Chereads / Countdown ( INDONESIA ) / Chapter 3 - Kucing

Chapter 3 - Kucing

Aku bersiap-siap pergi ke sekolah dan menyelesaikan sarapan pagi di ruangan yang selalu terlihat kesepian. Kepalaku masih terasa sakit dan perasaan aneh yang terus membayangiku, membuatku terus memikirkan mimpi yang baru saja aku alami. Tapi, mau berapa kalipun aku mencoba untuk mengingatnya, aku tak bisa melihat gambaran jelas dan kepalaku akan mulai terasa sakit setiap aku mencoba memaksakan diri untuk mengingatnya. Namun, ada satu hal yang terus terbayangkan dipikiranku saat aku memikirkan mimpi itu. Hanya satu hal-

"Cermin."

Satu-satunya hal yang bisa kuingat dari mimpi itu, adalah cermin. Hanya itu, cermin apa itu atau bagaimana bentuknya, aku sama sekali tidak bisa mengingatnya.

"Ah, ini payah." Aku menghela napas panjang dan segera mengalihkan pikiranku. Memikirkan jawanannya hanya akan membuang-buang waktuku.

Aku telah menyiapkan semua yang kubutuhkan dan segera meraih knop pintu tua itu, saat aku membukanya, maka mataku akan segera bertemu dengan kehadiran orang itu. Aku tidak tahu kenapa dia selalu berdiri di depan rumahku dan hanya menunggu, dia tak pernah mengetuk pintu atau berniat memanggilku untuk segera keluar dari rumah. Dia hanya berdiri di sana dan menatap sekitarnya dengan mata bosan. Aku tidak mengerti alasannya, namun aku tidak tertarik untuk bertanya. Aku memutuskan untuk membirkannya menjadi pertanyaan yang tak perlu diselesaikan, dan meninggalkannya di belakang kepalaku.

"Ah, akhirnya kau keluar." Dia melambaikan tangannya ke arahku.

Aku tidak mengatakan apapun dan hanya melewatinya.

Dia membenciku, dan aku membencinya. Tapi kami bersikap seperti kami adalah sahabat yang benar-benar akrab- pergi dan pulang dari sekolah bersama, mengobrol dengan topik acak yang tidak menarik sama sekali, bermain game bersama dan ... saling menusukkan pisau dengan kebencian yang terasa alot dan hina. Kapan ini semua dimulai? Aku juga sudah tidak ingat lagi. Ingatanku terasa begitu kacau hingga terkadang aku melupakan hal penting yang seharusnya tidak kulupakan. Tapi, sesuatu yang dilupakan mungkin memang harus dilupakan dan seharusnya tidak perlu untuk diingat lagi, mungkin itu adalah pilihan terbaik dan aku harus mulai menyimpan ingatan yang baru dan lebih berguna.

"Apa kau memikirkan hal yang tidak berguna lagi, Vins?"

"Bukan urusanmu."

"Ayolah, kau tidak perlu bersikap sedingin itu."

"Urus dirimu sendiri."

Dia tertawa kecil dan segera memainkan ponselnya. Aku lantas berjalan lebih cepat darinya dan tiba-tiba merasakan perasaan aneh di belakangku. Ini adalah perasaan yang terasa begitu familir, tapi aku tidak bisa mengingat dimana aku pernah merasakannya sebelumnya. Aku berbalik dengan langkah ragu, leherku terasa kaku dan tatapanku sedikit bergetar. Aku melihat Clay menyimpan ponselnya dan berhenti melangkah, aku melihatnya menatapku dengan tatapannya yang dingin dan suasananya seketika menjadi sangat canggung. Ekspresinya tak bisa kubaca sama sekali, dan seringai menjijikan itu segera dia perlihatkan dengan postur angkuh.

"Biar kutebak, apa kau melupakan mimpimu, Vins?"

Aku terdiam untuk sementara waktu, dan membuka mulutku. "Apa maksudmu?"

