Hari mulai petang seiring sinar jingga yang menghiasi langit memudar. Lalu sepenuhnya akan tenggelam menggantikan cahaya rembulan.
Di dalam ruangan di mana suaminya sedang dirawat, Gelora duduk diam di kursi, yang terletak di samping brankar Radit. Wanita itu seperti biasanya menggenggam erat tangan prianya.
"Maaf," sahut Gelora setelah lama terdiam memperhatikan wajah Radit. Wanita itu sangat bersalah karena menghabiskan waktu dua hari bersama pria lain. Di banding menemani suaminya di rumah sakit.
Itu semua bukan kemauan Gelora, tetapi kehendak Pragma. Dia yang membawanya paksa masuk ke dalam kediamannya. Bersikap seolah-olah dia yang paling terluka atas kejadian dua tahun yang lalu, lalu dengan seenaknya dia datang lagi mengurung Gelora untuk dirinya. Termasuk masih bersikap selayaknya mereka masih suami-istri.
Gelora termenung tak menyadari jika seseorang masuk ke dalam ruangan Radit, mengunci pintu dengan pelan, sangat pelan dan kembali melanjutkan langkahnya mendekati Gelora.
Pria itu masuk tanpa permisi. Menatap punggung Gelora yang sedang duduk. Lalu, beralih menatap pemuda yang terbaring di atas brangkar itu.
"Hebat sekali kamu! Setelah membuat anak saya kembali hilang kendali, kamu malah di sini bersama suami tak berdayamu," sindirnya menatap punggung Gelora tajam.
Sontak saja wanita itu langsung berbalik, saat menyadari siapa yang sedang berbicara kepadanya.
"Ayah?!" pekiknya tak percaya. Dia melirik ke sembarang arah untuk menghindari tatapan mengintimidasi dari sosok pria paruh baya di depannya.
Tatapan pria itu semakin tajam dan mengintimidasi Gelora. "Tinggalkan dia. Sebelum kamu menyesal telah meninggalkan Pragma demi dia."
Hilang sudah rasa hormat Gelora lagi pada pria di depannya. Dia kira pria itu masih sama seperti dulu, tetapi dia sudah berubah.
"Dia suami saya. Mana mungkin saya meninggalkannya," ucap Gelora.
"Kalau begitu baiklah, kamu akan menyesal," jawab pria itu tak lain adalah Zaelan.
Gelora semakin panik dibuatnya. "Jangan coba-coba untuk mencelakai suami saya!"
"Saya tidak bisa berjanji," sahut Zaelan dengan santai mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.
"Apa yang kamu lakukan," teriak Gelora tanpa sadar. Segera merentangkan ke dua tangannya, menghalangi agar Zaelan tak melukai Radit.
Sebuah pistol terbidik ke arah Radit. Pelakunya adalah Zaelan, dia sangat marah saat anaknya kembali hilang kendali, hanya karena Gelora meninggalkannya. Bisa kita bayangkan, sesayang apa Zaelan pada anaknya.
"Tetap mau bersamanya?" tanya Zaelan melangkah ke arah Gelora agar semakin dekat.
Gelora menggelengkan kepalanya, kala Zaelan semakin mengikis jarak padanya. Lebih tepatnya, dia ingin mendekati Radit.
"Tetap mau bersamanya?" tanya Zaelan sekali lagi. Saat ia berhasil menyingkirkan Gelora, dan mengacungkan pistol tepat di kepala Radit.
"Ayah aku mohon, jangan celakai suamiku," isak Gelora mencoba menjauhkan Zaelan dari Radit.
"Jawab dulu pertanyaan saya! Tetap mau bersamanya atau saya akan membunuhnya?" tanya Zaelan sambil membentak keras. Tangannya mulai menarik selang oksigen Radit, membuat gelora tambah panik. Tak tahu harus apa.
"Tinggalkan Kak Radit, Mbak," celetuk seseorang dari belakang. Wajahnya pucat pasih melihat sepupunya kesulitan bernapas.
"Jacob tolong Radit," teriak Gelora.
"Tolong Mbak, tinggalkan kak Radit," ucap Jacob lagi saat ia kini tepat berada di hadapan Gelora.
"SATU." Suara Zaelan kembali terdengar bersiap untuk menarik pelatuk pistolnya.
"Baiklah, aku akan meninggalkan Radit, tapi tolong menjauh dari suamiku," sentak Gelora dengan napas tersenggal-senggal. Terpaksa Gelora mengucapkan semua itu, tapi jangan pikir dia akan meninggalkan Radit dengan begitu mudah.
"Pilihan yang tepat." Zaelan tersenyum simpul sambil memasukkan pistolnya, ke dalam saku jasnya kembali.
