Pemandangan di depan sana membuat Deo mematung. Setelah sekian lama, dia kembali melihat sosok wanita yang dulu begitu dia cintai. Namun, rasanya kali ini ada yang berbeda. Tidak lagi ada degup yang membuatnya merasa bahagia, yang ada hanyalah luka yang terasa perih kembali.
Kedua mata mereka saling beradu. Deo juga melirik sosok laki-laki dengan tubuh tegap yang di samping Helena, juga menatapnya. "Deo Heidi!" panggil laki-laki itu.
Deo menunduk, dengan cepat dia segera berjalan mendekat. Tidak tahu dia siapa, hanya saja Deo harus menghormati siapa pun yang memang berkunjung ke tempat itu.
"Nama kamu Deo Heidi, kan?"
"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya balik Deo, dengan tetap menunjukkan pandangannya.
"Kamu tidak tahu saya? Ah, baiklah, saya Gavin Neal." Laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai Gavin Neal.
Mendengar nama Neal, Deo pun baru menyadari kalau sosok di depannya adalah pemilik Danger Room ini. "Maafkan saya Pak, saya tidak tahu kalau Anda pemilik tempat ini," ucap Deo.
"Tidak apa. Kenalkan, ini istri saya, Helena Mawardi."
Deo mendongak, matanya kembali bertemu dengan wajah mantan istrinya. Helena tampak sangat cantik, penampilan tentu saja semakin terlihat berkelas. Namun, sama sekali tidak ada tatapan kagum dari Deo.
"Apa kamu mengenal istri saya?"
"Tidak Pak, saya tidak—"
"Ah, baguslah. Saya juga tidak berharap kalau kamu itu mantan suami Helena yang tidak punya apa-apa itu," ucap Gavin yang kini membenarkan jas hitamnya dengan penuh keangkuhan, lantas pergi begitu saja.
Tentu saja kepergian Gavin diikuti Helena. Sedari tadi, tangan Gavin memang terus memegang Helena. Seakan dia takut kalau istrinya itu kembali ke pelukan Deo, yang hanya seorang bartender.
Ekspresi Deo sama sekali tidak berubah. Dia sudah mati rasa, seakan luka itu benar-benar sudah menghunus hatinya, dan tidak lagi dapat disembuhkan. Sulit untuk percaya, tetapi fakta mengatakan demikian. Dia masih menyimpan luka itu, hanya daja tidak berniat untuk menunjukkannya pada siapa pun.
Kejadian itu tentu dilihat semua orang. Orang yang mengenal Deo, tentu tahu siapa wanita yang bersama Tuan Gavin itu. Mereka mulai bertanya tentang keadaan Deo dan laki-laki itu tidak menanggapinya. Mereka tentu hanya ingin tahu, bukan benar-benar bersimpati, atau peduli pada perasaannya.
"Bagaimana rasanya melihat mantan istri, yang kini menikah dengan bos dari tempatnya bekerja? Aish, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadi Deo."
"Kasian Deo, padahal dia laki-laki yang baik." Berbagai tanggapan didengar Deo dengan cukup jelas, tetapi lagi-lagi dia tidak peduli dengan itu.
***
Keadaan Danger Room selalu ramai, tempat ini memang buka 24 jam. Restoran, tempat karaoke, bahkan di malam hari akan berubah menjadi lautan penuh dosa. Sayangnya di sini tidak ada kamar yang bisa digunakan untuk bermain para orang dewasa, yang ada hanya private room, yang tentu saja tetap digunakan untuk hal semacam itu.
"Ruangan VIP nomor 17. Mereka meminta kamu merekomendasikan minuman terbaik di sini, lalu kirim ke ruangan itu."
Deo hanya mengangkat ibu jarinya saja. Sementara itu, Zeline datang dengan gaya berjalan yang selalu menggoda. "Ada yang mau main di sini, bisa gak?"
"Kamu gila?"
"Ayolah, dia hanya minta 10 menit saja. Bisa sambil alasan mengirim minum, kan?" Zeline mencoba untuk membujuk Deo.
Tempat itu masih belum ramai, bahkan jam masih menunjukkan pukul 4 sore. "Bermain di siang hari?"
"Memangnya ada aturannya? Ayolah, dia sudah menunggu. Lagian, laki-laki panggilan itu tidak punya jam kerja. Kapan dan di mana saja harus siap," jelas Zeline.
Deo melihat sekitar lagi, dia pun mengangguk mengiyakan ajakan Zeline.
"Bawa alat pengaman, kan?"
"Jangan lupa siapkan semuanya, di ruangan itu tidak ada kamar mandi." Sebelum pergi, Zeline meninggalkan sejumlah uang di atas meja.
