Tentu saja Miranti menyambut permintaan tersebut dengan senang hati, karena ia juga menginginkan sebuah prosesi pernikahan yang bisa terlihat sesempurna mungkin. Dengan pemberian restu dari orangtua Indra, hal itu akan berarti jika biduk rumah-tangga mereka adalah suatu hal yang tidak akan diragukan keabsahannya.
Wanita itu bahkan menegaskan, dirinya juga bersedia melakukan upacara pernikahan sederhana di desa sang calon suami. Mengingat bila sang Ibu memang belum sepenuhnya pulih dari tindakan operasi atas penyakitnya, Indra pun menyetujui ide tersebut. Widuri yang memang belum terlalu kuat untuk menjalani aktifitas berat, tentunya telah menjadi sebuah pertimbangan yang utama bagi si anak lelaki.
Setelah menyepakati beberapa detil terkait rencana pernikahan dadakan itu, Indra pun segera mendahului pulang ke rumah sang ibu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Namun satu hal paling penting yang menjadi misi Indra saat menemui orangtuanya nanti, adalah untuk meminta ijin dan memohonkan doa restu bagi pernikahannya sendiri.
***
"Kamu pulang, Nak? Apa kabar? Lho, apa kamu ndak bekerja?" tanya sang ibu, begitu anak lelakinya pulang dan menemui dirinya yang sedang sendiri di dalam kamar.
"Kabar baik, Bu … apakah Ibu sehat? Aku dapat cuti, he he … kangen sama Ibu," jawab sang anak sembari mencium tangan ibunya, lalu memeluk tubuh kurus wanita yang sangat ia cinta dan hormati.
"Waduh, kamu ini … udah besar kok masih saja 'kemanthil-kanthil' sama simboknya. Eh, apa ndak dimarahi bos kamu? Waktu itu kan kamu sudah banyak ambil cuti untuk menunggui ibu di rumah sakit," tegur sang ibu pada anak lelaki kebanggaannya.
"Endak to, Buk. He he, bos aku itu baik, kok … makanya waktu aku bilang kangen sama Ibu, dia langsung saja kasih ijin cuti." Sambil tertawa iseng, Indra mengatakan hal yang langsung saja membuat ibunya tertawa.
"Ha-ha-ha … halah-halah. Mana ada, to … Bos yang seperti itu? kamu ini, senengnya ngarang saja buat nyenengin hati ibu."
"Woo, ibu kok ndak percaya? Beneran ini, aku memang cuti. Coba nanti kalau ibu sudah aku ajak jalan-jalan pakai mobil, pasti baru percaya. Aku ini minta cuti malah dipinjemin mobil buat ngajak ibu jalan-jalan," untuk meyakinkan ibunya, langsung saja Indra memamerkan bila dia pulang dengan penuh gaya.
"We lha, gaya kamu ini. Beneran dapat cuti, to? Tapi hati-hati lho, Nak … kamu itu kerja ikut orang. Kalau sudah dipercaya dan memiliki bos yang baik seperti itu, janganlah kamu menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan," tak pernah juga lupa, langsung saja nasehat keluar dari bibir wanita setengah baya yang masih cantik itu.
"Iya, Buk … tentu saja aku tak akan pernah berbuat tidak baik, pada orang yang sudah banyak membantu kita."
"Betul, Nak … harus seperti itu. Bukankah majikanmu juga yang meminjamkan uang untuk biaya operasi ibu?"
"Benar, Bu … beliau orang baik, hingga mau membantu semua kesusahanku. Termasuk juga meminjami uang SPP semester depan, agar aku bisa menyelesaikan kuliah," sahut Indra menambahkan.
"Kasihan kamu, Nak. Beasiswa kamu ditangguhkan, karena nilai yang kurang baik gara-gara ndak fokus kuliah. Ibu sakit, kuliahmu jadi berantakan akibat terlalu repot mengurusi ini-itu."
Sembari mengucapkan hal itu, Widuri mengelus kepala anak lelakinya. Tanpa kentara, dengan perlahan ia juga mengusap mata yang serentak berkaca-kaca saat mengingat betapa berat beban yang harus ditanggung oleh anaknya.
"Sshh … Ibu jangan menangis. Aku bisa melewati semua itu, kok. Walaupun selama ini aku bekerja sambil kuliah, tetap saja prestasi keduanya bagus. Masalah sakit Ibu, bukankah itu menjadi tanggungjawab anak lelakinya? Jangan sedih, Bu … karena apa yang kita jalani ini, pastilah tidak akan sia-sia di hari depan nanti. Kuliahku tidak berantakan, hanya tertunda saja untuk sementara."
"Tapi, sekarang kuliahmu jadi terbengkalai. Dan kamu malah harus bekerja keras untuk membayar semua hutang itu. Puluhan juta biaya operasi, itu tidaklah sedikit. Apalagi kalau ditambah hutang sebesar 14 juta lagi untuk bayar SPP. Wah, mau berapa tahun kau lunasi itu?"
