"Bukankah sudah kubilang agar kau menjadi idol saja? Kenapa kau terus membangkang dan tak mau menurut saja padaku?!" sentaknya dengan menyodorkan botol kaca sisa alkohol yang telah pecah setengahnya.
Aku membeku di tempat, gemetar, dan takut kalau botol pecah itu mengenai tubuh Ibu. Perlahan dan dengan berusaha tetap tenang kuminta agar tua bangka itu memikirkan baik-baik tindakannya. Harusnya aku sama sekali tak peduli mengenai apa pun yang ia lakukan, tapi aku akan siap membunuhnya jika itu melibatkan Ibu.
"Tuan, kumohon tenanglah," ujarku, mulai melangkah mendekatinya.
"Berhenti!" Kontan aku kembali membeku.
Sebenarnya apa yang orang kikir ini pikirkan? Aku bahkan masih memakai seragam sekolah karena memang baru pulang dari kelas tambahan. Namun, ia justru menghadiahiku dengan pemandangan busuk seperti ini.
Ibu tampak diam menahan tangisannya, ia berusaha agar tua bangka itu melepaskan tangannya dari leher Ibu. Aku tak bisa melihat hal seperti ini, tak akan kubiarkan bandot tua bangka ini menyentuh Ibuku.
"Sudah kubilang berkali-kali agar kau menjadi idol saja! Kenapa kau terus menguji kesabaranku dan membuatku seperti ini?!" Kembali ia berteriak. "Kau benar-benar ingin ibumu mati, hah?!"
Kuembuskan napas panjang walau cukup susah. Dalam keadaan seperti ini aku harus tetap tenang dan berusaha memikirkan jalan tengah yang tidak akan merugikanku. Beberapa detik masih tak dapat kutemukan cara lain, manusia ini memang sudah bulat dengan keinginannya.
Tetapi …, menjadi idol bukanlah perkara yang mudah. Aku masih harus menjadi trainee terlebih dahulu. Menyisihkan banyak waktu untuk berlatih menari dan olah vocal, bergaul dengan banyak orang, dan juga harus bersih dari skandal apa pun. Walau aku tak memiliki riwayat buruk selama hidupku, tapi jika harus menyisihkan waktu untuk berlatih akan sangat sulit. Itupun belum bisa menjadi jaminan aku akan debut setelahnya.
Untuk saat ini, aku mencari uang dari kerja sambilan di sebuah toko kue dan roti. Itupun hanya cukup untuk makan sehari-hari dengan ibu, karena uang sekolah dan juga kelas tambahan sudah ditanggung pihak sekolah untuk beasiswaku. Belum lagi kalau tua bangka ini mengambil paksa uang dari jerih payahku untuknya membeli minuman. Ugh, bagaimana menghadapi manusia kikir ini?
"Lari." Suara Ibu yang lirih membuatku tersadar dari lamunan. Bodoh! Sempat-sempatnya aku melamun di situasi seperti ini!
Kutatap Ibu yang mengisyaratkan diriku agar lari dan pergi saja dari apartemen. Aku menggeleng dengan tegas, tak akan kutinggalkan Ibu sendirian bersama monster tak berperasaan ini.
Dengan tatapan tajam aku meminta agar bandot tua bangka itu melepaskan tangannya dari leher Ibu, dan juga memintanya untuk membuang botol pecah dari tangannya.
"Tak akan kulepaskan ibumu sampai kau mau menjadi idol!" jawabnya dengan semakin mengeratkan cekikan sebelah tangan pada leher Ibu.
"Lepaskan Ibu!" teriakku mulai kalap. "Kuikuti maumu, tapi jangan sentuh Ibuku," lanjutku lirih, pasrah dan tak tahu lagi harus berbuat apa.
Tua bangka itu tersenyum licik dan meghempaskan Ibu begitu saja. Dengan cepat aku berlari mendekati wanita kesayanganku dan langsung memeluknya agar ia tak lagi ketakutan.
"Semuanya akan baik-baik saja," ujarku lirih, berharap Ibu akan merasa aman dengan pelukanku.
"Kuharap kau tak mengingkari ucapanmu." Kalimat itu keluar dengan botol pecah yang kini mengarah padaku.
"Tapi …, menjadi idol bukan hal yang mudah. Harus menjadi trainee yang lama dan usaha yang keras," ujarku lirih. "Bahkan sangat susah untuk bisa masuk pada grup debut."