Dia melangkah mendekat dan menaikkan bahunya. "Kau tahu, semacam mimpi dimana kau bertemu seseorang yang menjengkelkan. Sesuatu yang seperti itu."

"Jangan berbelit-belit dan katakan dengan jelas, Clay. Aku benci kau yang membuat hal mudah menjadi teka-teki yang menyebalkan. Sebaiknya kau hentikan tingkah bodohmu itu."

"Kau yang terlalu lambat untuk mengerti." Dia tersenyum mengejek.

"Apa aku semacam lelucon bagimu?" Aku menaikkan nada suaraku, dan mengepalkan tangan dengan kuat.

"Ah, maaf. Aku hanya tidak bisa menahannya."

"Tutup mulutmu!"

"Aku tidak bisa menjelasknnya, jika kau menyuruhku untuk tutup mulut." Dia terkekeh dengan nada yang begitu merendahkan.

Aku yang telah kehilangan kesabaran, akhirnya bergegas ke arahnya dan mencengkram kuat kerah bajunya, aku tak peduli dengan perbedaan tinggi atau sekuat apa kekuatan tangan yang bisa kukerahkan. Aku tidak ingin menahan emosi yang suatu hari akan menjadi bom waktu. Dia terlihat tak melawan dan hanya menatapku dengan seringai menjijikkannya. Mataku bergetar dengan kemarahan yang alot, jantungku berdetak dengan kencang dan urat-urat di tanganku menonjol seperti akar yang menjalar.

"Kenapa kau terus melakukan hal kekanak-kanakan seperti ini?"

Dia terdiam dengan tatapan yang kaku dan akhirnya membuka mulutnya. "Kehancuran."

"Apa?"

Dia seketika mencengkram kedua tanganku dan segera melepaskan diri dengan mudah.

Sialan! Aku terlihat seperti anak kecil di hadapannya.

"Di mimpiku, aku melihat kehancuran dimana-mana. Mainan yang rusak, rumah yang hancur, pohon yang membusuk dan-" seringainya segera menghilang, "Seseorang yang mati. Hanya ada kehancuran di dunia itu, mimpi itu terasa mengerikan tapi membuatku begitu penasaran. Itu dunia yang dipenuhi hal yang tidak bisa kupahami bahkan tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Itu benar-benar dunia yang menarik. Dan, aku bertemu dengan orang itu di sana. Dan aku yakin kau juga bertemu dengan seseorang di mimpimu."

"Siapa yang kau maksud?"

"Apa yang kau ingat dari mimpimu?"

"Itu- cermin."

"Cermin, huh." Dia terlihat memikirkan hal rumit di kepalanya yang busuk itu.

Saat aku ingin bertanya tentang mimpi itu, suatu suara segera menghentikan niatku.

"Apa kalian masih belum selesai berbicara?"

"Hah?"

Itu bukanlah manusia. Sesuatu yang memiliki bulu hitam lembut dan memiliki wajah yang lucu, namun mengeluarkan suara dengan nada yang tak sesuai dengan wujudnya, menatap kami dengan jengkel. Dia memiliki suara yang berat dan tegas, seperti suara lelaki yang telah berumur 23 atau 27 tahun, dia memiliki mata hijau tua yang tajam dan cakar merah yang terlihat seperti darah yang berkilauan. Cakar itu terlihat sangat tajam dan kokoh, aura yang mengelilinginya terasa begitu suram dan gelap. Dan langit yang tiba-tiba menjadi mendung, seketika membuatku bergidik ngeri. Bulu hitamnya yang lebat terlihat menari-menari mengikuti angin yang cukup agresif, dan memberikan sensasi dingin yang menusuk tulang.

"Apa kucing ini barusan berbicara?"

Clay menaikkan bahunya dengan sikap acuh. "Mungkin dia semacam monster mengerikan yang ingin menguasai dunia ini."

