Chereads / Dendam Cinta Petani Kaya / Chapter 3 - #3 Sri Rahayu

Chapter 3 - #3 Sri Rahayu

Aku tidak tahu pastinya, sejak kapan Kang Sugi menaruh hati pada Ayuk. Karena, sama seperti aku, Ayuk juga kuliah di luar kota, kampusnya juga sama denganku. Bedanya, aku mengambil jurusan pendidikan dan dia jurusan hukum. Sekalipun begitu, kami juga hampir tidak pernah bertemu. Aku berangkat dan pulang naik kereta, dia dijemput naik mobil pribadi. Aku pulang sebulan sekali, dia sepekan sekali. Aku ngekost sekamar bertiga, dia kontrak satu rumah di perumahan.

Kalau masalah mengenal, Kang Sugi sudah pasti mengenal Ayuk sedari kecil. Dulu, kami juga satu SD. Tapi dari kecil itu juga, Ayuk tipe anak yang tidak begitu bergaul dengan kami. Dia ke sekolah diantar jemput pakai sepeda motor oleh para pembantunya yang banyak. Ketika jam istirahat pun, dia juga sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Tidak seperti kami yang berlarian di halaman, bergelut dengan debu, dan jajan sembarangan di pedagang yang lewat.

Ayuk adalah gadis rumahan. Rumah Bapaknya memang luas sekali. Pelarangannya sudah seperti lapangan bola, maklum selain lurah, Bapaknya juga pemilik pabrik minyak wangi dari bunga kenanga. Satu-satunya pabrik di desa kami, karyawannya banyak sekali, salah satu adiknya ibukku juga bekerja di sana.

Seumur hidup, aku hanya sekali datang kesana. Ketika masih SMA dan Ayuk mengundang teman-teman perempuannya untuk datang tasyakuran ulang tahun ke tujuh belas. Meriah sekali, seperti hajatan pernikahan. Ada tenda di depan rumah, panggung dekorasi dan orkes musik pop. Kami tamu khusus, yang merupakan teman-teman Ayuk tidak duduk di tenda, kami duduk di dalam rumah. Jadinya, kami bisa leluasa melihat bagaimana isi dalam rumah orang paling kaya sekampung ini. Sofa empuk dan kokoh, foto keluarga dalam pigura yang sangat apik dan orang di dalamnya juga tampan dan cantik. Beraneka ragam boneka di dalam lemari kaca yang tinggi dan panjang. Juga gelas-gelas cangkir cantik yang tersusun juga dalam lemari kaca.

Di tahun itu, aku melihat rumah Ayuk seperti melihat istana. Yang lebih menakjubkan lagi, adalah dandanan yang punya hajat. Ayuk bermake-up luar biasa cantik di mataku. Aku paling anti memakai lipstik, karena ibuku hanya punya yang warnanya merah merona dan mengkilap. Tapi yang dipakai Ayuk, semua cantik, semua lembut, tidak mencolok dan tidak menor. Kami semua berdecak kagum melihatnya keluar dari kamar untuk menyalami kami.

Dari SMA, Ayuk sudah banyak yang suka. Mulai dari teman sekelas, adik kelas, kakak kelas, sampai penjaga perpus, satpam dan guru-guru muda. Tapi sepertinya belum ada yang bisa menaklukkan hatinya. Desas desusnya dulu, Ayuk sudah dijodohkan oleh Bapaknya dengan anak konglomerat dari Jakarta. Tapi kebenarannya bagaimana aku juga tidak tahu.

Sejauh yang aku tahu, Ayuk memang bukan gadis yang neko-neko, dia ramah, pintar dan sopan. Cara berpakaiannya pun sederhana saja, meskipun juga terlihat mahal, tapi tidak menonjolkan kemewahan. Ayuk tidak pendiam, dia punya beberapa teman akrab dan sering mengadakan acara bersama. Dia hampir tidak punya teman laki-laki yang dekat. Dia seperti punya harga diri yang tinggi untuk bergaul dengan laki-laki teman kami. Aku sendiri juga tidak terlalu paham.

Hingga saat ini, ketika dia sudah lulus terlebih dahulu dari kuliahnya, lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Aku dengar, Ayuk sedang mempersiapkan kuliah master. Dulu, dia pernah bilang padaku ingin membuka Lembaga Bantuan Hukum. Dan dia akan menggratiskan orang-orang tidak mampu untuk konsultasi hukum di lembaganya. Benar-benar cita-cita yang mulia.

