Raniah menyusul Setya yang baru akan menaiki anak tangga, gadis itu mendahului suaminya berlari kecil menuju lantai dua, Setya hanya tersenyum tipis melihat istrinya yang selalu saja seperti anak kecil.
Raniah masuk ke dalam kamar dan segera menutup pintunya. Napasnya terengah dan segera berlari ke atas ranjang, mentupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Sunyi! Tidak ada tanda-tanda Setya masuk ke kamar? Raniah masih bersembunyi di bawah selimut tebalnya. Terdengar suara pintu terbuka dan tertutup, Raniah semakin menegang di tempatnya.
Kedua mata Raniah terpejam saat ranjang perlahan bergerak seperti ada yang naik ke atasnya. Terasa selimut dibuka, dan Raniah menoleh mengira Setya yang ikut masuk ke dalam selimut. Tapi, Raniah salah, makhluk hitam berbulu yang ternyata terlihat oleh Raniah.
Mata merahnya yang tajam seketika membuat Raniah berteriak histeris. "Aaah! Kakak!" Raniah menjerit dan membuka selimut dari tubuhnya. Di luar dugaan kamar yang tadinya indah kini gelap dan seperti bukan kamar Setya. "Aaaah! Tolong!"
Raniah berteriak ketakutan, saat sosok hitam besar itu mendekat. wanita itu berusaha membuka pintu ruangan dan memukul-mukulnya sekuat tenaga. "Tolong, kak Setya, tolong Raniah!"
Keringat dingin membasahi tubuhnya saat makhluk itu terus mendekat dan menunjukkan seringainya. "Jangan mendekat, pergi, pergi!" usir Raniah. Napas wanita itu terengah dan kedua matanya basah, tubuhnya gemetar saat makhluk itu siap menerkam dirinya. "Aaaaaa!"
Gelap!
Pandangan Raniah meggelap, dan tergeletak di lantai begitu saja. Terdengar dobrakan di pintu dan tampak Setya masuk mendapati Raniah pingsan di lantai. "Astagfirullah, Raniah!" Dengan cepat Setya meraih Raniah dan menggendongnya menuju ke kamarnya, karena ternyata tadi itu Raniah masuk ke kamarnya sendiri yang dia kira kamar Setya.
Setya merasa ada yang tidak beres saat pintu kamar Raniah tadi sulit dibuka, dan ternyata Raniah masih saja kena gangguan jin kiriman Sari. Sepertinya dukun Sari tahu kalau Raniah sudah tidak punya aura pemikat itu lagi, hingga berniat untuk melenyapkannya dengan cara lain.
***
"Bagaimana keadaannya, Setya?" Danu Adji masuk ke kamar untuk memastikan keadaan menantunya.
"Dia pingsan, Ayah." Setya mengelus puncak kepala Raniah, dan wanita itu tersadar.
Perlahan dia membuka matanya dan langsung panik histeris. "Ah, jangan dekati aku, jangan! Kakak!"
Setya merangkum wajah Raniah hingga membuat gadis itu menghentikan teriakannya. "Kakak, tadi ada makhluk jahat, Kak. Tolong Raniah, Kak. Raniah takut!" Raniah segera memeluk suaminya sangat erat, air matanya masih saja mengalir deras karena takut.
"Sshh, tenanglah, Raniah. Sekarang kakak di sini bersamamu, kamu akan baik-baik saja." Setya menepuk dan mengelus punggung Raniah lembut, mencoba menenangkannya.
"Raniah takuuut!" lirihnya di sela isak tangisnya.
"Setya, tenangkan dia, ayah kembali dulu ke kamar," pamit Danu Adji.
"Iya, Ayah," sahut Setya. Danu Adji kemudian berjalan menuju pintu keluar dan menutup pintu kamar pengantin itu lagi.
***
Prank!
Suara barang dibanting ke lantai, benda logam bentuk cawan itu menumpahkan darah dan bunga. "Bodoh!" umpatan keluar dari bibir merah Nyai Ratu Pandan Wangi. "Bagaimana bisa kau kecolongan? Gadis itu sekarang sudah tidak perawan lagi, Bodoh!" Nyai Ratu Pandan Wangi begitu sangat geram, menatap nyalang pada Sari yang menunduk takut.
