"Rik, lo gak bisa diem gitu aja. Lo harus cepat bertindak!" Bisik Taki padaku.
Aku tahu, aku tidak bisa tinggal diam saja. Tapi..
"Buat apa? Lagi pula percuma, kan?" Ucapku lalu menunduk.
...kalau aku jujur dengan keadaanku, kak Minzu pasti akan khawatir denganku.
"Lo kenapa malah jadi pasrah gini? Huh?" tanya Taki heran melihatku.
"Ini takdir gue, jalannya udah kek gini mau gimana lagi? Yang paling penting sekarang, gimana caranya gue bisa habisin waktu yang tersisa buat kakak gue."
Sial, kenapa aku jadi lemah begini?
"Riki.."
Aku dengar Taki bergumam lalu mengelus punggungku.
Dia benar-benar teman baikku.
***
Sudah dua jam aku menunggu Riki turun dari kelasnya. Seharusnya dia sudah turun dari tadi, kenapa dia lama sekali? Apa ada sesuatu yang terjadi di lantai atas? Apakah aku harus menyusulnya?
Ah tidak, aku khawatir sekarang.
"Mana sih ni anak?" Gumamku sambil memainkan jariku cemas.
Mataku tak henti-hentinya menatap tangga yang biasa di lewati Riki. Sudah tidak ada siswa ataupun siswi yang melewati tangga itu lagi. Bagaimana ini?
Baik, sekarang aku bisa menghembuskan nafasku lega. Riki terlihat sedang menuruni tangga dengan lemas dan—
Wajahnya pucat?
"Rik muka lo kok pucet? Lo sakit?" Tanyaku sambil menangkup kedua pipi Riki.
Dia sudah berada di hadapanku sekarang. Harus ada usaha untuk meraih pipinya. Dia 180 cm dan aku hanya 164 cm.
"Sedikit kak, hari ini jangan kerja dulu ya?" Pinta Riki yang langsung aku angguki. Mana tenang kalau Riki yang lagi sakit aku tinggal sendiri di rumah.
"Ayo pulang."
Sesampainya di rumah, aku langsung menyuruh Riki ganti baju. Begitu juga denganku. Aku cukup menggunakan hoodie abu dan celana trening hitam. Setelah ganti baju, aku pergi ke dapur untuk memasak bubur dan sup. Aku juga menyiapkan baskom dan sapu tangan untuk kompres.
Kuharap ini hanya demam biasa.
Setelah selesai, aku langsung membawanya ke kamar Riki. Melihat Riki terbaring lemah di atas kasur membuat hatiku sesak. Rasanya aku telah gagal menjaganya agar tetap sehat. Lihat, bahkan ia memakai selimut hingga lehernya. Perlahan aku menghampirinya, lalu meletakkan sup dan baskom ini di meja sebelah kasur Riki.
"Riki? Bangun, ayo makan" ucapku sambil menepuk pelan pipi Riki.
Usahaku berhasil, dia membuka matanya. Aku langsung membantunya untuk merubah posisinya menjadi duduk.
"Ayo makan."
"Di suapin kan?"
"Enggak, makan sendiri."
Riki cemberut. "Gak mau makan kalo lo gak mau nyuapin gue" katanya.
Aku terkekeh. "Iya, gue suapin. Lo kalo sakit suka manja ya Rik?"
"Ya kan gue manja nya sama lo doang."
Aku tidak ingin menggubris kalimat yang sering dilontarkan oleh buaya darat di luar sana.
"Gue mau introgasi lo sekarang, kenapa lo bisa sakit? Apa yang lo makan sampai lo bisa sakit? Kenapa lo gak telpon gue, biar gue jemput lo ke kelas?" Tanyaku bertubi-tubi sambil menyuapi Riki.
"Anjir, adik lo lagi sakit malah di kasi pertanyaan bertubi-tubi. Skip kak skip."
"Oke, gue berhenti buatin lo Bungeoppang" ancamku dengan bangga.
Aku tahu kelemahannya.
"Dih, iya iya. Gue cuma kecapekan aja, besok juga pasti sembuh" jawab Riki enteng.
"Eleh, kalau besok tambah parah?"
"Lo doain gue?"
"Ya enggak lah bego! Gue khawatir."
Kulihat Riki menghela nafasnya, lalu meraih kedua tanganku. Dia menggenggamnya, sesekali mengelusnya menggunakan ibu jari.
"Kak, percaya sama gue. Adik lo ini kalau sakit gak sampai dua hari apalagi dua minggu kok. Selagi ada lo disini, gue pasti cepet sembuh."
"Tahun kemarin lo sakit sampai empat minggu kalau lo lupa."
"Tahun ini beda kok, gue janji deh." Ucap Riki Membuatku terdiam, lalu mengangguk.
