Chereads / The Smell of Crime / Chapter 6 - Malam Yang Sunyi

Chapter 6 - Malam Yang Sunyi

Suasana Kota Marseille tampak indah pada malam, lampu-lampu jalanan mulai menyinari kota. Terlihat Benjamin dan Devon sedang berjalan sambil menikmati malam dengan menelusuri keindahan kota.

"Malam ini benar-benar cerah, bagaimana menurutmu, Ben?" tanya Devon.

"Tidak buruk, Dev. Ini mengingatkanku dengan suasana dari tempat asalku. Biasanya ketika ada masalah, aku selalu berjalan-jalan dimalam hari untuk menenangkan pikiran,"

"Hmm ... Kau benar, Ben. Harus ku akui, aku juga sering melakukan hal yang sama,"

"Oh iya, Dev. Ngomong-ngomong sebenarnya kita akan pergi kemana? Dan dimana kita saat ini?" tanya Benjamin.

"Astaga, aku lupa mengatakannya padamu, jadi saat ini kita tengah berada di jalan Le Crottes, Ben. Lebih tepatnya di Avenue Roger Salengro atau orang-orang menyebutnya Av-Rosal, "

Benjamin terus menatap sekitar kota yang memang menurutnya sangat berbeda dari kota asalnya. Tak lama Devon menghentikan langkahnya, ia menatap sebuah tempat yang berada di sebrang jalan.

"Apa kau lihat tempat di sebrang sana, Ben?" tanya Devon.

"Hmm ... Du Course? Memangnga tempat apa itu, Dev?" tanya Benjamin.

"Tempat itu merupakan sebuah bar yang cukup terkenal di kota,"

"Hmm ... Kebetulan sekali, Dev. Saat ini aku tenggorokanku kering, aku membutuhkan sedikit cairan," Benjamin sambil mengusap lehernya.

"Kalau begitu, Ben. Bagaimana jika malam ini kita bersantai di dalam sana sambil menikmati segelas wine?"  tanya Devon.

"Hmm ... Aku rasa itu bukan ide yang buruk,"

"Kalau begitu mari kita ke sana, Ben,"

Mereka mulai menyebrangi jalanan yang terlihat sepi, tak lama mereka tiba di depan bar tersebut. Namun dari arah kanan terlihat seseorang menggunakan mantel berwarna hitam menabrak Benjamin yang hampir tersungkur.

"Maafkan aku, tuan. Aku benar-benar tidak melihat Anda," ucap orang tersebut sambil meneruskan langkahnya sedikit terburu-buru.

"Tidak apa-apa, tuan," ucap Benjamin.

"Tolong perhatikan langkahmu, dasar sialan! Sudahlah, Ben. Orang seperti itu tidak perlu dipedulikan, "

"Hmm ... Siapa sebenarnya orang itu? Gerak-geriknya benar-benar aneh," batin Benjamin.

Mereka mulai memasuki area bar, terlihat suasana di dalam bar cukup ramai, terlihat beberapa orang sedang menikmati minuman mereka.

"Bagaimana menurutmu tempat ini, Ben?" tanya Devon.

"Ehm ... Disini cukup nyaman, Dev. Aku suka tempat ini,"

"Baguslah kalau kau suka tempat ini, Ben. Kalau begitu ayo," Devon kembali menarik tangan Benjamin.

Mereka melanjutnya langkah mereka menuju meja pramutama bar. Terlihat seorang laki-laki dengan perwakan yang tidak terlalu besar dengan kumis tebalnya dan rabutnya yang kriting serta kulitnya yang putih berdiri menyambut mereka.

"Selamat malam, tuan-tuan. Apa yang bisa saya bantu?" tanya pramutama.

"Tolong buatkan kami dua gelas wine terbaik di bar ini," ucap Devon.

"Disini kami memiliki aromatic white wine dan rose wine, yang mana yang kalian inginkan?" tanya pramutama.

"Buatkan aku segelas aromatic white wine, kau mau apa, Ben?" tanya Benjamin.

"Em ... Mungkin aku ingin segelas rose wine saja, terdengar cukup enak menurutku," ucap Benjamin.

"Baiklah kalau begitu, tuan-tuan. Silahkan tunggu sebentar, minuman kalian akan siap dalam beberapa menit,"

Pramutama tersebut segera meninggalkan mereka berdua, ia terlihat mulai memasuki sebuah ruangan yang tampak seperti gudang. Tak lama  ia keluar bersama seseorang yang membawa dua buah barrel berukuran kecil.

"Dengar, Ben. Coba kau perhatikan apa yang dia lakukan," bisik Devon.

"Memangnya apa yang akan dia lakukan?" tanya Benjamin.

"Dia sedang melakukan tahap penyaringan, Ben. Jadi setelah proses fermentasi selesai, wine itu akan diproses dengan cara dipisahkan ragi, tanin dan protein. Kemudian wine itu akan dipindahkan lagi ke dalam sebuah stainless sehingga wine akan menjadi jernih dan bersih," bisik Devon.

