Sasuke sedikit berlari menuju rumah yang dua tahun ini ia tinggali bersama Hinata dan dua anak kembarnya yang baru saja lahir setengah tahun yang lalu, di musim gugur. Pertengahan musim kelahiran ayah dan ibu mereka. Wajah Sasuke pucat karena pertemuannya dengan Naruto saat di ladang kecil miliknya tadi. Soal titah sahabat-sahabat Hinata yang menyuruhnya dan keluarganya segera pergi dari sini.
Ia mengetuk pintu kayu. Pintu terbuka menampilkan wajah Hinata yang tengah tersenyum sambil menyambutnya.
"Okaeri, Sasuke-kun."
Sasuke langsung memeluk Hinata sambil menggumamkan, "Tadaima," dengan suara bergetar.
Hinata mengelus pundak Sasuke lembut. Menenangkannya dengan kata-kata halus. Sasuke menguraikan pelukannya. Ia pandang mata Hinata yang menatapnya dengan tatapan teduh.
"Tatapan mata teduhmu yang sederhana bisa membuatku tenang. Melihat wajahmu menghilangkan setengah beban yang kupikul."
Hinata menggenggam tangan Sasuke. Membimbingnya memasuki rumah sederhana mereka. Dilihatnya Sasuke masih menggigil ketakutan. Hinata iba melihatnya. Dituntunnya Sasuke untuk berbaring dan menyelimuti suaminya itu.
"Berbagilah denganku, Anata."
Hinata tentu heran sekaligus sedih dengan keadaan Sasuke. Pasti sesuatu yang besar telah menimpa dirinya.
"Mereka akan menyerangku bersama-sama, Hinata. Aku sendirian. Tak satupun berdiri bersamaku."
"Maka teguhkanlah hatimu, Suamiku. Bahwa aku akan terus bersamamu, berdiri di sampingmu dan takkan kukonfrontasi."
"Mendengar kata-katamu, semua bebanku sirna seketika. Terima kasih, Uchiha Hinata. Terima kasih istriku."
Hinata mengecup kening Sasuke. Seketika mata Sasuke membuka lebar. Ia teringat akan peringatan Shino dan Kiba.
"Hinata, mana anak-anak?"
Hinata tersenyum. "Mereka ada di kamar sebelah. Mau kubawakan mereka ke sini?"
Sasuke mengangguk. "Bereskan pakaian kita juga. Kita akan pergi dari sini."
Hinata tanpa bertanya menuruti suaminya. Istri taat seperti Hinata merupakan anugrah bagi Sasuke.
Setelah selesai, mereka bergegas meninggalkan rumah itu. Namun, serangan ninja bayaran yang mengepung rumah mereka atas suruhan musuh Hiashi dan Fugaku di masa lalu membuat kegiatan kabur mereka terhenti.
Mereka berjumlah seratus orang. Hinata mendekap dua buah hatinya dengan erat. Sasuke berada di samping mereka hendak mengeluarkan Kuchiyose dan Susano'o-nya. Namun, sebelum itu terjadi, para ninja yang terlatih itu sudah meringkusnya. Ninja sekelas Hatake Kakashi dengan ketuanya sekelas Yondaime Hokage, Namikaze Minato.
"Hinata!!"
Hanya suara jeritan yang terdengar.
Mereka menusuk perut Hinata.
Sasuke hancur melihat istrinya meregang nyawa di depan matanya.
Seratus orang tadi tiba-tiba berlarian karena seribu bala tentara Konoha dan Suna mengejar mereka dengan ninja-ninja terbaik yang dua desa itu miliki.
Ternyata, mereka pula yang menyebar isu tak sedap tahun lalu mengenai Hinata dan Sasuke.
Sasuke tak menggubris para ninja-ninja yang bertarung. Ia hanya ingin melihat Hinata-nya. Itachi dan Neji sudah berada di tangan Hyuuga senior.
Sasuke memangku Hinata, mendekapnya erat. "Jangan tinggalkan aku. Kau sudah berjanji, 'kan?"
"Maafkan aku jika selama ini, aku belum bisa menjadi istri yang baik."
"Jauh dari itu Hinata. Kau begitu baik sebagai teman hidupku."
Sasuke menangis. "Kami tak bisa hidup tanpamu, Hinata."
"Carilah penggantiku,"
"Tidak akan pernah! Sampai kapanpun aku hanya mencintaimu. Takkan terganti oleh siapapun kau di hatiku, di hidupku dan anak-anak kita."
"Terima kasih aku telah diizinkan untuk menjadi wanita yang begitu dicintai olehmu."
