Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit

🇮🇩Ributby
--
chs / week
--
NOT RATINGS
27.4k
Views
Synopsis
Sinopsis: Chandraklana - Pengembara Bulan Sabit Di dunia mistis Chandraklana, Batin Pangikrar—lingkaran sakral yang dahulu menjadi alat menciptakan pusaka penuh berkah—telah ternoda oleh keserakahan manusia. Kegelapan merasuk ke dalam lingkaran itu, membawa bencana dan kemunculan makhluk-makhluk gaib yang mengancam keseimbangan dunia. Ramalan kuno memperingatkan tentang Malapetaka Penutup, sebuah ancaman yang akan memusnahkan manusia jika Batin Pangikrar tidak dimurnikan kembali. Untuk menjaga stabilitas dunia, Aliansi, badan pengatur tertinggi, menetapkan hukum keras: hukuman mati bagi siapa pun yang mencoba menggunakan Batin Pangikrar atau pusaka. Setiap tujuh tahun sekali, diadakan Sayembara Tujuh Tahunan, sebuah ajang sakral untuk menemukan Pengembara Bulan Sabit. Mereka adalah kesatria pilihan yang dilatih tanpa pusaka, didedikasikan untuk memecahkan teka-teki relief kuno dan mencari cara memulihkan Batin Pangikrar. Namun, selama seribu tahun, tidak ada satu pun Pengembara Bulan Sabit yang berhasil memenuhi ramalan. Solor Jayusman, salah satu mantan Pengembara, merasa gagal menjalankan tugasnya. Ketika harapan mulai memudar, ancaman gelap dari Batin Pangikrar semakin nyata. Bersama rekan-rekan lamanya dan calon pemenang baru, Solor harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah dia akan kembali berjuang, meski kemungkinan berhasil tampak mustahil. Dengan elemen budaya Jawa yang kental, kisah ini adalah tentang pengorbanan, tanggung jawab, dan perjuangan melawan kegelapan yang tidak hanya ada di luar, tetapi juga di dalam diri setiap manusia. "Chandraklana: Pengembara Bulan Sabit" mengajak Anda menyelami petualangan epik penuh misteri dan kemegahan yang melampaui batas waktu.
VIEW MORE

Chapter 1 - PROLOG - Bab 1 - Rawa Nawijem dan Akik Kumenteng

Dunia Chandraklana, membutuhkan seseorang yang dapat memurnikan Batin Pangikrar kembali, akibat kesalahan manusia sendiri telah mencemari lingkaran pembuat benda biasa menjadi benda pusaka yang berkhasiat sesuai permintaan, sebelum terjadi adanya Malapetaka Penutup yang terukir pada ramalan, atau warga awam menyebutnya punahnya manusia serta berakhirnya dunia Chandraklana.Karena penting, Pemilihan yang dapat diketahui melalui siapa seseorang tersebut yang dapat membimbing Chandraklana beserta isinya melewati kehidupan sehari hari tanpa adanya kata Batin Pangikrar yang diusahakan untuk selalu menjauhi karena kegelapannya merenggut manusia dengan mudah, sehingga setiap Kota dan desa diseluruh Chandraklana mendirikan sebuah Padepokan untuk kalangan remaja guna melatih generasi bisa melindungi warga dan wilayahnya dari makhluk makhluk buas dan tentu saja membimbing manusia agar tetap dan patuh pada peraturan yang telah dibuat oleh Aliansi yaitu, HUKUMAN MATI SECEPAT MUNGKIN UNTUK SETIAP ORANG YANG TELAH MELAKUKAN BATIN PANGIKRAR ATAU PENGGUNA PUSAKA.Upacara pemilihan penting dikenal dengan Sayembara Tujuh Tahunan dilaksanakan pada setiap tahun Wawu, sebuah tahun yang terhitung dari Alip - Ehe - Jimawal - Je - Dal - Be - Wawu dan Jimakir.Selain untuk memenuhi ramalan yang telah terukir, sebuah acara dilaksanakan mulai hari pertama bulan sura di tahun Jumakir dikenal sebagai NGALAM SURO tahun terpilihnya sang Pengembara Bulan Sabit melalui Sayembaranya beradu keahlian diri guna melahirkan orang orang berjiwa kesatria tanpa menggunakan pusaka atau sebutan Lawaran. Dalam lomba ini juga bertujuan untuk melatih para generasi melupakan adanya Batin Pangikrar melalui padepokan disetiap kota dan desa.Sayembara Tujuh Tahunan diadakan oleh salah satu Padepokan yang didukung oleh Aliansi secara bergantian sebagai tuan rumah setelah menjalani pemilihan.Dalam seratus tahun sampai sekarang kini ada tujuh seorang pemenang yang masih hidup :Daruman Abdhi Sunarso pemenang dari Daturaman sekarang tinggal di DaturamanShidik Sukro pemenang dari luar Sanajayan sekarang tinggal di barat AmpringanSolor Jayusman pemenang dari Loralas sekarang tinggal di NawijemWandarimo Dhijoyo Respathi pemenang dari Alingkukoh sekarang tinggal di WijonayemSamiranah Angsana Wulandarsa pemenang dari Lawas sekarang tinggal di WulansanaAkan datang (Saat ini)Mereka sebagai pemenang selain mendapatkan penobatan dan bergelimangan hadiah juga diberi tanggungan mengembalikan Batin Pangikrar selama 7 tahun sampai Sayembara selesai mengeluarkan pemenang berikutnya. Setiap Pemenang ditugasi memecahkan teka teki pada gambar relief yang telah terukir atas dasar pemurnian Batin Pangikrar.Karena secara rahasia, relief hanya diperuntukan dilihat oleh seseorang setelah ternobatkan sebagai Pengembara Bulan Sabit guna meminimalisir pengetahuan tentang Lingkaran Kegelapan tersebut ke ranah awam.Seribu tahun semua masih sama. Ramalan yang dikatakan bahwa hanya seseorang yang dinobatkan sebagai Pengembara Bulan Sabitlah yang dapat mengembalikan Batin Pangikrar sakral seperti semula, sampai sekarang belum bertemu siapa SEJATINYA..PENGEMBARA BULAN SABIT ..ITU!!!