"He he he … ibu tenang saja, Bos aku itu baik. Dia bahkan sudah merelakan semua yang diberikan untuk itu, walaupun aku sendiri memang sudah berniat untuk mengembalikannya. Tapi entah bagaimanapun caranya, pada suatu saat nanti pastilah akan lunas tanpa meninggalkan utang lagi." Dengan tenang dan penuh sikap dewasa, pemuda itu kembali menghibur sang ibu.
"Benarkah janjimu itu? ah, ibu jadi lega bila kau berpikir demikian." Mendengar jawaban sang anak, Widuri menjadi semakin terharu seiring rasa lega yang merayapi dadanya.
---
Setelah banyak bercerita tentang apapun, kedua orang ibu dan anak itu segera bersiap menunggu si anak bungsu untuk mengajaknya makan siang ke sebuah rumah makan. Namun selagi adik perempuan Indra belum pulang dari sekolah, si pemuda pun memanfaatkan waktu tersebut untuk membahas sesuatu yang mungkin akan mengejutkan ibunya.
"Ibu udah lega? nggak sedih lagi?" demikian tanya sang anak, setelah melihat sang ibu banyak tertawa mendengar ceritanya.
"Ah, iya … ibu lega dan jadi nggak susah lagi. Semua itu, karena ibu percaya pada si anak laki-laki yang tak pernah mengecewakan hati ibunya," nampak tersenyum dalam rasa bahagia bertabur haru, Widuri mengucapkan kata-katanya sembari mengelus si anak sulung.
"Pasti aku tak akan mengecewakan ibu. Dan kalau ibu memang sudah merasa lega, aku ingin menyampaikan satu hal penting sebelum Putri datang."
"Ada kabar apakah, hingga adikmu tak boleh mendengar?"
"Anu, Bu boleh tahu, kok. Hanya saja setelah aku ngomong sama ibu. Uh, sebenarnya …" meskipun sudah menyiapkan diri untuk hal itu, tak urung Indra tetap saja merasa ragu untuk menyampaikannya.
"Katakan saja, Nak … bukankah semenjak kecil tak pernah ada rahasia apapun di rumah ini? kenapa sekarang kamu jadi ragu?" merasa ada sesuatu yang sedikit janggal, Widuri langsung saja menegur anaknya.
Sepertinya, kebahagiaan Widuri jadi sedikit terganggu setelah melihat sikap sang anak yang tak biasa. Terlebih lagi, ia jadi langung kepikiran kembali pada hutang sang anak yang pasti sudah menggunung jumlahnya.
"Bukan rahasia, Bu … hanya saja, rasanya aku jadi ndak enak sama ibu," demikian akhirnya Indra bisa menjawab.
"Loh, kenapa juga ndak enak sama ibumu sendiri? Kalau kamu tidak salah, jangan pernah merasa seperti itu. Ayo, jujur saja katakan ada apa …" kembali menjadi sosok ibu yang tegas, Widuri langsung saja menegur kembali.
"Iya, Bu … aku ndak salah, kok. Hanya saja takut kalau ibu jadi kepikiran. Padahal, hal itu sudah aku pertimbangkan dengan masak-masak."
"Ya sudah, bicaralah. Bila sudah menimbang dengan matang, ibu percaya jika kamu juga sudah membuat keputusan yang terbaik."
"Iya, Buk … "
"Jadi, katakanlah!" tuntut Widuri dengan tegas.
"Baik, Bu. Begini …"
---
Indra pun menceritakan niatnya untuk menikah. Tanpa mengatakan hal apapun yang menjadi latar belakang rencana dadakan tersebut, si pemuda hanya memohon ijin serta doa restu bagi kehidupan baru yang hendak ia jalani.
Begitu mendengar kata-kata yang diucapkan oleh sang anak dalam suara lirih dan tersendat, Widuri malah jadi terdiam tanpa bisa langsung menanggapi. Dengan perasaan yang bercampur-aduk, ditatapnya wajah Indra yang kini sedang duduk tertunduk disampingnya.
Sebagai seorang ibu yang sangat mengenal pribadi anaknya, ia pun mengerti bahwa apa yang hendak dilakukan oleh anaknya itu bukanlah satu hal yang mudah. Namun meski bagaimanapun, ia juga merasa berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ndra … kamu sudah menghamili anak orang?" tiba-tiba, sang ibu bertanya dengan nada menegur. Karena hal pertama yang terlintas dalam kepalanya, tentu saja sebuah tuduhan pada si anak yang dikiranya sudah melakukan satu hal buruk.
"Ah, enggak Bu … aku tidak pernah menghamili anak siapapun."
"Oh, ibu jadi lega mendengarnya. Lalu, apa yang membuatmu jadi tiba-tiba mengejutkan ibu dengan berita ini?"
"Untuk itu aku minta maaf, Bu."
"Ibu pasti akan selalu memaafkanmu. Tapi yang ibu belum bisa mengerti adalah, apa yang menjadi alasanmu ingin menikah secara mendadak seperti ini? wajar saja kalau ibu jadi mikir jelek, to?"
