Sikap Saira membuat Sesosok Dokter BaiLy kewalahan. Sesaat SaiLy mengalami kejang yang cukup lama. Dan hampir saja, SaiLy kehilangan nyawanya. "Namun" Dokter BaiLy telah memberikan sesuatu pada SaiLy dan beliau sangka, jika SaiLy sudah meninggal. Membuat Saira murka padanya.
Akan tetapi, SaiLy kembali sadar, dengan sebuah keajaiban. SaiLy dapat berucap sekata demi sekata. Saira pun sedikit gembira melihat kejadian itu.
"Namun" sesaat Dokter BaiLy, ingin merujuk SaiLy untuk therapy bicara. Tiba-tiba saja... Saira sedikit melarangnya. "Tidak! SaiLy tidak usah di therapy bicara. Saya juga bisa ko. Ajari SaiLy bicara juga!" Larang Saira kepada Dokter BaiLy, yang ingin merujuk SaiLy ke Rehabilitasi medik.
"Ibu... tapi, ini demi SaiLy juga kan. Agar..." Saira pun kembali memotong pembicaraan Dokter BaiLy, yang berniat baik. "Tidak! sudahlah, jika SaiLy sudah sembuh saya bawa pulang saja, soal pembayaran..." Saira pun mendadak terhenti pembicaraan nya, "Iya... ya pembayarannya..."
Dokter BaiLy pun tersenyum melihat Saira yang sedikit bingung. Lalu...
"Bu... sebagai rasa bersalah saya. Saya sudah membereskan biaya administrasi. Jadi, Ibu tidak usah khawatir dengan biaya!" ujarnya.
Sungguh Dokter yang punya rasa tanggung jawab ya. Dengan keadaan pasiennya. "Ibu, sudahlah! apa Ibu sudah memperbolehkan SaiLy untuk Therapy bicara?" tanya Dokter BaiLy, dengan sedikit berharap, jika Saira akan mengizinkannya untuk merujuk SaiLy therapy. "Tidak! saya..." Saira pun terus mengucapkan kata tidak. "Astagfirullah... Ibu, ini demi kebaikan SaiLy. Apa... ibu mau lihat SaiLy sembuh?" Dokter BaiLy pun mencoba membujuk Saira untuk therapy bicara SaiLy.
"Aku tidak ingin jika terjadi sesuatu pada SaiLy." gumam hatinya sedikit bertanya. "Ibu, apa Ibu mengizinkan?" Dokter BaiLy pun bertanya kembali. Kepada Saira, yang sedikit keras kepala. "Baiklah, saya... mengizinkan. Tapi... saya tidak ingin meninggalkan SaiLy saat Therapy." Saira sedikit mengajukan syarat kepada Dokter BaiLy. "Baiklah..." Suater Keira pun, baru teringat jika Therapy bicara tidak boleh dengan orang tuanya. "Maaf Bu, tapi' sepengetahuan saya, Therapy bicara, tidak boleh dengan orang tuanya." ujar Suster Keira kepada Saira.
Saira pun mengurungkan niatnya. "Ya sudah! lebih saya, tidak jadi saja therapy SaiLy nya." Dokter BaiLy pun, sedikit kesal, lalu berkata. "Ya sudah! terserah Bu Saira saja! saya, tidak memaksa Anda ko." ujar Dokter BaiLy, seraya bergegas pergi dari SaiLy. "Ok..." teriak SaiLy memanggil Dokter BaiLy, yang hendak pergi darinya. "SaiLy, Maafin saya ya. Semangat bidadari kecil!" ucap Dokter BaiLy, seraya memelitkan jari kelingkingnya ke tangan SaiLy. "Ma-sih..." ucap SaiLy. Dokter BaiLy pun sedikit meneteskan butiran cristalnya dari kedua bola matanya yang indah. "Selamat tinggal bidadari kecil! sampai jumpa lagi." ucap Dokter BaiLy seraya bergegas pergi.
"Bu Otel," tuduh SaiLy seraya menunjuk ke arah Dokter BaiLy. Akan tetapi... Saira malah berkata. "Sudahlah nak! yang penting sekarang kamu sudah sadar ya sayang." pujuk Saira seraya mengusap rambut SaiLy. "Namun" SaiLy pun, matanya tertuju ke arah pintu, seraya berkata, "Dok... tel." ujar SaiLy seraya mata tetap tertuju ke arah pintu itu. Sementara Suster Keira sudah pulang. "SaiLy, sekarang kita pulang yuk!" ajak Saira kepada putrinya itu, seraya mengemas pakaian nya itu. Untuk pulang esok hari.