"Aku sedang tidak ingin bercanda."

"Begitu juga denganku."

"Kalian berdua diamlah!" Tegasnya.

Ekornya telihat mengibas-ngibas memukul tanah dengan tatapannya yang terlihat begitu muak. Kami berdua menatapnya dengan rasa penasaran yang berbeda. Clay terlihat mengeluarkan ekspresi muram dan matanya menatap kucing itu dengan kemarahan yang tidak dapat kumengerti- tatapan itu seperti menunjukkan jika Clay sudah mengenal kucing aneh ini dan dia terlihat begitu tidak menyukainya. Tapi, bagaimana? Aku tidak bisa memikirkan jawaban apapun. Karena, aku bahkan tidak bisa mengalihkan pikiranku dari pertanyaan, kenapa kucing ini bisa berbicara dan kenapa kucing ini mengeluarkan suara yang tidak ingin kudengar.

"Kau ini kucing apa sebenarnya?"

"Panggil aku Zou."

"Zou? Nama yang aneh."

"Tutup mulutmu, manusia rendahan!"

"Apa katamu?!"

Dia kemudian berlari mendekatiku dan seketika menghilang begitu saja dengan percikan cahaya hijau seperti bintang yang berjatuhan.

"Eh? Kemana dia pergi?"

"Aku di sini, bodoh."

Dia tepat berada di atas bahu kiriku. Duduk dengan posisi angkuh dengan mata hijaunya yang tajam. Dia segera mengalihkan matanya pada Clay yang sejak tadi menatapnya dengan ekspresi permusuhan yang tampak begitu jelas, terlihat ada percikan kebencian di antara mereka berdua. Dan aku hanya mengamati momen aneh itu dengan tenang. Dan sejujurnya, aku sedikit menikmatinya.

"Tak kusangka kau bangun dengan cepat." Nadanya benar-benar angkuh untuk seekor kucing.

"Bisa kulihat kau bukan kucing yang cerdas, Tuan Zou."

Zou tersenyum lebar saat mendengar ejekan itu, kemudian menatap Clay dengan ekspresi yang begitu merendahkan. "Jika kau pikir aku akan menanggapi ejekan murahan itu, maka kau benar-benar orang yang bodoh, Clay Valdis." Tak selesai sampai di situ, dia melanjutkan kalimatnya yang seketika membuatku terdiam kaku dan membuat jantungku segera berdetak dengan liar.

"Atau bisa kupanggil, Ethan Valdis." Dia menyeringai licik dengan tekanan yang begitu kuat.

Sesuatu dalam diriku segera mengamuk seperti hwan buas yang kelaparan saat aku mendengar nama itu keluar. Jantungku berdetak kencang dan aku tak bisa menahan diri untuk tersenyum dengan gairah yang begitu kuat. Aku tidak tahu kenapa perasaan ini tiba-tiba menjalar seperti sengatan listrik yang mengalir dengan cepat ke seluruh urat nadiku. Namun, dari semua kumpulan emosi yang meledak secara bersamaan. Hanya ada satu hal yang benar-benar kurasakan dan kupahami dari perasaan ini, yaitu ... ego. Ego yang benar-benar kuat dan kental.

Ethan? Aku tidak tahu kenapa dia memanggilnya dengan nama itu. Dan kenapa nama itu memberikan sensasi aneh, dan membuatku seketika merasa bersemangat? Ini adalah kali pertama aku mendengar nama itu, namun, kenapa aku merasa jika aku sudah sering mendengar nama itu disebutkan. Bahkan aku merasa seperti, aku sudah sering memanggilnya seperti itu. Saat ini, aku benar-benar merasa seperti orang bodoh dan terlihat begitu menyedihkan. Apa 'Ethan' semacam nama samarannya? Atau seperti nickname dalam game? Aku seketika mengurut dahiku yang mulai berdenyut dengan segala pertanyaan yang berkumpul di otakku. Dan akhirnya, aku memilih untuk menyerah dan akan menanyakannya pada Clay nanti. Yah, tapi aku tidak bisa berharap terlalu tinggi pada Clay. Kemungkinan besar, dia hanya akan menjawabku dengan candaan omong kosongnya.