"Iya, Bu … aku ngerti. Sebenarnya, alasan menikah itu hanya sederhana saja, kok …" mendapatkan peluang berdiskusi yang baik, Indra segera saja memanfaatkan itu untuk meneruskan bicaranya.
"Apa alasan terpentingmu?"
"Uh, anu Buk … untuk menghindari dosa dan juga menolong seseorang."
"Dosa? Dosa apa? Selama ini, ibu bahkan belum pernah mendengar kalau kamu punya pacar," cecar sang ibu yang jadi penasaran dengan alasan yang disampaikan.
"Uh, aku memang belum punya pacar."
"Lalu, siapa yang akan kau nikahi?"
"Calon istri, Bu … Indra memang tidak punya pacar, tapi sudah memiliki calon istri. Indra ingin menghindari dosa, karena selalu bersinggungan dengannya setiap hari. Terlebih, aku juga ingin menolongnya. Dia yatim piatu, dan hanya memiliki seorang adik perempuan tanpa saudara lain di bumi ini."
"Lalu apa yang dapat kau berikan pada wanita itu dengan menikahinya?"
"Tentu saja perlindunganku sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga." Demikian jawab Indra dengan tegas dan mantap.
---
Sang ibu kembali terdiam untuk mencerna semua jawaban yang diberikan oleh anaknya. Meskipun terkesan mengada-ada dan sangat mengejutkan, tetap saja Widuri berusaha untuk berpikir positif mengenai hal yang sangat penting itu.
Tanpa perlu Indra mengatakan secara apa adanya, sang ibu tentulah mengerti bila ada beberapa fakta yang sedang berusaha untuk disembunyikan oleh anak lelakinya. Namun sebagai orang tua bijak yang selalu terbuka dalam hal apapun, hati kecil Widuri mengatakan bila Indra pastilah memiliki sebuah alasan yang sangat baik saat membuat keputusan itu.
Karena sebab itulah juga, sang ibu tak mau memperpanjang alasan lagi. Walau terbersit sebuah penyesalan yang entah apa dalam hatinya, mau tak mau Widuri pun akhirnya menyatakan persetujuan.
"Jika tujuanmu benar adanya, ibu tak akan pernah keberatan untuk memberi restu padamu," demikian ujar sang ibu. Kemudian wanita itupun kembali berucap,
"namun begitu, aku akan menekankan beberapa perkara untuk kau ingat selama hidupmu," sambung Widuri kembali untuk memberikan batasan yang tegas bagi Indra Perkasa.
"Saya siap mendengar dan melaksanakannya, Bu …"
"Jika kau yakin bahwa ini merupakan keputusan yang terbaik, ibu minta agar kau dapat senantiasa mencintai dan dan menyayangi istrimu. Dan lebih dari itu, hormati juga dia dan setiap wanita yang ada di bumi ini."
"Iya, Bu … saya mendengar dan mengerti." Sela sang anak sembari terus menyimak.
"Sebab, wanita itu merupakan perlambang kecantikan yang akan mampu merubah kerasnya kehidupan. Dimana, umat manusia berhak untuk mendapatkan rasa kasih seperti yang ada di dalam hati setiap wanita manapun." Sang ibu pun menyambung ucapan.
"Saya akan mengingat selalu hal itu, Bu …"
"Baiklah, ibu percaya padamu. Jika begitu, kapan akan kau bawa calon menantuku ke sini untuk diperkenalkan?"
***
Lamunan Indra, mendadak saja jadi terganggu saat mendengar sebuah pekik suara yang cukup keras dari arah kamar mandi. Meskipun hanya singkat, namun hal itu sudah langsung saja mengalihkan perhatian sang pemuda ke arah asal suara.
Sebenarnya, sudah semenjak tadi ia memilih untuk duduk dengan membelakangi arah kamar mandi yang ada di dalam ruangan tersebut. Bahkan saat terdengar suara bersenandung dari dalamnya, pun ia mengabaikan dan tetap tak mau teralihkan dari lamunannya. Namun begitu dikagetkan oleh suara memekik yang seperti mencari pertolongan itu, dengan serta merta Indra telah saja bangkit dan berlari menuju pintu kamar mandi.
Tapi dengan tiba-tiba saja, si pemuda langsung menghentikan langkahnya. Karena saat ia berhadapan dengan pintu besar yang memendarkan cahaya terang dari dalamnya, seketika saja ia jadi tertegun dengan apa yang kini tengah terpampang di depan mata.
Pintu kaca yang menutupi ruang pribadi tersebut, dengan jelasnya telah saja memperlihatkan sesosok tubuh sedemikian indah dalam lekuk sempurna yang melumpuhkan kekuatannya. Walaupun buram, kaca tersebut tetaplah mampu memantulkan bayangan yang ada dibaliknya dengan sangat detil.
Dan keseluruhan bentuk tubuh sempurna yang sedemikian indah itu, dengan kuatnya telah saja membetot sukma sang pemuda hingga terasa melayang begitu jauh.
***