"Dari mana kau tahu semua itu?" tanya Benjamin.

"Aku pernah bekerja sebagai waiter, makanya aku tahu apa yang mereka lakukan," bisik Devon.

"Waiter?" tanya Benjamin.

"Waiter itu bisa dikatakan sebagai orang yang membantu pramutama, yah bisa dibilang asistennya,"

Tak lama pramutama tadi menghampiri Benjamin dan Devon , ia meletakan dua buah gelas berukuran kecil bersama dua botol wine.

"Ini dia minumannya, tuan-tuan. Selamat menikmati," ucap pramutama.

Pelayan tersebut kembali ke tempatnya, terlihat ia sedang membaca surat kabar. Devon segera menuangkan wine itu ke dalam gelas, begitu juga dengan Benjamin.

"Em ... Luar bisa, rasanya benar-benar enak, sangat cocok dilidahku. Bagaimana denganmu, Ben?" tanya Devon.

"Kau benar, Dev. Seketika aku teringat wine pertamaku, minuman ini benar-benar enak,"

"Huh ... Benar-benar tragis!" celetuk pramutama tersebut.

Seketika Devon dan Benjamin menatap ke arah pramutama tersebut, terlihat mereka tampak kebingungan.

"Aku tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi, benar-benar mengerikan," lanjut pramutama.

"Kenapa, tuan. Apa yang terjadi?" tanya Benjamin.

"Hah? Oh maafkan aku, aku tidak bermaksud membuat kalian terganggu," ucap pramutama bar.

"Memangnya kabar apa yang sedang kau baca?" tanya Devon.

"Menurut surat kabar ini, ada sebuah pembunuhan yang terjadi di dermaga, orang itu cukup berpengaruh di kota ini. Apa kalian tidak tahu? Pesan ini sudah tersebar luas ke seluruh tempat di kota ini," ucap pramutama.

"Euh ... Ka-kami sudah mendengar berita itu, be-berita tersebut sudah tersebar ke seluruh kota, Betulkan, Ben?" Devon pura-pura tidak tahu.

Benjamin tidak terlalu menghiraukan ucapan Devon, ia fokus menikmati minumannya.

"Hmm ... Tapi aku tidak pernah melihatmu sebelumnya di kota ini? Apa kau orang baru disini?" tanya pramutama bar.

"Dia ini adalah teman lamaku, dia baru saja tiba dari roma tadi pagi," ucap Devon.

"Kau dari Roma? Apa itu benar, tuan?" tanya pramutama.

"Yah ... Seperti yang dikatakan orang ini," ucap Benjamin.

"Benvenuti Signore! Perkenalkan aku Baldovino,"

"Grazie Mille! Salam kenal Baldovino, namaku Benjamin dan ini temanku Devon," ucap Benjamin.

"Apa dia juga dari italia?"

"Tidak, aku terlahir di prancis," ucap Devon.

"Oh seperti itu ... Aku sering menjumpai orang italia disini, tapi tidak banyak aku menjumpai orang-orang italia yang bersikap ramah sepertimu, Ben," ucap Baldovino sambil mengeringkan gelas.

"Yah ... Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tuan Baldovino, itu sudah menjadi hal yang wajar, " ucap Benjamin.

"Tidak perlu memanggilku, tuan. Panggil saja aku Dovi, orang-orang di sekitar sini lebih mengenalku dengan sebutan itu," ucap Baldovino.

"Ngomong-ngomong sudah berapa lama kau tinggal disini?" tanya Devon.

"Aku pindah ke prancis sekitar tiga tahun lalu setelah berakhirnya perang besar, saat itu aku berpisah dengan adik pereumpuanku," ucap BaldoBaldovino.

"Aku turut prihatin, Dovi. Mendengar hal itu,"

"Tidak perlu dipikirkan, Ben," ucap Baldovino.

Ketika mereka sedang berbincang satu sama lain, tiba-tiba terdenger pintu di tendang dari arah luar, membuat orang-orang yang berada di dalam segera berlari keluar. Sekitar enam orang mulai berkumpul di dalam ruangan.

"Dimana kau Dovi!" teriak salah satu dari mereka.

"Tunggu sebentar, tuan-tuan! Aku disini," ucap Baldovino sedikit ketakuan.

"Siapa mereka?" tanya Benjamin.

"Aku tidak bisa menjelaskan sekarang, Ben. ini Bukan waktu yang tepat, " bisik Baldovino.

"Apa kau tahu siapa mereka, Dev?" tanya Benjamin.

"Mereka adalah Bandit, mereka selalu memeras pedagang-pedagang kecil seperti Baldovino," bisik Devon.

"Kenapa tidak kita tangkap saja mereka?" tanya Devon.

"Kita tidak bisa melakukannya saat ini, Ben, ini bukan waktu yang tepat," bisik Devon.

"Kita tidak bisa membiarkan ini, Dev. kita harus melawan mereka, sekarang atau tidak sama sekali,"