Sore itu, aku dan Senja sedang asik mengobrol santai. Menikmati semburat jingga yang ga pernah kehilangan keindahannya. Sama seperti perempuan yang sekarang sedang bersamaku ini. Senja Purnamasari, orang asing yang udah aku anggap seperti kakak sendiri. Dia yang selalu menemani aku disaat aku membutuhkan seseorang untuk bermain.
"Ja, kalau seandainya aku tiba-tiba ninggalin kamu Apa yang bakal kamu lakuin?"
"Bersyukur"
"Kok bersyukur?"
"Karena mungkin emang itu yang terbaik. Seandainya Tuhan misahin kita, ya berarti itu pilihan yang terbaik dari Tuhan buat kita. Pilihan Tuhan ga pernah salah"
"Jadi kalau aku tiba-tiba ninggalin kamu, kamu diem aja gitu?"
"Ya engga gitu maksudnya. Aku bakal terus berharap kalau Tuhan misahin kita cuma sebentar"
"Loh kok misahin sebentar?"
(Senja mengerutkan keningnya)
"Maunya lama?"
"Ya berharap ga akan pernah dipisahin kek gitu"
"Iya juga ya" (Senja malah bingung sendiri)
(Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan panjang yang menyisakan cerita mendalam dihati)
"Sekarang diwaktu dan tempat yang sama, aku nunggu kamu Senja. Waktu dimana kita bisa melihat keindahan semburat langit jingga... Sudah sepuluh tahun sejak pertemuan waktu itu, kamu ga pernah nemuin aku lagi. Kenapa Tuhan begitu jahat ja? Misahin kita. Kenapa kita harus dipertemukan kalau ujung-ujungnya dipisahkan seperti ini?! Ditinggalkan tanpa adanya kejelasan.... Kamu jahat ja!!! Jahat!!!"
(Tidak terasa, butiran-butiran air mata jatuh begitu saja bersamaan dengan rintikan air hujan yang semakin lama semakin deras. Seakan-akan mengetahui perasaan yang tengah aku rasakan saat ini)
Hari semakin malam. Aku terus berjalan ditempat yang sepi dan sunyi. Aku terus menggerak-gerakan tongkatku ke jalan yang akan aku lalui. Dan tiba-tiba ada seseorang yang menarik tanganku bersamaan dengan suara klakson mobil yang terdengar sangat kencang ditelingaku. Ia menarikku ketempat yang tidak terkena hujan.
"Kak, kenapa ga neduh? Deres banget loh"
Ternyata ia adalah seorang perempuan dan dari suaranya seperti masih anak-anak.
Aku tidak merespon pertanyaannya. Kurasa memang tidak perlu direspon.
Semakin lama udara pun semakin dingin. Kurasa aku akan mati kedinginan disini.
"Kak Senja, kenapa sih kadang setiap abis ujan itu ada pelangi? Kenapa ga pelangi dulu baru ujan?"
Tiba-tiba saja aku teringat masa-masa dimana saat dulu aku bermain hujan-hujanan dengan Senja. Waktu itu aku masih sangat kecil.
"Eum..."
"Fajar! Aku lagi ga mau ditanya-tanya ah"
"Maaf ka.. Fajar cuma mau nanya"
Seketika itu juga aku menangis sesenggukan, karena jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Wajar saja, aku masih terlalu kecil. Aku memang cengeng dari kecil.
Ia pun langsung meninggalkanku sendirian. Tetapi, dia kembali lagi sambil membawa beberapa makanan ringan dan permen yang berwarna-warni.
"Ini buat kamu. Aku minta maaf ya.."
Aku menerimanya dengan wajah sumringah seakan lupa dengan kejadian yang baru saja terjadi.
"Ini semua jawaban dari pertanyaan kamu tadi"
"Hah?"
"Pertanyaan yang tadi. Kamu lupa?"
Aku hanya diam saja karena aku tidak tau maksudnya.
"Ada pelangi setelah hujan"
"Oohh.."
"Tadi sebelum kakak kasih ini, kamu nangis kan?"