***
aku menggunakan kaos hitam over size dan celana pendek putih. Rambutku aku ikat agar rapi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah saatnya tidur, tapi sebelum itu aku akan mengecek kondisi Riki.
Sesampainya dikamar, Riki masih tertidur. Aku langsung membalikkan kompres di dahinya. Saat aku cek suhu tubuhnya, ternyata masih tinggi. Aku memilih untuk duduk di pinggir kasur lalu mengusap rambutnya yang terlihat lepek dan berantakkan.
"Kak Minzu.."
Aku langsung melirik ke arahnya. Riki menatapku dengan tatapan sayu nya.
Arghh! Aku tidak bisa melihatnya seperti ini.
"Hm?"
"Tidur disini" pinta Riki sambil menepuk pelan bagian kasur yang kosong.
Aku langsung mengangguk dan mengikuti permintaannya. Setelah aku berbaring di sebelahnya, dia melingkarkan tangannya di pinganggku lalu menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku tersenyum tipis sambil mengelus rambutnya pelan agar dia lebih nyaman tidur.
"Cepat sembuh, Rik."
***
Keeseokan harinya..
Riki sudah duduk di meja makan dengan smile breadnya. Jangan lupakan duduknya yang seperti anak TK.
Lucu.
Wajah sangar, tetapi tingkah anak TK.
Entah kenapa aku merasa aneh, sudah 15 menit Riki tidak bersuara. Harusnya aku senang tetapi rasanya seperti ada yang kurang.
"Kenapa lo?"
"Kenapa?"
"Kenapa lo diem?"
"Gue diem salah, gue ribut juga salah. Serba salah gue di mata lo kak."
Kulihat Riki berakting sedih. Kalau sudah seperti ini, tandanya dia sudah sehat.
"Lo emang salah sih, cowok kan selalu salah."
Kulihat Riki langsung merapatkan bibirnya, memilih untuk diam.
Hahaha, skakmat!
***
Akhirnya, setelah melewati badai, hujan, halilintar aku sampai di sekolah. Riki meninggalkanku begitu saja, tenang...aku sudah terbiasa. Aku berhenti tepat di depan lokerku mengambil buku yang aku simpan kemarin. Saat kubuka loker itu—
Lagi, aku mendapatkan surat dan coklat lagi.
Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan apakah ada seseorang yang sedang memperhatikanku atau tidak.
Aku meraih surat tersebut lalu membacanya.
Lo cantik, baik, ramah, tapi dingin. Gue suka.
-J
"Aneh, mana ada gue dingin" gumamku sebelum mengambil coklat itu.
Lumayan kan dapet coklat, hehe.
Setelah rasanya cukup, aku pun kembali mengunci lokerku. Dan segera bergegas menuju kelas.
"Ih masih SMA udah kerja."
"Miskin banget gak si?"
"Oh ini yang kerja di cafe itu?"
"Masak kerja di cafe sih?"
Aku dengar, tapi aku tidak peduli. Toh juga untungnya untuk bertindak apa? Tidak ada, kan?
"Minzu sayang, kalau lo butuh uang bilang aja. Jangan kerja part time, kasian mana masih muda" ledek Glory yang menghampiriku.
Ni anak kenapa lagi?
"Emang kenapa kalo gue part time?" tanyaku santai.
"Miskin nya kelihatan, ya apa lagi?"
"Itu aja?"
Glory menaikkan satu alisnya bingung.
"Denger ya, gue kerja part time bukan berarti gue miskin. Gue nyari pengalaman, lain kali pikir pakai otak, dangkal banget pemikiran lo."
Aku maju satu langkah.
"Lagian gue kerja part time ada nyusahin orang kek lo gak?"
Double kill!
"Harusnya lo malu, gue di umur 18 ini udah bisa nyari kerja sedangkan lo? Masih gini-gini aja gue liat. Rasanya kek gak ada gunanya kalo lo hidup."
Tripple kill!
"Glory yang cantik, jangan kebiasaan ngurusin hidup orang lain ya. Hmm, lebih baik lo urus video ber-cin-ta sama pacar lo. Takutnya kesebar, ups!"
Aku memberikan coklat itu kepada Glory yang sedang membeku.
"Nih coklat manis, siapa tau lo butuh untuk memaniskan hidup lo yang sebentar lagi berubah jadi pahit. See you!"
Savage!
Setelah itu, aku langsung meninggalkannya. Sepertinya dia sedang mencerna perkataanku. Aku bisa dengar, siswa-siswi sudah mulai mengganti topik pembicaraan.
Tentang perkataanku tadi.
Kalau dipikir-pikir, kisah karanganku tadi bagus juga ya? Tapi kenapa ekspresi Glory sangat mendukung ya? Apakah aku mengatakan hal yang benar tentang video...tidak mungkin, kan?
Bruk!
"Akh!"
"Lo gapapa?!"