"Mari-mari, silakan duduk!" Dengan antusias, Aksara menyambut kedatangan Brama beserta kedua orangtuanya, Damian Alfarez dan Alicia.
Ratu yang mengambil kursi di sisi kanan Aksara menyunggingkan senyum terpaksa. Sementara di sisi kiri, ada Maya yang menemani papanya menggantikan Nabila. Membuat Ratu kesal setengah mati dengan adanya sekretaris tak tahu diri itu. Seolah tak menganggap status Nabila sebagai istri sah.
Dan itu didukung oleh Aksara. Yang terlihat biasa saja dengan tingkah laku Maya bak seorang nyonya besar. Andai saja Ratu tidak berpikir keselamatan Nabila, sudah Ratu hancurkan makan malam ini.
"Pak Aksara! senang sekali akhirnya kita bisa bertemu. Maafkan saya yang sibuk, sehingga baru sempat menemui anda sekarang. Dengan berita yang membahagiakan tentunya," balas Damian sambil duduk di kursi seberang Aksara. Sedangkan Brama sendiri duduk di hadapan Ratu. Dengan senyum menggoda. Tapi tampak seperti seringaian menurut Ratu.
"Tidak apa-apa, Pak Damian. Saya tahu bagaimana sibuknya anda. Seorang pebisnis sukses yang mempunyai banyak perusahaan cabang di luar negeri sana. Merupakan suatu kehormatan bagi saya bisa berkumpul dengan keluarga Bapak," sanjung Aksara yang membuat Damian terkekeh. Pria paruh baya dengan wajah yang terlihat tampan yang diturunkan kepada Brama itu terlihat bugar bak masih berumur awal empat puluhan.
Sementara Alicia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, dan menghentikan tatapannya ke pada Mata yang ada di hadapannya.
"Dimana Nabila?" cetus Alicia.
Ada rasa heran saat melihat bukan Nabila yang menyambut mereka. Tapi justru wanita muda dengan pakaian kurang bahan dan make up cetar. Berbanding terbalik dengan Nabila yang elegan. Wanita awal lima puluhan itu menatap Maya tajam, dan melihat ke arah Ratu setelahnya, menuntut jawaban.
"Mama sedang sa-"
"Nabila sedang ada perlu di luar negeri. Jadi sekretaris saya yang menemani dan menghandle semua urusan rumah tangga selama Nabila pergi. Yah, harap maklum. Nabila bukan tipe istri yang senang berdiam diri di rumah. Dia senang bepergian untuk berlibur," sahut Aksara memotong jawaban Ratu.
Alicia mengernyitkan keningnya. Namun sejurus kemudian kembali bersikap biasa. Berbanding terbalik dengan Ratu yang memasang wajah kaku. Marah dengan jawaban yang papanya berikan.
Berlibur? padahal Nabila tengah berjuang melawan penyakitnya antara bertahan atau menyerah. Sungguh kejam Aksara, yang tak peduli dengan istrinya sendiri.
Makan malam berlangsung dengan cepat. Tapi Ratu sama sekali tak menikmatinya. Hanya sesekali melontarkan kalimat bernada malas untuk menjawab pertanyaan yang kadang diajukan oleh Damian. Selebihnya Ratu hanya diam dengan perasaan jengah karena di depannya, Brama menatapRatu seolah serigala kelaparan.
Pikiran Ratu terus tertuju pada Nabila. Bagaimana keadaan Nabila sekarang. Apakah Dion datang dan menjaganya?
Ratu mengusap wajahnya agak kasar. Tak peduli jika karena tindakannya itu, ada make up berantakan. Ratu bosan. Sedari tadi Aksara dan Damian sibuk membicarakan tentang kerjasama yang akan dilakukan selepas Ratu dan Brama menikah. Membahas keuntungan-keuntungan yang akan menggendutkan rekening mereka.
Brama sesekali ikut menimbrung pembicaraan mereka. Namun hanya sekedarnya saja. Laki-laki itu lebih sibuk memperhatikan wajah cantik Ratu. Wajah yang membuatnya berambisi untuk merengkuhnya dan memilikinya seorang diri.
"Jadi bagaimana, kapan waktu yang tepat untuk mereka diresmikan? Anak saya sudah tidak sabar rupanya. Bahkan saya di luar negeri pun terus menerus diteror agar cepat pulang untuk melamar Ratu, hahaha," kata Damian dengan tawa membahana. Sebelah tangannya menepuk pundak Brama seolah meledek pewaris tahtanya itu.
"Kalau saya, terserah bagaimana Pak Damian dan juga Brama. Tapi kalau pendapat saya pribadi, lebih cepat akan lebih baik. Bukankah begitu? karena terus terang, saya agak khawatir dengan banyaknya pengagum Ratu. Sebagai ayah, tentu saya ingin yang terbaik untuknya. Dan sebuah keberuntungan bagi saya, Brama menginginkan Ratu," sambut Aksara.
