Lima belas tahun kemudian,
Merle dengan beberapa pelayan wanita telah selesai melakukan makan siang mereka. Merle adalah seorang putri yang ketika usianya menginjak sebelas tahun terpaksa harus selalu disembunyikan dan berpindah-pindah tempat bersama beberapa pelayan perempuan untuk bersembunyi dan menghindari bahaya yang mengintainya setiap saat.
Usia belasan adalah usia yang dinilai rawan untuk tertarik dengan lawan jenis, raja Redrick tidak ingin putrinya jatuh cinta dan timbul rasa sayang kepada laki-laki karena itu Merle dihindarkan dari mengenal laki-laki muda. Sejak kecil dia juga tidak pernah dikenalkan dengan acara-acara pernikahan atau sejenisnya. Merle lebih dikenalkan dengan lingkungan yang banyak bertemu perempuan.
Usia belasan adalah moment yang sangat menyedihkan bagi ratu Artemia, ratu begitu sedih karena harus dipisahkan dengan putrinya untuk diasingkan ke hutan yang jauh dari pemukiman agar terhindar dari keramaian manusia, khususnya lingkungan anak laki-laki. Merle juga merasakan hal yang sama, dia menangis, bersedih, kecewa harus berpisah dan tinggal jauh dari orang tua serta lingkungan istana. Ia kaget dan tak biasa hidup sederhana di tengah hutan.
"Aku bosan selalu diasingkan dari keramaian, apa sebenarnya yang terjadi, Carlotte? Usiaku sudah besar! Aku sudah lima belas tahun! Kenapa aku dibuang begini?!" sarkas Merle mendengus kesal.
"Bukan dibuang, Putriku Sayang, putri Merle hanya dididik mandiri, kuat dan menjadi sosok yang mulia saat dewasa nanti. Raja dan ratu sangat menyayangi putri Merle! Karena itu melakukan ini," elak Carlotte.
"Bukankah aku sudah besar dan berhak tahu ada rahasia apa sebenarnya?" Merle mencucut karena hampir setiap hari dia protes soal ini.
"Putri, ini perintah ayahanda anda. Demi kebaikan putri, agar kelak terlatih dan percayalah suatu saat tuan putri akan berterima kasih kepada raja dan ratu telah menanamkan nilai-nilai kehidupan seperti ini," tambah Betrish, pelayan lainnya.
"Gubrakh!" Ia berlari ke kamar dan lagi-lagi membanting pintu dengan keras menuangkan suasana hatinya yang penuh kekecewaan. Empat tahun sudah dirinya hidup sendirian dan hanya dikelilingi pepohonan, kesepian, kerinduan dan kesedihan yang panjang. Ia mengambrukkan diri di ranjang empuknya, lalu menangis tersedu-sedu sambil membenamkan wajahnya pada bantal.
Para pelayan hanya bisa menghembus nafas panjang sambil berpandangan satu sama lain. Mereka seperti biasa, membereskan dan merapikan meja makan lalu melanjutkan aktivitasnya. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk membujuk dan menenangkan perasaan putri Merle. Hanya itu yang selalu mereka lakukan, membiarkan Merle mereda sendiri.
"Hai! Kamu penghuni rumah di hutan ini?" suara khas seseorang mengagetkn Merle. Dibalik jendela kamarnya ia lihat ada sesosok wajah yang asing baginya. Merle terdiam dan sedikit takut.
"Aku sudah sering lewat sini, aku memantaunya dan aku lihat rumah asing ini ternyata ada penghuninya. Kamu tinggal di sini sudah lama?" seorang laki-laki muda sebayanya. Merle hanya mengangguk pelan, dia canggung dan bingung karena tidak pernah berinteraksi dengan anak laki-laki.
"Kamu tidak bisu, kan? Jangan takut, aku adalah teman. Kita bisa menjadi teman!" laki-laki itu mengulurkan tangannya menerobos masuk ke jendela yang sudah diberi palang-palang kayu.
"Ka-kamu siapa?" Merle memberanikan diri bertanya walaupun dia enggan menyambut uluran tangan itu.