"Jangan, kumohon jangan tinggalkan aku," Isak Sasuke semakin keras.
Itachi dan Neji juga menangis dalam dekapan kakek mereka. Hiashi menitikkan air matanya saat Hinata menutup matanya dalam dekapan erat suaminya.
.
.
Sudah lebih dari tujuh tahun berlalu dari peristiwa itu. Sejak tragedi itu pula, Sasuke pulang ke Konoha dan melanjutkan hidupnya di sana. Hubungan dirinya dengan Naruto berangsur pulih kembali. Mereka akrab lagi, mengesampingkan ego mereka.
"Chichi, di mana haha?" Itachi bertanya pada Sasuke yang menjemputnya pulang dari akademi. Hari ini hari pertama tahun ajaran baru di akademi Konoha.
Sasuke tersenyum. Ini bukan pertanyaan spesial. Itachi selalu saja bertanya mengenai keberadaan ibunya ketika ia melihat anak-anak sebayanya bersama ibu mereka.
"Di tempat paling aman."
Demikianlah Sasuke selalu menjawab pertanyaan Itachi kecil.
"Chichi, boleh aku bertanya tentang anak itu?"
Telunjuk Itachi beralih pada sosok anak laki-laki yang digandeng oleh seorang perempuan yang Sasuke kenali sebagai Hanabi.
"Neji." Sasuke menjawab dengan senyuman. Ia merasa senang ketika melihat anaknya setelah sekian lama disimpan oleh Hyuuga.
"Ketika aku melihatnya, aku merasa akrab sekali padanya. Siapa dia?"
Itachi menggandeng tangan Sasuke yang berjalan menuju kediaman mereka.
Dada Sasuke menghangat. Ikatan saudara kembar benar-benar kuat.
"Cucu Hyuuga Hiashi, kepala klan Hyuuga." Sasuke berucap bangga. Seakan-akan ia tengah menyebutkan nama pahlawan dunia.
"Lalu aku cucu siapa?"
"Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto."
"Ibuku?" pancing Itachi.
Selanjutnya Sasuke tak mengeluarkan suara apa pun lagi. Diam seribu bahasa. Itachi kecil yang belum tahu apa-apa terus mendesaknya.
Sasuke menghentikan langkahnya. Ia bersimpuh di hadapan Itachi.
"Tak mampukan kau mengeja diamnya ayahmu, Nak? Dalam diam itu ada luka yang tak terucap."
Karena kalimat ayahnya inilah, Itachi bersumpah dalam hati takkan menanyakan apa pun mengenai ibunya.
.
.
"Hiashi Jii-sama, di mana orangtuaku?"
Pertanyaan dari Neji yang baru saja pulang bersama Hanabi dari akademi membuat Hiashi sedikit berjengit. Tak biasanya cucunya menanyakan orangtuanya.
Pria tua itu mendudukkan diri dari atas ranjangnya. Sudah dua hari ia terbaring di atas ranjang tempat tidurnya.
"Di tempat yang baik," jawab Hiashi pada akhirnya.
"Di mana itu?" Neji malah gencar mengorek.
Hanabi hendak menegur Neji, tapi isyarat tangan Hiashi menghentikannya.
"Di hatimu. Kau ada di hati mereka dan mereka juga ada di hatimu."
Neji mengangguk, walau ia belum sepenuhnya paham maksud si kakek.
"Ada anak Uchiha tadi menunjuk-nunjukku saat berbicara pada ayahnya." Neji mengadu saat Hanabi sudah keluar dari kamar ketua klan Hyuuga.
"Siapa?" Hiashi berpura-pura tak tahu.
"Entahlah, kudengar namanya Itachi. Tadi, aku sekelas dengannya. Di akademi."
"Mungkin dia ingin berteman. Kau harus membuka diri pada pertemanan."
Neji mengangguk. "Apa Jii-sama sudah lebih baikan?"
Hiashi tersenyum tipis. Neji mendekati ranjang kakeknya dan berbisik seolah takut ada yang mendengar.
"Ada sebuah perasaan aneh ketika aku melihatnya. Apa karena kami sesama bangsawan?"
Hiashi tersenyum. "Ya, karena kalian sama."
Sama-sama cucuku. Sama-sama lahir dari rahim putriku, Hinata. Memiliki ayah yang sama. Uchiha Sasuke.
"Jangan katakan ini pada bibimu. Ini rahasia kita saja." Kakeknya berseru pelan.
"Aku baru saja ingin mengatakan begitu!" seru Neji takjub.
Keduanya lalu tertawa terbahak-bahak.