"Jangan pernah bilang gak suka sama gue. Kalo suatu hari nanti perasaan benci lo berubah jadi cinta, baru tahu rasa lo!"
Sepulang sekolah, Mawar berjalan melewati gerbang. Keshya sudah duluan karena di jemput Abangnya, untuk sampai ke urumahnya ia harus berjalan ke halte untuk naik angkutan umum.
Agar tidak bosan, Mawar selalu memakai headphone setiap berjalan kemana pun. Ia tidak suka sepi, apalagi gelap. Saat tidur pun kamu kamarnya harus dinyalakan, kemudian gadis itu harus mendengarkan musik lewat headset.
Aneh bukan?
Mawar adalah korban broken home. Semua sangat indah sebelum ia menginjak usia tujuhbelas tahun. Karena satu hari tepat disaat ulang tahunnya, kedua orang tuanya bertengkar dan memutuskan untuk bercerai.
Hak asuhnya jatuh kepada Ibu, sekarang ia hanya tinggal berdua dengan Ibunya. Namun, lima bulan kemudian Ibu Mawar jatuh sakit dan meninggal dunia. Tambahlah sudah penderitaan Mawar. Tak sampai di situ, ketika hendak memberitahu Ayahnya tentang kabar duka itu, Ayahnya pindah dari rumah barunya ke luar negeri. Hal itu membuat lututnya melemah, dan telapak kakinya tidak dapat berpijak lagi.
Kini, Mawar benar-benar sendiri.
Umur tujuh belas tahun adalah usia di mana remaja menikmati masa-masa pubernya. Jatuh cinta, bermesraan, dicintai, menyayangi, harusnya di usia muda ini Mawar merasakan yang dirasakan oleh setiap remaja.
Namun, gadis itu memilih untuk menutup diri dan berjanji pada dirinya sendiri agar tidak berketergantungan pada siapa pun.
Ia akan buktikan bahwa tidak punya apa-apa pun akan menjadi pilihan terbaik.
*****
"Jingga, kamu sudah pulang, sayang?"
Elisa memeluk Jingga yang baru pulang sekolah. Namun pelukannya di tepis oleh anaknya. "Ma, berhenti meluk aku. Aku udah bukan anak kecil lagi, Ma," keluh Jingga.
"Aku udah tujuh belas tahun."
"Berapa pun umur kamu, kamu tetap anak Mama, Jingga. Mau kamu umur dua puluh empat tahun atau tiga puluh tahun pun, Mama akan melihat kamu sebagai putra kecilnya Mama," ucap Elisa memegang kedua pundak Jingga.Detik kemudian, perhatiannya tertuju pada sudut bibir Jingga yang berdarah.
"Jingga, pipi kamu kenapa, nak?"
Baru saja Elisa ingin memegang pipi anaknya, Jingga menepisnya lagi.
"Kamu berantem lagi?" tanya Elisa meninggikan suaranya.
"Ma, aku capek. Aku mau istirahat."
"Jingga, jawab pertanyaan Mama!"
Bukannya menjawab, Jingga malah berjalan menuju kamarnya. Anak itu selalu saja begitu, tidak pernah menghiraukan rasa khawatir orang tua padanya.
"Jingga! Sampai kapan kamu mau menghindari Mama, Jingga? Mama khawatir sama kamu. Mama sangat mengkhawatirkan kamu, Jingga! Mau sampai kapan kamu seperti ini? Jingga, dengar Mama…." Mau seteriak apa pun Elisa, tidak akan merubah pikiran Jingga yang memilih untuk tidak mempedulikan orang tuanya. Awalnya, Jingga adalah anak baik nan penurut meskipun Mamanya single parent. Namun, ketika Elisa memilih untuk menikah lagi, Jingga.
Cklek.
Jingga mengunci pintu kamarnya. Ia menaruh tasnya secara asal, bajunya sudah dari sekolah berantakan. Laki-laki itu memang habis bertengkar sepulang sekolah, oleh karena itu ada memar di sudut bibirnya.
Di sekolah Jingga bukanlah murid teladan. Di sekolah, Jingga juga bukan murid terpelajar, ia hanya seorang laki-laki yang terkenal se-antera sekolah karena mendapat rekor terbanyak keluar-masuk ruangan BP. Bahkan Pak Rudi—Guru BP pun sangat bosan karena selalu Jingga yang masuk ke ruangannya.
Ini sudah kasus ke 19 Jingga yang bertengkar dengan Kakak kelas. Masalahnya sepele, namun Jingga membesar-besarkan nya hingga menjadi perkelahian.
Sebenarnya, masalah tersebut juga tidak penting bagi Jingga. Ia hanya menikmati pertengkarannya saja.
"Aduuuh," keluh Jingga mengompres lukanya sendiri.