Persembahan darah ayam cemaninya ditolak, karena Nyai Ratu Pandan Wangi merasakan aura pemikat itu memudar dari diri gadis keturunan satu-satunya Irma Sukma Ayu. Kini pupuslah sudah harapan siluman ular itu untuk menjadi kuat dan abadi, harus berapa puluh tahun lagi dia menunggu sampai Raniah dan Setya memiliki keturunan. Keturunan yang akan memiliki dua keistimewaan yang diwariskan dari kedua orang tuanya.
Sari masih menangkup kedua telapak tangan berada di depan kening. "Ampuni hamba, Nyai. Kukira hari pernikahannya besok, tanpa diduga Danu Adji dan putranya cukup pintar mengelabui kami. Mereka sangat licik," ucap Sari membela diri.
"Bukan si Danu yang pintar, tapi kamu yang kelewat bodoh, Sari!" Nyai Ratu Pandan Wangi menyeringai dan wajahnya sekilas berubah bersisik dengan mata ular, lidah bercabangnya terulur, tapi tak berselang lama wujudnya kembali cantik. "Pemuda itu telah memecah keperawanan gadis pemilik aura pemikat itu, kini gadis itu layaknya wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun, tidak bisa aku memanfaatkannya untuk menambah kekuatanku." Nyai Ratu mengibaskan selendang hijaunya dengan geram.
"Biar kubunuh saja gadis itu, Nyai. Aku yakin Danu dan putranya akan mati perlahan karena kehilangan gadis bernama Raniah itu." Sari terlihat begitu bernafsu, karena memang sejak dulu dia sudah ingin membunuh anak keturunan Irma, musuh bebuyutannya.
"Jangan coba-coba kamu memutus rantai keturunan pewaris aura pemikat sebelum aku mendapatkan tujuanku, atau kamu tahu akibatnya, Sari!" ancam Nyai Ratu Pandan Wangi. "Dia akan melahirkan seorang anak, baru setelah itu kamu boleh melenyapkannya."
Sari mengepalkan kedua telapak tangannya, geram. Di usianya yang sudah kepala lima, Sari harus masih menahan dirinya untuk menuntaskan dendam. Tapi, di bawah kuasa Nyai Ratu Pandan Wangi, Sari tidak bisa melakukan apa-apa. "Baik, Nyai. Sesuai keinginanmu, hamba akan menuruti apa titahmu, Nyai."
"Bagus, tetaplah jadi abdi abadiku yang setia, Sari!" Nyai Ratu Pandan Wangi tertawa sebelum menghilang dari hadapan Sari. Selepas kepergian Nyai Ratu Pandan Wangi, Sari tampak sangat kesal.
Dirinya sudah tidak bisa menahan lagi, dia harus menuntaskan dendamnya agar jiwa kakaknya bisa tenang.
***
Di kediaman Danu Adji, Setya masih setia menemani istrinya yang masih shock. Membelai rambutnya dan mengecupnya lembut. "Tidurlah, besok kita akan melakukan resepsi pernikahan, aku tidak mau kamu punya lingkaran hitam seperti panda." Setya menyentuh bawah mata istrinya dan tersenyum lembut.
"Tapi, Kak. Aku takut, setiap kali mataku terpejam, sosok itu seperti sedang mengawasiku."
"Ada kakak di sini, kakak akan melindungimu." Jemari Setya merambat menyusuri wajah lembut Raniah, dan wanita itu tersenyum. Raniah merasakan firasat tidak enak, bulu-bulu halusnya kompak berdiri saat jari telunjuk Setya turun dan turun menyusuri tiap lekukan tubuh.
Senyumnya menggoda iman, seketika Raniah menjerit tertahan di dalam kerongkongan. "Tidur, atau ...." ancaman itu seperti rayuan. Andai Raniah tidak sedang dalam suasana hati yang buruk, sudah pasti wanita itu menantang ancaman suaminya yang menggairahkan.
Tangan Raniah bergerak cepat menutupi wajahnya dengan selimut, bersembunyi dari suaminya yang berbahaya, semalaman bersamanya, Raniah besok sudah pasti tidak akan bisa berjalan dengan benar. Setya tertawa renyah, memeluk istrinya dengan gemas, sudah waktunya tidur untuk menambah energi esok hari.