Senja pagi pun tertutup lembayung pagi, kini wajah pagi telah kembali. Membuka hari baru. Terluhatlah Dokter BaiLy yang sedang menuju ruangan, dimana para anak di rawat. "Kring..." suara ponsel Dokter BaiLy pun berbunyi. "Aduh! siapa lagi yang ganggu! tau saya lagi terburu-buru." keluh Dokter BaiLy, seraya membuka ponselnya sejenak. "BaiLy, Bayi moms tersayang," suara lembut dan manja terdengar dari ponselnya tersebut. Yang tak lain adalah Eirlina Ibu dari Dokter BaiLy, "Assalamu'alaikum. Mom's astagfirullah bikin kaget saja." ucap Dokter BaiLy.
Eirlina memang selalu memanjakan putranya, walupun sudah dewasa juga. Terkadang sikapnya itu, suka Bikin Dokter Michael iri. Bagaimana tidak iri. Dokter BaiLy, selalu menjadi prioritas utama untuknya. "Moms.. jangan bikin saya malu dong Moms, saya sekarang sudah dewasa, dan bukan bayi lagi.' ujarnya seraya, menutup pipinya, yang sedikit memerah. Mendengar manja ibunya kepadanya. " BaiLy! kamu kenapa gak bilang-bilang sama Mom's jika kamu, akan pergi mendadak? kasih kabar dulu gitu." ujar Eirlina dengan hati sedikit kesal. "Ya... Maaf Mom's soalnya, BaiLy waktu itu sangat terburu-buru. Sudah... mening Mom's gak usah khawatir ya! BaiLy disini, akan baik-baik saja." ujarnya menasehati Ibunya. Agar tidak terlalu cemas.
"Ya BaiLy! bagaimana kerjaan kamu di sana, lancar?" tanya Eirlina padanya. Dokter BaiLy, pun. Meyakinkan Ibunya tersebut. "Alhamdulillah Mom's lancar. Semuanya berkat Doa Mom's. " jawab Dokter BaiLy padanya. "Ya syukurlah!" balas Eirlina, dengan hati sedikit tenang. "Ya sudah Mom's BaiLy pamit praktek dulu ya!" ucapnya. "Ya, nak hati-hati ya!" ucapnya.
"Assalamu'alaikum." ucap Dokter BaiLy, kepada Ibunya.
"Waalaikum sallam." jawab Eirlina.
Dokter BaiLy pun, segera bergegas pergi. Menuju ruangan harapan 1.Yang dimana di situ ada seorang pasien kesayangannya. Siapa lagi kalau bukan SaiLy. Dokter BaiLy pun, hampir sampai di mana tempat tujunnya tersebut. Tak lama kemudian, Dokter BaiLy pun, sampai di tempat tujuannya. Akan tetapi... "Selamat pagi bidadari kecil.." seru Dokter BaiLy pun, terhenti. Sesaat Dokter BaiLy melihat SaiLy tidak ada di ruangan nya.
"Sus!" teriak Dokter BaiLy, kepada Suster di yang berjaga di Ruangan tersebut. "Iya Dok!" seru Suster yang keluar dari sebuah Ruangan, di mana para Suster berkumpul. "Pasien, yang di ruangan ini kemana ya?" tanya Dokter BaiLy sedikit panik.
"Oh, pasien yang bernama SaiLy. Dia sudah pulang Dok." jawab Suster seraya melihat beberapa berkas. Dokter BaiLy pun sedikit kaget. Niat dia sih, ingin mencari SaiLy. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dari pada SaiLy. Masih banyak pasien yang belum di periksa olehmya. Karena jadwal memeriksa pasien. jam 7 pagi.
Tapi, kenapa SaiLy bisa pulang larut pagi ya? "Ok! baiklah. Lebih baik saya, temui dulu para pasien, yang ada di ruangan lain." ujarnya seraya bergegas menuju Ruangan lain.
Lain cerita dengan Saira yang baru keluar dari Rumah Sakit. Saat ini Saira benar-benar bingung. Dia harus pulang kemana, sedangkan' saat ini SaiLy masih dalam keadaan belum sepenuhnya stabil. Entah kemana lagi Saira memijakan kakinya itu? yang jelas Saira sudah tidak punya tujuan lagi. Sejenak Saira pun, melihat seseorang sedang memungut sampah. Yang berantakan di tempat pembuangan sampah. "Ya Allah, kemana lagi saat ini aku harus memijakan langkah kaki ini, sedangkan... suami hamba sudah mengusir hamba dari sini. Seandainya Ibu masih ada, Mungkin' aku sudah pulang ke Rumah Ibu," tukasnya seraya melangkah dengan tubuh yang sudah lelah, ingin berdiam sejenak. Tapi dia tak bisa! hanya berdiri sejenak.