"I-iya"
"Sekarang?"
"Udah engga, kan kakak udah minta maap"
"Ini semua sama seperti hujan. Ketika kamu nangis itu sama seperti hujan turun. Dan ketika kamu dikasih jajanan yang berwarna-warni dan bermacam-macam seperti ini kamu berhenti menangis, itu sama seperti kehadiran pelangi yang menghibur langit untuk tersenyum kembali. Itu sebabnya terkadang ada pelangi setelah hujan. Karena pelangi ingin menghibur langit. Masa iya ngehibur dulu baru bikin nangis"
("Aku ga peduli sama perkataan ka Senja yang penting aku kenyang" batinku)
"Kamu dengerin aku kan?"
"Eh.. I-iya ka iya"
"Apa?"
"Pelangi itu sama kaya permen warna-warni dan enak"
"Haduh.. Percuma ngejelasin panjang lebar ke anak yang satu ini mah"
Aku kembali tersadar dari lamunan yang sangat membekas itu.
("Sampai kapan aku harus terus menunggu disini?" batinku)
"Eh astagfirullah.. Bundaaa aku lupa kalo bawa orang ke rumah. Aku juga lupa nyuruh dia duduk"
Tiba-tiba suara perempuan tadi mengagetkan ku
"Suruh masuk saja nak" terdengar suara teriakan seorang perempuan lain dari dalam
"Ma-maaf ka.. Silahkan masuk"
("Oh ternyata dari tadi aku berteduh dirumah orang, kukira dihalte bus" batinku)
"Siapa dia nak?"
"Engga tau, tapi tadi dia main hujan-hujanan bun, padahal tadi hujannya deres banget"
"Ada-ada aja kamu nak. Ya udah, tolong ambilkan anduk buat dia mengeringkan badannya nak"
"Siap bun"
"Oh iya, Nadiaaa.. Ambilkan air hangat juga, untuk minum"
"Iya bun"
"Te-terimakasih sebelumnya bu"
"Iya ga apa-apa. Oh iya, rumah kamu dimana?"
"Rumah saya.. Eee.. Rumah saya... Sebentar, ini didaerah mana ya bu?"
"Ini didaerah Pondok Melati"
"Oh rumah saya ga jauh dari sini kok bu. Rumah saya di pondok sebelah"
"Bun ini anduk sama air minumnya"
"Berikan ke kakak itu"
"Ini kak.."
Dia memberikan ku anduk terlebih dahulu, kemudian dia memegang tanganku dan menunjukkan letak gelasnya.
Entah mengapa aku merasakan kehangatan sebuah keluarga kecil yang sedang ku tumpangi rumahnya ini. Mereka begitu baik, padahal aku bukan siapa-siapa mereka. Aku membayangkan seandainya aku berada diposisi mereka. Pasti aku sangat bahagia.
Traang....
Tiba-tiba suara yang sangat nyaring terdengar dari dalam. Seperti benda kaca yang jatuh lalu pecah.
"Astagfirullah...."
("Sepertinya ibu dan anak itu langsung berlari ke dalam untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi" pikirku)
Kudengar suara anak perempuan yang bernama Nadia itu mengucapkan kata abah. Apa mungkin itu ayahnya atau kakeknya? Entahlah... Tapi, sekarang aku jadi merasa tidak enak dengan mereka. Aku ingin pamit, tapii bagaimana? Mereka sedang didalam, masa iya aku pergi begitu saja tanpa pamit.
"Kak, maaf tadi ada kecelakaan sedikit didalam"
"E-eh, iya ga apa-apa"
Aku ingin menanyakan apa yang baru saja terjadi. Tapi, ku urungkan karena aku tidak pantas untuk mengetahuinya.
"Sebelumnya terimakasih ya atas jamuan dan tumpangan rumahnya. Saya ingin pamit pulang"
"Iya sama-sama ka"
"Titip salam ya buat mamah kamu dan titipkan maaf juga karena sudah merepotkan"
"Iya ka, nanti aku sampein"
To be continued...