Terjadi pertengkaran serta perdebatan hebat di antara suami istri tersebut, yang pada akhirnya membuat Agatha mengambil keputusan untuk pergi dari Bangsa Aqua, serta mengasingkan dirinya dari Planet Airraksa.
Agatha menciptakan Lubang Hitam yang membuat dirinya masuk ke dunia Paralel. Tubuhnya yang tengah mengandung itu, harus mengalami kejadian luar biasa ketika berada di dunia Paralel.
Dirinya terombang-ambing di dalam ruang waktu yang hampa. Tidak diketahui dia berada di mana sekarang. Setelah beberapa saat berada di lorong waktu, Agatha merasakan rasa sakit yang teramat luar biasa di perutnya, seolah dia ingin melahirkan.
Benar saja, "Aaaaaa!" Agatha menjerit dengan keras. Bayi yang ada di dalam kandungannya telah siap keluar.
Dengan sekuat tenaga, akhirnya seorang bayi perempuan telah lahir dari rahimnya. Agatha tidak pernah menduga sebelumnya, dia akan melahirkan putri kecilnya di dunia tanpa batas itu. Ruang hampa yang sama sekali tidak diketahui tempatnya.
"Putri kecil, Ibu."
Dia mengelus hidung kecil putrinya itu. Masih ada perasaan tidak percaya dalam hatinya, akan memiliki seorang anak. Sebab, sudah hampir dua ratus tahu lebih dia menantikan seorang anak. Namun, tidak kunjung dikaruniai.
Akhirnya penantian panjang itu telah terjawab, "Akan aku beri nama kau, Alika."
Saat itu juga bayi itu dikenal dengan nama Alika, yang saat ini sudah tumbuh menjadi gadis cantik, bertubuh mungil dan bersikap manja.
"Ternyata sudah seratus tahun aku meninggalkan Planet Airraksa. Semuanya berjalan begitu cepat."
Ketika sedang memikirkan masa depan Alika, saat itu juga bayangan masa lalu kembali hadir dalam benak Agatha.
Kenangan ketika dirinya masih bersama Arthur, suaminya dan kelahiran Alika yang tanpa terduga itu.
Semuanya masih hangat dalam ingatannya. Agatha tidak bisa menutupi kekecewaannya terhadap Arthur, tetapi dia juga tidak bisa selalu menyalahkan suaminya itu, yang Arthur lakukan hanya ingin melindungi Bangsa Aqua dan Planet Airraksa.
Akan tetapi, tindakan yang Arthur ambil sungguh tidak manusiawi. Agatha sendiri, tidak bisa menyerahkan bayi yang selama ratusan tahun telah dinantikannya itu.
"Aku tidak tahu bagaimana keadaanmu sekarang? Semoga kau baik-baik dan Bangsa Aqua tetap terlindungi," gumam Agatha, sambil memandang langit yang kembali tidak memancarkan cahaya bintang.
Biarpun Arthur telah menggoreskan luka dalam hatinya, tetap saja Agatha tidak bisa terus menerus membenci pria yang selama dua ratus tahun, berada di sisinya.
Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan rindunya pada sosok Arthur, yang baginya sangat sempurna.
"Saat ini putrimu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Dia manja, seperti dirimu," lanjutnya sambil tersenyum hangat.
Tidak dapat dipungkiri lagi, Arthur akan sangat senang andai dirinya dapat bertemu Alika.
Bukan hanya Agatha saja yang menantikan seorang anak, tetapi Arthur sama menantikannya juga. Terlebih seorang anak perempuan. Sejak lama Arthur memimpikan ingin menggendong serta bermain dengan putri kecilnya.
Namun, semua mimpi itu seakan sirna, hanya karena kecemasan dan keegoisan semata.
"Aku memberi nama dia Alika, seperti yang dulu kau katakan padaku, Arthur."
Nama Alika telah disiapkan oleh Arthur, sebelum bayi itu lahir. Arthur sendiri yang mencari nama tersebut.
Memikirkan hal tersebut membuat Agatha tersenyum, untuk sesaat dia seolah melupakan rasa sakit yang telah Arthur berikan.
Namun, senyuman itu terus memudar, seiring dengan ingatannya ketika Arthur, mengatakan ingin membunuh anaknya. Hal yang tidak dapat Agatha maafkan sampai detik ini.
***
Di Planet Airraksa. Berdiri sebuah kerajaan Megah yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Arthur.
Pria yang usianya sudah lebih dari lima ratus tahun itu, saat ini tengah berduka atas kepergian Agatha, serta anak yang ada di dalam kandungannya.
"Maaf, Yang Mulia. Raja Orion telah siap dengan enam puluh ribu pasukannya. Mereka saat ini telah berada di jarak seratus meter dari kerajaan ini," lapor salah satu prajurit, dengan tubuh yang bergetar.
"Apa, enam puluh ribu pasukan?"
Arthur yang mendengar itu langsung terkejut. Duka atas kepergian Agatha, seketika itu juga menghilang dan berganti kewaspadaan.
"Benar Yang Mulia. Saat ini enam puluh ribu pasukan itu telah mengepung kerajaan dari segala sisi, dan Raja Orion sendiri yang berada di barisan terdepan," lanjut prajurit itu memberi laporan.
Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap Arthur secara langsung. Sementara Arthur, merasa darahnya saat ini mendidih. Tindakan yang Raja Orion tunjukkan sekarang sangat tidak terpuji.
Arthur mengepalkan kedua tangannya, dari sana dia menciptakan bongkahan es dan seketika itu juga, hancur berkeping keping.
Prajurit yang melihat kejadian itu, menutup mulutnya rapat-rapat. Di planet Airraksa, dan tiga kerajaan tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan Arthur, kecuali Orion.
Saat ini baru saja Arthur mengalami kekalahan dari istrinya sendiri. Namun, tidak ada yang tahu hal tersebut. Pertarungan itu terjadi secara tertutup, tidak ada saksi mata yang melihatnya.
Prajurit itu melihat sekitar, benda-benda yang ada di ruangan tersebut hancur dan berantakan, menandakan Raja-nya itu baru saja bertarung.
Dia juga tidak bisa menemukan keberadaan Agatha. Selama ini, wanita itu tidak pernah meninggalkan Arthur. Agatha selalu berada di sisi suaminya itu setiap saat.
Prajurit itu berpikir, telah terjadi sesuatu antara Arthur dengan Agatha yang membuat ruangan tersebut, terlihat seperti gudang.
Namun, dia tidak bisa bertanya lebih jauh pada Arthur, penyebab dari pertengkaran itu, atau nyawanya menjadi taruhan.
"Kalau begitu segera perintahkan pasukan elit untuk segera bersiap. Aku sendiri yang akan memimpin mereka. Jika Orion berada di barisan terdepan, maka aku yang akan bertarung dengannya secara langsung!" seru Arthur, pada prajurit-nya itu.
Pria yang memakai zirah besi dan membawa tombak itu, segera menganggukan kepalanya. "Baik Yang Mulia."
Setelah itu dia segera memberi hormat, dan buru-buru pergi dari ruangan tersebut. Arthur merapatkan giginya. "Aku harus segera memulihkan tenagaku, atau Orion akan mengalahkanku nanti."
Dia mengibaskan jubahnya. Langkahnya begitu gagah ketika meninggalkan ruangan. Dadanya membusung, serta tatapannya dipenuhi oleh kemarahan.
Arthur menyadari, perang ini tidak akan terelakkan lagi. Itu sebabnya, dia harus sesegera mungkin memulihkan kondisinya, serta mengembalikan staminanya, agar pertarungannya dengan Orion berimbang.