"Eh tunggu... orang itu, memungut apa ya?" tnya hati Saira seraya berhenti dari langkah kaku nya itu. terlihatlah seseorang sedang mengambil, bekas makanan. dan bekas makanan tersebut, di masukan ke dalam karung. untuk di jual. "Mungkin, aku bisa lakuin apa yang orang itu lakukan. Semoga saja, ini jalanku untuk memghidupi putriku. Iya untuk menghidupi putriku." celoteh hati Saira seraya terus bergumam.
Saira berrncana untuk memungut bekas makanan, untuk di jual. Agar dia dapat, menghidupi SaiLy dengan sepenuh hati. Walaupun, Saira harus susah payah. Mencari jalan hidup untuk putrinya itu. "Namun" dia harus bisa, menghidupi SaiLy dan juga untuk pengobatan SaiLy, yang mungkin masih berlangsung lama.
"Bu, di...ngin." ujar SaiLy yang bicaranya masih terputus-putus.
Saira pun, hanya meneteskan butiran air bening, sebening Cristal yang jatuh tak tertahan lagi. Dan sudah terlanjur penuh di pelupuk pandangan matanya. "SaiLy, maafkan Ibu! Ibu... hanya bisa tutupi kamu dengan seadanya." ujarnya, dengan hati yang semakin teriris.
sementara butiran air bening, terjatuh beriringan dari atas langit yang indah. Hari pun mulai sedikit gelap. "SaiLy, kita beristirahat sejenak ya." uhar Saira seraya mencari tempat berteduh.
Sementara Dokter BaiLy, masih memeriksa para pasien. Saat itu, kebetulan pasien yang Dokter BaiLy tangani adalah pasien terakhir. Cuman... ada yang aneh dari orang tua pasien tersebut. Ibunya menggunakan bondu yang sama dengan putrinya. Dan nampak memakai pakaian peminim. Dengan celana sepan selutut. dan yang paling peminim dia mengenakan sepatu hak tinggi. Seperti orang yang mau ngantor. Make up pun, kayanya habis 3 kemasan.
"Pagi Bu, bagaimana keadaan anak Ibu saat ini? apa sudah agak baikan." tanya nya dengan sedikit senyuman tipisnya itu. "Ba...cciil." Dokter BaiLy, pun sedikit ingin tertawa, melihat jawaban Ibu pasien itu, sama sekali tidak nyambung. Di susul dengan bersin putrinya yang menggelegar. Membuat para pasien lain terbangun dari istirahatnya. "Haciew..." suara bersin yang sedikit membentak membuat Dokter BaiLy, menutup telinganya.
"Ibu, saya tanya..." baru saja, Dokter BaiLy ingin melanjutkan pertanyaan kembali. Ibu itu pun, kembali bersin di susul dahak yang berterbangan ke wajah Dokter BaiLy yang ada di depannya itu.
"Haciew..." dan... bertebaran deh, virus dari mulut ibu itu. dengan butiran lendir yang muncrat, dari mulutnya yang terus ingin bersin.
Hmm, kira-kira apa ya, yang menyebabkan Ibu itu bersin-bersin?
"Astaghfirullah... Virus, mulut! Ibu, kenapa Ibu bersin ke wajah saya sih?" Dokter BaiLy pun, sedikit kesal melihat tingkah laku pasien terakhirnya itu. "Ma... maaf Dok! tapi' saya alergi wewangian, dan keluarga kami semua alergi, dengan wangi-wangian. Apa lagi Dokter, bajunya sangat menyengat aroma parfume nya itu, dan membuat kami bersin-bersin." ujarnya.
Dokter BaiLy pun, baru sadar jika aroma parfumnya membuat pasien dan ibunya itu, alergi dan bersin-bersin. "Maaf, jika karena aroma pakaian saya, membuat kalian. bersin... haciew..." Dokter BaiLy pun, malah ikutan bersin-bersin. "Astaghfirullah... ko saya jadi ikutan bersin. Sus... tolong... haciew." Hahaha lucu sekali sih Dokter BaiLy, mslah keterusan bersin. "Dok, ada apa dengan anda?" tanya Suster Novi. "Sudahlah, Sus! berikan resepnya. Saya tidak tahan dengan hidung saya." Dokter BaiLy pun, menitipkan resep pasien terakhirnya itu. Karena dia sudah tidak tahan menahan rasa gatal di hidungnya tersebut. "Baiklah Dok, akan saya berikan resepnya. " Ibu, ini resep..." ucap Suster Novi pun, malah terpotong oleh bersin ibu dan anaknya kembali. "Haciew..." Suster Novi pun ketakutan, dan langsung menyimpan resepnya. Di atas meja obat. yang sudah di sediakan samping ranjang pasien.
"Ih, jadi ngeri banget sih. Jangan-jangan keluarganya turunan virus Corona." ujar Suster Novi, seraya bergegss pergi menjauhi Ruangan tersebut. "Namun" Tiba-tiba saja...
bersambung...