetahui Gracia hanya jatuh tertidur.
"Gracia?" Leona langsung menghambur keluar dari kerumunan anak-anak dan merebut Gracia dari Paskha untuk memeluknya. "Ada apa dengannya? Kenapa dia pingsan?"
"Tenang saja. Dia hanya tertidur. Mungkin dia memaksakan dirinya hingga menguras seluruh energi roh serta staminanya tanpa ia sadari. Biarkan dia tidur sampai siang, setelah itu energi roh serta staminanya akan kembali pulih."
Sebenarnya akan lebih cepat pulih bila Gracia bisa menyerap energi roh di udara. Hanya saja, tiga titik dasar belum terbuka, sehingga satu-satunya cara untuk memulihkan diri hanyalah tidur.
Energi roh miliknya juga tinggal sedikit, namun staminanya masih cukup untuk berlari beberapa kali putaran. Namun… begitu staminanya terkuras dan energi rohnya menjadi nol, dia juga akan pingsan seperti Gracia.
Sepertinya dia harus menghentikan latihannya pagi ini dan mencobanya lagi besok pagi.
"Ada apa ini? Kenapa kalian semua berkumpul disini?" suara yang penuh dengan wibawa namun terdengar familiar memenuhi lapangan asrama yang sangat besar ini.
Semua anak-anak langsung tersentak dan masing-masing masuk kembali ke asrama atau langsung berangkat ke sekolah tanpa mencari tahu pemilik suara ini.
Tentu saja, mereka tidak perlu mencari tahu karena mereka semua sangat mengenal jenis suara ini. Pemilik suara yang begitu agung hingga sanggup membuat orang yang mendengarnya tak bisa membantah adalah Sir Clove.
Setelah semua anak-anak meninggalkan lapangan, yang tersisa hanyalah Paskha serta Gracia yang tertidur dalam pelukan Leona.
Sir Clove berjalan mendekat dan berjongkok untuk melihat keadaan Gracia. Dia mengarahkan telapak tangannya ke dahi Gracia dan menyalurkan energi roh miliknya kedalam tubuh Gracia.
Meskipun begitu, Sir Clove tidak memberikannya terlalu banyak mengingat tiga titik dasar Gracia belum terbuka. Dia hanya memberikan partikel energi roh yang kecil yang bisa memasuki tubuh mungil anak itu tanpa harus diserap.
"Dia akan baik-baik saja. Dia akan bangun beberapa jam lagi."
"Terima kasih, Sir Clove." ucap Leona serta Paskha bersamaan.
Sir Clove menggendong Gracia dengan lembut dan bangkit berdiri. "Leona, bergabunglah dengan teman-temanmu di sekolah, dan kau… ikut aku."
Paskha menelan ludah gugup mendengar nada tegas yang ditujukan untuknya. Kenapa dia merasa dia telah melakukan kesalahan?
Yah, dia memang merasa bersalah karena tidak menyadari Gracia yang berlari disampingnya telah melewati batas dan memaksakan diri. Dia bahkan tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau seandainya terjadi sesuatu yang buruk pada Gracia.
Untungnya, gadis itu hanya kelelahan hingga jatuh tertidur. Namun bukan berarti dia melakukan kesalahan pada Sir Clove kan?
Kenapa dia merasa Sir Clove ingin menghukumnya?
Dia ingat hukuman Sir Clove saat dia gagal menyelesaikan latihannya…
'Bawa keranjang penuh batu itu dan pergi mendaki gunung hingga puncaknya. Waktumu hanya sampai sebelum matahari terbenam.'
Tiba-tiba sekujur tubuh Paskha berkeringat dingin. Waktu itu dia telah berusia dua belas tahun, namun hukuman yang diberikan gurunya sangat mengerikan.
Hukuman seperti apa yang akan diberikan pria itu disaat dia masih berusia tujuh tahun?