Kupikir saat ini aku sudah sangat gila! Demi apa pun, aku berharap tua bangka ini masih memiliki sedikit nurani dan mengasihiku. Walau bagaimana pun jahatnya ia padaku juga Ibu, untuk saat ini saja aku berharap ia memiliki perasaan sebagai ayah dan suami yang berbelas kasih.
"Kau pikir aku bodoh? Sampai kau mengatakan hal itu padaku?"
Bodoh, memang! Benar-benar salah aku berharap pada manusia tak berotak sepertinya. Selain tak memiliki akal yang sehat, dia juga sudah kehilangan hati nuraninya.
"Kuberi kau waktu minimal lima tahun sampai kau debut. Dan untuk lima tahun ke depan, kuharap kau benar-benar bekerja keras dan memberiku uang setiap minggu."
Usai mengatakan hal paling tak berperasaan tersebut, tua bangka itu melempar botol pecah tadi ke sembarang arah hingga semakin pecah botol kaca itu. Tanpa merasa berdosa ia langsung keluar dari ruangan ini, meninggalkanku yang membeku dan ingin meledak saat ini juga.
Gebrakan pintu yang ditutup dari luar terdengar sangat nyaring, padahal suasana di dalam seketika hening saat si bandot pergi. Kuharap semua ini hanya mimpi. Walau aku tahu akal manusia satu itu memang sangat busuk, tapi aku tetap berharap semua ini hanya mimpi.
Tak bisa kubayangkan jika diriku harus berbaur dengan banyak orang hanya untuk bisa menjadi seorang idol. Berlatih siang malam dan membagi waktu antara sekolah, kelas tambahan, kerja, dan juga latihan. Mungkin ada banyak trainee yang juga melakukannya, tapi kebanyakan dari mereka memang menginginkan bisa menadi idol terkenal. Bagaimana denganku? Aku tak menginginkan hal tersebut.
Setiap hari aku hanya menjalankan kehidupan normal tanpa harus memiliki banyak teman. Aku tak terlalu suka berbaur dengan mereka yang sering pergi makan di luar bersama banyak temannya. Ibuku selalu masak makanan terenak yang kusuka di rumah, dan juga makan di luar selalu menghabiskan banyak uang. Aku sendiri tahu kalau mencari uang itu sangat susah, apa pantas dengan mudahnya kita menghabiskan uang untuk makan di luar setiap hari? Kurasa tidak.
Akh, aku tak mau menjadi idol. Jika terkenal, seseorang akan menjadi pusat perhatian dan mendapat banyak barang tak penting. Sedangkan aku tak suka jika orang-orang terus membahasku dengan kalimat-kalimat yang menjijikkan. Jika itu tentang betapa jeleknya hidup dan juga keadaanku, aku tak akan peduli. Namun, jika mereka mengeluh-eluhkan visualku, aku akan mual mendengarnya.
"Kenapa kau melakukannya? Kau bisa saja lari dan pergi dari orang itu." Ibu memelukku dan menyandarkan kepalanya pada pundakku.
Kugenggam lembut lengannya yang memelukku dan mulai menghela napas pelan. Harusnya aku sadar kalau aku memiliki wanita paling hebat yang mau mengrobankan hidupnya untukku, dan harusnya aku tanpa ragu langsung mengiyakan permintaan tua bangka itu untuk kehidupan Ibuku. Mengapa aku justru berpikir banyak hal? Semua yang tak kusuka bukanlah hal penting untukku, karena yang terpenting bagiku adalah Ibuku.
"Bukankah kau tak suka berbaur dengan banyak orang? Mengapa kau mengiyakan permintaannya?"
Aku terkejut dan sedikit berjingkat mendengar ucapan Ibu. Kupandang ia yang mulai tersenyum getir menatapku. "Bagaimana Ibu …." Bagaimana kau bisa tahu, Bu?
"Bahkan tak satu pun teman yang kau kenalkan pada Ibumu ini. Kenapa kau masih saja bertanya bagaimana?" jawabnya dengan tertawa hambar.
Benar apa yang ia bilang. Aku tak pernah memperkenalkan siapa pun padanya, mungkin itu yang membuatku terlihat tak suka berbaur.
"Aku ingin menjadi idol, Bu."
*****
Lamong, 27 Februari 2022