Detik kemudian, handphonenya berdering. Itu dari Dirga.
Dirga : Eh, Jing. Lo udah sampe?
Jingga : Gue bukan Anj*ng, M*nyet!
Dirga : laaah nama kan Jingga. Ya gue panggil 'Jing' lah. Eh, by the way luka lo gimana? Parah gak? Tadi gue kaget banget tiba-tiba lo pukul Ka Tara.
Jingga : Terserah lo aja deh. Gapapa, ini lagi gue kompres lukanya.
Dirga : Siap-siap dapat surat cinta dari Pak Rudi hahaha….
Jingga : Hahaha ….
Dan benar, besoknya Jingga dipanggil untuk menghadap Pak Rudi di ruang BP.
Sudah tidak asing lagi bagi Jingga untuk datang ke ruangan itu. Laki-laki itu tidak ada takutnya sama sekali.
Seperti sedang di Sidang. Pada ruangan itu, Jingga duduk berhadapan dengan Pak Rudi, Kakak kelas yang ia hajar, wali kelasnya dan wali kelas dua belas, serta orang tua dari lawan bertengkarnya.
"Mana orang tua kamu?" tanya Pak Rudi.
"Sibuk, Pak," jawab Jingga.
"Sibuk? Oh sibuk ya? Sibuknya setiap saya beri surat panggilan ke orang tua kamu?"—Pak Rudi menggeleng pelan melihat Jingga yang seperti ini—"ckckck … Semenjak kelas duabelas, kamu ini sering sekali bikin masalah. Kenapa?"
Jingga tidak menjawab.
"Kamu kurang perhatian makanya kamu buat onar di sini?"
Dak!!!
Jingga memukul meja hingga semua terkejut. Wajah laki-laki itu penuh emosi. "Bapak daripada ngomong begitu mending langsung bilang aja apa hukuman buat saya!" akhirnya, Jingga diberi hukuman membersihkan koridor sepulang sekolah nanti.
Tanpa sadar, seorang gadis berdiri di depan ruang BP. Kakinya berjinjit untuk melihat apa yang ada di dalam sana melalui celah jendela.
"Kak Jingga, apa Kak Jingga baik-baik saja?" khawatir gadis itu.
*****
Setelah selesai disidang, jingga keluar dari ruang BP. Ia mendapat hukuman untuk mencabut rumput lapangan upacara sendirian. Hukuman itu ia lakukan setelah jam istiahat selesai.
Sekarang, Jingga sedang bersama Dirga di sudut kantin paling pojok. Dengan sangat kencang Dirga menertawakan saabatnya. Sehabis jam istirahat, Jingga akan mencabuti rumput di lapangan upacara, hal ini sangat menarik untk menjadi sebuah hiburan. Ia berniat akan merekam aksi Jingga karena setelah istirahat adalah jam kosong untuk kelasnya.
"Sial banget tuh kakak kelas. Mentang-mentang bentar lagi lulus," kesal Jingga.
"Udah sih biarin aja, yang penting kan lo udah nonjok matanya sampai biru," kata Dirga.
"Oh ya, lo dikasih hukuman apa kali ini?" tanya laki-laki itu penasaran. Sejak keluar dari ruang BP, Jingga belum cerita padanya sama sekali.
"Cabutin rumput di lapangan upacara," jawab Jingga.
"Hahaha, lagi?" kata Dirga menertawaan hukuman yang didapat Jingga. "Bukannya rmut lapangan upacara udah lo cabutin ya bulan kemarin? Cepet banget numbuhnya."
Jingga memang laki-laki berjuta ulah, setiap minggu ada saja ulahnya yang membuatnya euar masuk ruang BP, bahkan guru BP pun bosan karena Jingga lagi Jingga lagi yang datang ke ruangannya membawa kasus. Bulan kemarin, laki-laki itu di sidang karena memecahkan alat praktek di laboraturium.
Alhasil ia dihukum mencabut rumput lapangan upacara, dan kini ia mendapatkan hukuman yang serupa dengan bulan kemarin.
"Gak tahu," singkat Jingga.
"Kayaknya dah habis ide tuh guru buat hukum gue," lanjutnya.
Tak lama, dari arah pintu Jingga melihat seorang gadis yang ia benci masuk ke kantin. Gadis itu adalah Mawar. Ia belum terima dengan surat kaleng yang ia dapat atas nama Mawar.
Dirga heran dengan Jingga yang tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.Tidak tahu apa yang akan dilakukan lai-laki itu, ia mengikutinya dari belakang. Ternyata, tujuan Jingga adalah anak baru di sekolah itu, dia adalah Mawar. Dirga tahu, ini pasti tentang suat kaleng dengan isi yang menusuk itu.
*****