"Aku adalah teman. Tenang saja, aku orang baik. Aku setiap tiga hari sekali ke hutan ini mencari kayu. Kebetulan kayu-kayu yang paling ujung sudah habis, aku menyisir sedikit masuk ke dalam dan beberapa kali memperhatikan rumah ini. Aku Jerk Giavin." Dia menjelaskan panjang lebar karena sebenarnya dia ingin mengenal lebih jauh gadis cantik yang berbola mata biru sangat indah itu.
"A-aku, aku sekitar empat tahun tinggal di sini, aku di tempatkan di sini untuk berlatih kemandirian dan rasa tanggung jawab diri sendiri untuk masa depanku kelak." Merle mulai berani perlahan bangkit dari ranjangnya. Dia berjalan perlahan mendekat ke arah jendela.
"Waow, tujuan yang mulia. Siapa namamu? Kapan kamu boleh bermain? Aku tiga hari lagi ke sini untuk mencari kayu lagi."
"Aku tidak pernah bisa bermain. Aku tidak boleh keluar rumah ini. Aku bisa dihukum dan dimarahi," jelas Merle dan dia terlalu takut menyebutkan namanya.
"Siapa yang menghukummu? Tidak ada orang lain di sini, selain ibu-ibu yang menemanimu itu, kan?" tanya Jerk.
Merle menggeleng, "Ada pengawal dan penjaga rahasiaku kata ayahku. Jadi aku dilarang ke mana-mana dan tidak boleh seenaknya keluar." Merle menunduk.
"Kau pernah ke perayaan Bougenville? Itu perayaan terkenal di sekitaran kampungku. Kampungku tidak jauh dari hutan ini. Hanya boleh di hadiri oleh anak-anak berusia dua belas tahun ke atas. Di sana semua bisa menari, menyanyi dan semua bergembira." Jerk dengan antusias menjelaskan dan Merle hanya menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah pergi ke perayaan apapun sejak kecil." Merle terlihat sangat sedih.
"Sayang sekali, baiklah! Aku akan ke sini lagi, kita sekarang berteman, ya?" janji Jerk.
Merle mengangguk walau diliputi rasa takut karena baru mengenal anak itu." Baginya tidak masalah jika anak itu bermain lagi, setidaknya Merle mempunyai teman bicara.
Hari ke tiga, benar saja Jerk datang lagi membawa beberapa mainan, ada boneka dari tanah liat yang sudah diberi pakaian, ada mainan dari kayu, dari sulaman kain perca juga yang diisi kapas. Semua ia berikan kepada Merle. Merle sangat senang dan Merle tetap tidak berani keluar, mereka hanya berbincang melalui jendela saja.
Sekali, dua kali, hingga berkali bertemu, ternyata Jerk selalu bersikap baik dan tak lupa datang membawa hadiah untuk Merle. Menjadikan Merle semakin percaya bahwa Jerk adalah anak baik yang tak mungkin memiliki niat jahat kepadanya. Merle semakin akrab dengan Jerk.
"Kapan kau bisa keluar dari rumah ini? Ayolah bermain di luaran sebentar saja, nanti aku antar kembali lagi ke rumahmu," ajak Jerk kepada Merle.
Merle menggeleng masih ragu, "aku takut dihukum. Ayahku berkata begitu." Merle masih ragu.
"Bagaimana jika kita akan menjalani hukuman sama-sama kalau memang kamu mendapat hukuman. Aku akan bilang bahwa aku yang membawamu pergi. Terus, satu pekan lagi ada perayaan Bougenville. Kamu pasti suka." Jerk tak bosan mengiming-imingi Merle dengan banyak kegembiraan, sepertinya ada rasa tertarik dalam diri anak muda yang beranjak dewasa itu. Merle selalu berpenampilan menawan, dia adalah seorang putri, namun Jerk tidak tahu soal itu, bahkan Merle tidak mengatakannya.
"Lalu bulan depan ada acara Valentin, hari itu sangat indah dan penuh keceriaan, dipenuhi dengan aneka macam bunga. Semua remaja dari usia belasan menghadiri acara itu. Di sana ada acara tukar kado, saling memberikan kejutan, bersantap makanan istimewa, lalu diisi acara menyanyi, berdansa dan menghabiskan waktu sampai pagi dengan bersenang-senang. Semuanya bertemakan anak muda."
Tawaran Jerk itu cukup membangunkan rasa senang dan penasaran dalam diri Merle. Dia tersenyum sudah membayangkan acara yang sama sekali tidak pernah ada dalam kehidupan nyatanya.