Clay yang mendengar nama itu disebutkan, segera menyeringai dengan tatapan yang terlihat begitu gelap dan mengerikan. Dia mendekati Zou dan tangannya tiba-tiba bergerak dengan cepat. Tangannya menargetkan leher Zou, namun, sesaat sebelum Clay berhasil mencengkram lehernya. Zou terlebih dahulu menghilang dan segera muncul di udara dengan tatapan yang mengejek. Cahaya redup berwarna hijau mengelilingi Zou dan terlihat seperti tameng yang melindunginya dari segala ancaman.

Clay terkekeh dan menatap lekat Zou.

"Sepertinya permainan menjijikan itu telah dimulai kembali. Benar bukan?"

"Iya-" Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan tersenyum lebar, "aku benar-benar punya harapan besar padamu, Vins Dwayne."

"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

Zou tak menanggapi pertanyaanku dan berkata, "aku tidak menyangka akan memulai permainnya secepat ini. Tapi, lebih cepat lebih bagus. Aku juga tidak sesabar itu untuk menunggu selama satu tahun." Dia tertawa puas dan aku hanya bisa terdiam di tempatku. Aku benar-benar tak bisa memahami pada semua yang dia katakan, dan situasi macam apa ini sebenarnya. Dan lagi, apa yang dia maksud dengan permainan? Aku merasa kepalaku seperti akan meledak, karena ada begitu banyaknya pertanyaan yang muncul di pikiranku. Dan Clay benar-benar tidak membantuku sama sekali dan hanya mengabaikanku.

Clay terlihat seperti sudah memprediksi jika kucing sialan ini akan datang menemui kami. Dia terlihat tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau panik, saat kucing ini muncul dan mulai berbicara hal aneh.

"Apa aku sedang bermimpi?"

"Ini bukan mimpi." Akhirnya dia membuka mulutnya.

"Situasi ini terlalu aneh untuk jadi nyata."

"Aku bisa memahaminya. Tapi, cobalah untuk tetap tenang dan selalu waspada, Vins."

"Yah, akan kuusahakan."

Aku tidak membantahnya, karena ucapannya memang benar. Aku akui itu, walau sebenarnya sangat sulit.

Aku memutuskan untuk hanya akan berdebat dengannya, saat dia mengucapkan kumpulan omong kosong yang dia lakukan untuk mengangguku dan menikmatinya sebagai hiburan. Aku tidak akan melakukan pertengkaran yang tak perlu hanya karena aku membencinya. Aku rasa itu adalah tindakan yang dewasa dan membuatku lebih bijak dari bajingan ini.

Kemudian, tak beberapa lama, Zou berbicara dengan nada yang begitu percaya diri dan menatap kami dengan tatapan sombong. "Kuucapan kepada kalian berdua, selamat datang di permainan takdir yang menarik ini! Aku yakin kalian tidak sabar untuk bermain di permainan unik ini." Dia tertawa dan menyipitkan matanya, "aku nantikan permainan takdir kalian, Vins dan Clay. Aku benar-benar tak sabar untuk menonton pertunjukkan luar biasa kalian." Ekornya bergerak-gerak dengan liar, dan pupilnya membesar yang diiringi senyuman yang seketika membuatku muak.

"Zoe."

Namun, aku mencoba untuk menahan amarahku.

"Hmm?"

"Permainan takdir apa yang kau maksud?" Aku bersikap setenang mungkin, dan Clay hanya mengamatiku dengan tatapan yang penuh dengan teka-teki.