Begitulah Ayuk, dia sangat sempurna di mataku yang perempuan ini. Tentunya di mata laki-laki lebih dari itu. Hingga akhirnya, karena penasaran, suatu hari aku bertanya pada Kang Sugi, apa yang akhirnya membuat dia jatuh cinta setengah mati pada Ayuk.

"Kang, sejak kapan jatuh cinta sama Ayuk? Kok masih baru-baru ini aja nanyain dia, kemana aja?" Kataku dengan nada sedikit menggodanya. Kami sedang membantu Mamak Mun menjemur kerupuk gadung mentah yang masih berbalut dengan abu gosok. Kang Sugi langsung senyum-senyum tak jelas.

"Kapan ya...Kakang lupa hihi."

"Sejak SD?"

"Hushh ngawur kamu, ya nggak lah, mana ngerti cinta-cintaan wong masih piyik. Kayaknya sejak sering di suruh Pak Dhe Ramlan untuk mengantar gulo Abang ke rumah Pak Lurah."

Jadi kakak tertua ibukku punya usaha pembuatan gula kepala. Kadang, saat dapat proyek besar atau pesanan banyak, kami para keponakannya yang dipekerjakan dan dibayar dengan uang saku. Begitu saja sudah bagaimana sekali.

"Kalian bertemu?"

"Nggak cuma bertemu, tapi juga ngobrol."

"Wow! Serius?" Aku semakin tertarik untuk melanjutkan obrolan kami. Kang Sugi mengangguk. "Ngobrol apa?" Tanyaku lebih lanjut.

"Dimana Pak Lurah, apakah Pak Lurah sedang sibuk, bilang ya ada suruhan Pak Ramlan mengantar gulo."

Gubrakkk. Aku langsung ngakak mendengarnya. Itu sih bukan ngobrol, tapi tanya jawab dan basa-basi. Memang ya, orang kalau jatuh cinta, disenyumin saja artinya bisa banyak, apalagi ada suara yang keluar dari mulut sang pujaan hati.

"Dia ramah sekali ya, Dhil. Nggak sombong kayak gadis-gadis sini yang sok kecantikan gitu. Padahal aku nggak suka mereka, dah kayak jual mahal saja." Kata Kang Sugi melanjutkan.

"Dia memang baik Kang, dari kecil sudah ramah begitu."

"Masak sih?"

"Kakang nggak tahu?"

Kang Sugi menggeleng. Dia dulu memang tidak peduli dengan perempuan. Yang dia urusi hanya berantem dengan anak laki-laki. Makanya dia tidak sadar ada gadis cantik dan ramah seperti Ayuk di sekolahan. Tapi ya, namanya juga masih anak-anak.

"Pernah Kakang itu baju masih kotor sudah berangkat kesana. Mau mandi dan ganti baju dulu, sama Pak Dhe Ramlan dimarahi katanya gula keburu dipakai entah buat apa. Akhirnya, Kakang kesana dengan baju bau asap, wajah Kakang yakin juga berminyak dan kusam. Sudah hilang kepercayaan diriku, Dhil. Aku berharap tidak bertemu Ayuk karena penampilanku sedang tidak oke.

Di depan, aku bertemu dengan pembantunya, seorang laki-laki. Jumianto, temanku main bola dulu. Dia mengolok-oloku, Dhil. "Baju dekil amat kesini, nggak usah masuk nanti kotor." Katanya. Duh, sakit sekali hatiku Dhil. Tapi setelah itu, Ayuk keluar dari dalam rumah. "Nggak papa, Mas masuk saja, duduk di kursi ya saya panggilkan Bapak."

Duh, Dhil. Rontok hatiku, Dhil. Dia ramah sekali, suaranya lembut, bicaranya sambil senyum manis sekali.  Tidak ada pandangan gimana gitu melihat Kakang. Dia terlihat tulus.""

Kang Sugi bercerita sambil mesam mesem. Kerupuk gadung mentah di tangannya sudah lumat oleh tangannya. Matanya menerawang ke atas, mengingat-ingat kejadian yang ia ceritakan. Sekarang aku tahu, rupanya Kang Sugi jatuh cinta secara pelan-pelan oleh attitude Ayuk, temanku.

Dan jatuh cintanya itu, sudah ia simpan dan hanya diceritakan padaku sejak hampir dua tahun lalu. Hingga akhirnya hari ini, kudengar kabar ia hendak melamar pujaan hatinya itu. Aku tahu cintanya pada Ayuk sangatlah besar. Tapi aku tidak tahu bagaimana perasaan gadis cantik itu padanya. Kita tunggu saja sampai mereka pulang, semoga saja lamaran itu diterima.