Bab 1 - Rawa Nawijem dan Akik Kumenteng

Rawa Nawijem terhampar seperti cermin hijau yang tak bertepi, memantulkan bayangan langit jingga yang perlahan tenggelam. Di sepanjang tepiannya, hutan nipah dan pandan tumbuh lebat, akar-akar menjuntai ke air gelap yang diam menyembunyikan kehidupan liar di bawahnya. Kodok bersahutan, membentuk harmoni alam yang tak pernah putus. Rawa ini adalah jiwa Nawijem, desa kecil yang sunyi, jauh dari riuh Sanajayan.Di tepi rawa, sebuah gubug sederhana berdiri menyatu dengan lanskap. Gubug itu terbuat dari bambu kuning yang mulai memudar, dengan atap ilalang melengkung rendah. Sebuah menara kecil berdiri di sampingnya, digunakan untuk mengamati sekeliling rawa. Dari teras kayunya yang menghadap langsung ke air, seorang pria duduk bersantai dengan joran pancing di tangannya—Solor Jayusman, mantan Pengembara Bulan Sabit.Rambut Solor mulai dihiasi uban meski usianya belum tua. Tubuhnya masih tegap, tetapi matanya menyiratkan beban masa lalu yang panjang. Hari itu, seperti biasanya, ia memancing sambil membiarkan pikirannya melayang. Senja hampir habis ketika seekor burung jambul terbang rendah di atas kepalanya, membawa gulungan kertas di cakarnya. Burung itu tampak kesulitan mempertahankan benda itu hingga akhirnya terjatuh, tepat di dekat kaki Solor."Burung pembawa pesan?" gumam Solor sambil memungut gulungan itu.Ia membuka kertas dengan hati-hati. Tulisan besar beraksara Jawa langsung menarik perhatiannya:"TRIGALDITURO : SAYEMBARA TUJUH TAHUNAN"Di tengah gulungan tergambar cincin tanpa permata dengan desain sederhana. Namun, simbol itu membuat dada Solor berdesir. Ia meletakkan gulungan di lantai, menundukkan kepala sambil menghela napas panjang."Sayembara lagi," desisnya. "Seribu tahun tanpa hasil. Untuk apa semua ini?"Meski mencoba mengabaikan, matanya kembali terpaku pada gambar cincin itu. Sebuah ingatan samar melintas—potongan masa lalu yang berusaha ia lupakan. Cincin itu... entah mengapa terasa familiar, seperti pernah ia lihat atau pelajari.Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan memasak tiga ekor ikan gabus yang baru ia tangkap. Aroma harum bumbu menguar memenuhi dapur kecilnya, tapi bayangan cincin itu terus menghantui pikirannya. Setelah makan malam selesai, ia kembali ke ruang tamu. Tangannya mengambil gulungan itu sekali lagi, memperhatikannya dengan seksama."Cincin ini... Aku pernah membahasnya dengan Samiranah, bukan?" gumamnya.Tak bisa menahan rasa penasaran, Solor beranjak ke rak buku di sudut ruangan. Rak itu terbuat dari akar kayu tua yang dipenuhi debu dan buku-buku usang. Ia merogoh sebuah buku bersampul hitam dengan judul beraksara Jawa: "Alit Ananging Iso".Jantungnya berdegup cepat saat ia membalik halaman demi halaman, mencari gambar yang mengusik ingatannya. Hingga akhirnya, ia menemukannya—gambar cincin yang identik dengan yang ada di gulungan tadi. Tulisan di bawah gambar itu membuat bulu kuduknya meremang."Akik Kumenteng"Ruangan di sekitarnya mendadak terasa berubah. Dinding anyaman bambu perlahan memudar, berganti menjadi dinding batu lembap dengan suara tetesan air yang menggema. Aroma besi memenuhi udara. Solor merasa seperti terlempar ke tempat lain—sebuah gua tambang gelap dengan lorong panjang yang berkelok."Apa yang terjadi?" bisiknya, mencoba memahami sensasi aneh itu.Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, semuanya hilang, dan ia kembali ke gubugnya. Poster itu masih di tangannya. Ia menatapnya dengan campuran rasa takut dan penasaran."Akik Kumenteng... pusaka dari Batin Pangikrar." Suaranya rendah, hampir berbisik. "Kenapa ini menjadi hadiah sayembara?"Solor tahu, ini bukan sekadar sayembara biasa. Ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu, sesuatu yang mungkin tak bisa ia abaikan meski hatinya ingin tetap diam di Rawa Nawijem. Panggilan itu telah datang.