"Ah, betapa bodohnya aku. Aku minta maaf soal itu." Aku yakin dia sengaja tidak mengatakannya lebih awal, dan memilih untuk menungguku menanyakannya. Kaparat ini benar-benar membuatku muak.

Zoe kemudian menjentikkan jarinya, dan seketika sebuah tulisan yang berpendar hijau muncul tepat di depanku. Saat aku membaca tulisan itu, aku tak bisa menahan diri untuk membacanya berkali-kali. Hanya untuk memastikan, apakah ini hanya sebuah ilusi bodoh atau memang kenyataan yang mengerikan.

"Apa-apaan ini."

Itu tertulis seperti ini ....

_______________________________________

< KAMU ADALAH TARGET KEMATIAN! >

Waktu Tersisa: 99 hari

Misi: Bertahan hidup dari berbagai ancaman kematian yang lapar akan nyawamu!

_______________________________________

Aku bisa mendengar tawa puasnya yang menyebar di udara yang dingin. Kucing sialan itu menatap kami dengan ekspresi licik yang benar-benar sedang menikmati momen berharganya.

"Bisakah kau jelaskan omong kosong ini?"

Dia melihatku dengan seringai lebar. "Seperti yang kau baca, kau adalah target kematian di permainan takdir ini. Terserah apapun rencanamu, kau harus bertahan hidup sebagai target dari kematian. Aku tidak bisa menjelaskan lebih dari ini, karena informasi yang bisa kuberikan sangat terbatas. Jadi, jangan membenciku karena itu. Aku tidak bisa melakukan apapun, bahkan jika aku ingin, kau tahu."

Belum sempat aku memprotes sikapnya yang menjengkelkan itu. Zoe segera memotong niatku. "Ah, sayang sekali. Sepertinya waktuku sudah habis, aku minta maaf karena harus pergi secepat ini. Tapi, yah, aku harus segera mengurus beberapa hal yang cukup rumit. Jadi, aku akan pergi sekarang."

"Tunggu-"

"Semoga berhasil! Aku doakan keselamatan kalian."

Dan kemudian, bajingan itu menghilang begitu saja bersamaan dengan percikan hijau yang cukup menyilaukan mata. Aku seketika merasakan kemarahan yang luar biasa, dan ingin mengamuk. Aku benar-benar ingin mengikat kucing sialan itu, dan menyiksanya dengan berbagai hal yang akan membuatnya menyesal karena telah hidup di dunia ini. Sungguh, aku akan benar-benar mengamuk seperti hewan buas saat aku bertemu dengannya lagi, dan aku mungkin akan mulai membenci kucing karena bajingan itu.

Saat aku memaki kaparat itu di kepalaku, aku kemudian melirik Clay yang mungkin memiliki ekspresi yang sama denganku. Tapi, apa ini? dia terlihat tidak marah sama sekali, dan dia justru tersenyum lebar dengan mata yang memperlihatkan rasa lapar yang mengerikan. Aku meliriknya dengan ekspresi jijik.

"Apa yang salah denganmu? Kenapa kau tersenyum seperti orang gila yang siap membunuh siapapun?"

Dia menatapku dengan ekspresinya yang santai, lalu menepuk bahuku pelan.

Dari ekspresinya yang terlihat tenang itu, matanya justru memperlihatkan hal yang benar-benar berbeda. Mata itu memperlihatkan kengerian hewan buas yang terlihat begitu kelaparan. Dia melihatku dengan seringai lebar yang seketika membuatku bergerak mundur, aku tak bisa menghentikan getaran pada tubuhku yang menyuruhku untuk lari atau aku akan mati dengan cara yang menyedihkan.

Kemudian, dia berkata dengan tawa kecil yang segera membuatku bergidik ngeri.

"Berhati-hatilah mulai sekarang, Vins."

Lalu dia melanjutkan ....

"Mungkin suatu saat aku akan membunuhmu, saat kau lengah."

Itulah hari terakhir dimana aku bisa hidup dengan normal.