Deo membuang napasnya, saat itu matanya kembali menemukan sosok Helena yang berjalan keluar dari bar tersebut. Deo memasukan amplop cokelat berisikan yang itu dan langsung bergegas dari sana.
Deo menitipkan tempatnya pada rekan kerja. Setelah membersihkan tubuhnya, dia langsung pergi dengan membawa nampan berisikan minuman berkualitas yang dia racik sendiri. Racikan Deo memang terkenal dan menjadi favorit di Danger Room ini.
Ketukan tangan Deo dengan ciri khasnya sendiri membuat wanita di ruangan itu bangkit. Dia tahu itu Deo, maka dengan cepat dia membereskan pakaiannya, dan berjalan untuk membuka pintu. "Hai, Dilbar!" sapanya.
"Minumannya?"
"Bawakan saja ke dalam," ucapnya.
Deo menuangkan minuman itu di depan wanita cantik. Seorang wanita dari kalangan atas, usianya sekitar 35 tahunan. Namun, tampaknya karena uang wajahnya masih terlihat segar dengan tubuh yang masih sangat bagus.
"Kamu sangat tampan, Dilbar. Aku menginginkannya," ucap wanita itu dengan mata yang mengarah pada milik Deo.
***
"Rea! Ale mau makan es krim di sana, apa boleh?" tunjuk Ale pada toko es krim di depan sana.
Rea mengingat-ingat uang di dompetnya. Dia sebenarnya tidak memiliki cukup uang, tetapi kalau dia menolak keinginan Ale, Rea takut kalau Ale akan sedih. "Rea kenapa?"
Dale mendongak, melihat wajah Rea yang tengah mengendarai motor itu. Dale merogoh saku seragamnya, dia menunjukkan uang jajannya yang masih utuh.
Motor Rea berhenti tepat di depan toko es krim. Keduanya berjalan bergandengan, dengan Dale yang terus melemparkan senyuman manisnya. Dale sangat senang, dia sering merengek ingin makan es krim di sana, tetapi Deo selalu menolak dengan alasan harga es krim di toko tersebut sangatlah mahal.
"Pilih mau es krim yang mana!" Dale yang belum bisa membaca, hanya melihat gambarnya saja.
Dia menunjuk salah satu es krim vanila dengan saus taro di atasnya. "Rea mau yang mana, biar Dale yang traktir."
"Tidak usah, Rea tidak begitu suka es krim."
"Mana ada perempuan cantik tidak suka es krim," ungkap Dale yang kini menunjuk satu es krim lainnya, yang dia tuju untuk Rea.
Rea hanya tersenyum melihat bagaimana dewasanya seorang anak berusia 4 tahun itu. Saat keduanya tengah asyik menunggu es krim dengan bercanda. Helena dan Gavin juga masuk ke toko tersebut.
Helena sempat melirik ke arah Dale, tetapi dia tidak tahu kalau gadis cantik dengan lesung pipi itu adalah putrinya. "Es krim vanila dengan saus taro," ucap Helena.
"Rea, mamanya pasti cantik, ya?"
"Cantik, dia itu wanita paling baik di muka bumi. Ibu itu adalah malaikat tak bersayap, dia—"
"Rea, Dale gak punya Mama. Kata Ayah, Mama pergi kerja yang jauh, tapi orang tua teman-teman Dale kalau kerja itu pulang. Kenapa Mama Dale gak pulang, ya?" tanyanya yang membuat Rea hanya terdiam.
Rea hanya bisa tersenyum, tepat saat itu pesanan mereka datang. "Bicara soal itunya lain kali aja, ya. Sekarang mending Rea makan aja es krimnya, terus kita pulang."
Dale pun mengangguk, dia sempat melirik ke arah Helena dan Gavin yang tengah menunggu pesanan mereka. Mata keduanya bertemu, di saat itu Dale merasa mengenal sosok Helena.
"Rea, mau jadi Mama Dale, gak?"
"Hah?" Rea yang tadinya menikmati es krim sontak melihat ke arah gadis kecil itu.
"Iya, Dale pengen makan es krim sama Mama." Kalimat itu dilontarkan Dale dengan mata yang mengarah pada sosok Helena.
Helena tidak merasa risih, dia hanya aneh kenapa ada gadis kecil yang terus menatapnya seperti itu. Usia gadis itu mungkin sama dengan putrinya yang dia tinggalkan bersama Deo 3 tahun yang lalu. "Kamu kenapa?"
"Jangan dulu punya anak. Bukannya mau jadi model terkenal dulu?" Seketika rasa rindu itu sirna, Helena mengangguk atas kalimat Gavin yang menurutnya memang benar.