Gelora tak tahu harus mengatakan apalagi. Dia tak bisa tenang, jika Zaelan mulai mengusik Radit.
"Jangan mencoba untuk menyakiti suamiku," ucap Gelora mengusap air matanya kasar. Sembari memperbaiki letak selang oksigen Radit, dia elus kepala suaminya dengan sayang.
"Kamu penjahat," ucap Gelora tak bisa menahan air matanya, yang semakin mengucur deras keluar.
Zaelan menulikan pendengarannya. Dia terpaksa melakukan ini semua hanya untuk anaknya.
"Jadi kapan kamu bisa kembali ke kediaman saya?" tanya Zaelan disimak baik oleh Jacob. Yang semakin ingin tahu, akan hubungan Gelora dan Zaelan. Banyak tanda tanya di dalam kepalanya yang akan ia tanyakan pada Gelora.
"Sebaiknya Anda pergi dulu," usir Gelora menatap Zaelan penuh benci. Ayah dan anak sama saja.
"Jawab dulu pertanyaan saya. Jika Pragma mengetahui kamu di mana dan dengan siapa, dapat saya pastikan jika nyawa suami kamu melayang di tangannya," jelas Zaelan membuat darah di dalam tubuh Gelora semakin mendidih.
"Jangan memberitahu Pragma tentang suami saya. Karena saya tahu, segila apa anak Anda dengan darah," teriak Gelora tak bisa mengontrol amarahnya.
"Kamu berani berteriak kepada saya, hah?" Dia mengcengkram rahang Gelora kasar sembari menatapnya tajam.
"Apa yang Anda lakukan, lepaskan," ujar Rudolp menarik paksa Zaelan dari Gelora.
"Sebaiknya Tuan segera pergi dari sini. Sebelum saya memanggil petugas keamanan," ancam Jacob pada Zaelan.
"Berani kamu sama saya?" Zaelan balik mengancamnya. Aura di dalam ruangan tersebut semakin tak mengenakkan.
"Tolong pergi dari sini. Setelah urusan saya selesai, saya akan menemui Pragma. Tapi tidak untuk sekarang," ucap Gelora mulai pasrah pada keadaan. Tidak ingin keributan semakin terjadi di dalam ruangan rawat Radit.
"Egois sekali kamu. Pragma juga membutuhkan kamu," timpal Zaelan tak terima.
"Tapi saat ini, suami saya lebih membutuhkan saya ketimbang Pragma. Ada Anda bersamanya," ucap Gelora tak mau kalah.
"Saya beri kamu waktu dua hari. Jika dalam dua hari, kamu tidak kembali bersama Pragma. Maka saya akan membunuh suamimu. Saya juga ada tawaran yang menarik untukmu," ancam Zaelan sekaligus memberikan penawaran yang Gelora pastikan itu akan merugikan untuknya.
Jacob hanya bisa diam tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dan ia semakin bingung, mendengar nama asing yang terus mereka bicarakan. Siapa itu Pragma?
"Saya tunggu kedatangan kamu," beritahu Zaelan sebelum berlalu dari sana.
"Mbak," panggil Jacob pelan pada Gelora.
"Jangan banyak bertanya dulu Jacob," ucap Gelora semakin dilema.
"Seharusnya Mbak menjelaskan semuanya kepadaku secepatnya, sebelum aku mencari tahu dan menyimpulkannya sendiri," sahut Jacob berang pada Gelora. Saat mengingat ia juga sempat diancam dan diberi pilihan oleh pria tua itu.
"Aku tak sanggup untuk menceritakan semuanya, Jacob. Tolong lah kamu harus mengerti keadaanku sekarang," balas Gelora menatap lantai marmer rumah sakit dengan pandangan kosong.
"Atau Mbak takut yah, kalau ternyata Mbak memiliki hubungan terlarang dengan pria lain. Dan siapa itu Pragma?" cecar Jacob dengan berbagai pertanyaannya, dan berbagai opini merombak begitu saja memenuhi isi kepalanya.
Tanpa sadar tangan Gelora mengepal di ke dua sisi tubuhnya. "Jangan coba-coba untuk mengatakan hal kurang ajar seperti itu!"
"Makanya Mbak, tolong jelaskan," desak Jacob mulai menjadi-Jadi.
"Tapi tidak sekarang Jacob," imbuh Gelora mulai frustasi.
"Lalu kapan Mbak, sampai pria itu itu ingin menyakiti Mas Radit lagi atau bahkan membunuhnya," balas Jacob tak mau kalah.
"Keluar Jacob." Gelora menyentak menunjuk pintu keluar.
Jacob tambah curiga dan terkekeh sinis dibuatnya. "Apa Mbak takut kasus perselingkuhan Mbak, ketahuan?"
"Tutup mulutmu!"
"Siapa yang selingkuh?"
To Be Continue.