"Bagaimana, Brama?" tanya Damian menoleh ke arah anaknya. Brama menyunggingkan senyum separuh bibirnya.
"Kalau Brama, jika malam ini bisa diresmikan pun, Brama akan senang hati mengucapkan akad. Tidak ada lelaki yang bisa menolak pesona Ratu, Pa," jawab Brama santai.
Damian terkekeh geli. Menyadari bahwa anak tunggalnya telah jatuh hati. Tidak dipungkiri, bahwa Ratu memang cantik. Bahkan jika Damian tidak ingat Ratu adalah gadis incaran Brama, Damian akan dengan senang hati menjadikan Ratu selingkuhannya. Menggantikan pacarnya saat ini. Tak ada yang akan melarangnya. Istrinya, Alicia, mungkin sudah bosan dengan tindak tanduknya sehingga membiarkan Damian melakukan semua sesuka hati.
"Kamu benar, Bram. Tidak ada lelaki yang akan menolak Ratu. Karena Ratu memang memiliki daya tarik layaknya seorang ratu di negeri dongeng. Cantik dan menarik, paket komplit," tambah Damian.
Aksara nampak begitu bangga dengan pujian-pujian itu. Dadanya kembang kempis mendengar sanjungan untuk putrinya. Tentu tidak seperti Ratu yang tampak tidak nyaman. Seolah dua laki-laki beda usia di depannya itu mengulitinya.
"Jadi bagaiman, Bram? Kapan kamu siap?" tanya Aksara.
Seharusnya, seorang ayah bertanya pendata pada anaknya tentang sosok yang akan menjadi masa depannya. Tapi seolah Aksara tak mengetahui hal itu dan memutuskannya seorang diri.
Baru saja Brama hendak menjawab dengan membuka mulutnya, Ratu lebih dahulu menyela,
"Maaf, Om dan Tante. Tapi sepertinya saya tak bisa memenuhi kemauan putra Om dan Tante. Saya tidak bisa melanjutkan semua obrolan ini. Karena memang saya tidak mempunyai hubungan khusus dengan Brama. Semua hanya karena perjodohan. Dan saya pun sudah memiliki kriteria laki-laki yang tidak saya temukan ada Brama. Jadi saya mohon maaf, saya menolak perjodohan ini," tegas Ratu.
"Ratu!" gertak Aksara. Mata Aksara melotot tajam. Bisa-bisanya Ratu bersikap lancang seperti itu.
"Wah wah wah, ada apa ini Pak Aksara?" tanya Damian.
Aksara nampak gugup. Namun segera disembunyikan. Lalu tertawa seolah ada kejadian lucu. Satu tangannya diletakkan di bahu Ratu. Mencengkeram erat sebagai isyarat sebuah peringatan.
"Maaf, Pak Damian. Ratu memang suka bercanda. Terkadang, dia seolah berakting. Mungkin ada bakat sebagai pemain film," terang Aksara.
Damian manggut-manggut dan terkekeh seolah percaya dengan penjelasan Aksara. Brama mengangkat alisnya sebelah. Sedangkan Alicia menatap sangsi.
Ratu hendak membantahnya. Tapi Aksara semakin mengeratkan cengkeramannya hingga terasa meremukkan tulang bahu Ratu.
"Jangan macam-macam atau ini akhir dari hidup mamamu!" ancam Aksara pelan lewat sudut bibirnya.
Ratu pun mengurungkan niatnya dan memilih diam. Menekuri makan malamnya yang tak terjamah. Bahkan makanan mewah itu tak terlihat menggoda sama sekali.
"Saya permisi ke belakang dulu, " pamit Ratu.
Lalu dengan cepat Ratu bangun dari duduknya dan berjalan menuju toilet.
Ditatapnya pantulan dirinya di cermin. Wajah cantiknya yang tak lagi bersinar. Hanya ada raut sendu. Apa yang membuatnya bahagia kini? tidak ada. Hidupnya semakin sengsara penuh derita.
Ratu menghela nafas panjang. Menahan Isak tangis. Sungguh dia amat lelah dan ingin menyerah. Patah hati yang semakin patah. Tak hanya oleh pria yang dia cinta, namun hatinya juga remuk oleh siksaan batin dari keluarga.
Setelah beberapa saat menenangkan diri, Ratu memutuskan untuk kembali ke meja makan. Jangan sampai papanya murka dan melukai mamanya. Cukuplah Ratu yang terluka, jangan mamanya juga. Karena Nabila sudah terlalu banyak menanggung beban.
Ratu pun keluar dari kamar mandi. Namun tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram erat lengannya dan menariknya keras. Membuat Ratu terkesiap, namun tak bisa menjerit karena sebuah tangan menutup mulutnya.