***
Esok hari, Galuh dengan anggun berjalan menyusuri karpet merah, setelah sampai di dalam gedung yang sesak tamu undangan dia mencari sudut di dalam ruangan yang muat seribu orang itu.
Warna kesukaannya adalah hitam, maka sore ini juga gaunnya warna hitam. Di tengah riuhnya tamu undangan, Galuh sibuk mengamati. Tak lama pasangan pengantin itu datang, bergandengan tangan begitu sangat serasi.
Setya dengan stelan tuxedo hitam, rapi dan tampan. Sementara Raniah dengan gaun warna putih, berkain organza kaca dengan taburan blink di seluruh permukaan gaun, sehingga terlihat berkilau saat terkena sinar lampu yang terang.
Galuh mengepalkan kedua telapak tangannya merasakan panas di dalam dadanya, rasa cemburu menguasai hatinya. Galuh berjalan, mengambil satu gelas minuman warna merah, dan menghampiri Raniah yang sedang menemani Setya menyapa para kolega bisnisnya.
"Wah, Pak Setya, akhirnya Anda sudah melepas masa lajang juga, selamat ya, Pak." Seorang rekan bisnis memberi selamat dan mengulurkan tangan.
"Terima kasih sudah datang," sahut Setya seraya menerima jabatan tangan rekannya.
"Hay, Raniah." Galuh menepuk lengan Raniah yang malam ini sangat luar biasa cantik, Raniah menoleh pada arah suara, wanita itu tersenyum saat melihat galuh berdiri di sampingnya.
"Galuh, terima kasih sudah datang," ucap Raniah ramah.
"Sama-sama, selamat buat pernikahanmu, yah." Raniah tersenyum seraya mengangguk, tanpa Raniah sadari Galuh dengan sengaja menumpahkan minumannya ke atas ekor gaunnya yang berwarna putih bersih.
Raniah terkejut dan panik saat melihat noda merah menyala ada di atas gaunnya yang putih. Galuh juga pura-pura panik dan merasa bersalah. "Ya ampun, maaf aku tidak sengaja Raniah."
"Ti-tidak apa-apa, Galuh. Aku akan membersihkannya." Raniah mengangkat ekor gaunnya.
"Biar kubantu, Raniah." Galuh berpura-pura berbaik hati, padahal semyum liciknya terbit.
"Tidak usah, Galuh. Kamu nikmati saja pestanya, aku bisa sendiri."
"Oke!" sahut Galuh seraya mengangguk.
Raniah memegang lengan suaminya yang sedang sibuk berbincang. "Kak, aku pergi ke tolilet dulu," bisiknya.
"Biar kutemani."
"Jangan, Kakak di sini saja, tidak enak sama tamu, aku bisa sendiri."
"Baiklah, hati-hati!" pesan Setya.
Raniah mengangguk lalu berlalu, tampak Galuh menyapa. "Selamat yah, Kak Setya," ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Setya menerimnya lalu melepasnya segera. "Terima kasih," sahutnya singkat.
Setelahnya Setya tak peduli, mengabaikan Galuh begitu saja dan fokus kembali pada rekan-rekan bisnisnya. "Tidak masalah, Sayang. Kamu bisa mengabaikanku sekarang, dan kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada istri tercintamu itu." Senyum jahatnya muncul seiring dengan kata batinnya.
Galuh perlahan menjauh, menaruh gelas di atas meja, dan keluar dari gedung. Sementara Raniah di dalam kamar mandi, wanita itu sedang membersihkan noda di gaunnya. "Ya ampun, ini akan sulit hilang, aku harus bagaimana?" gumamnya.
Di saat kebingungannya, Raniah menatap pantulan dirinya di dalam cermin besar di hadapannya, di saat itu juga ia melihat sosok lain di dalam ruangan tersebut. Raniah terkejut dan berbalik badan. "Siapa kamu? Sedang apa kamu di sini?" Raniah berjalan mundur saat lelaki bertopeng hitam itu semakin mendekatinya. "Pergi!" pekik Raniah, tapi orang itu mengeluarkan sapu tangan dan membekap mulut Raniah, detik itu juga Raniah tak sadarkan diri.