Chereads / Bestfriend With Too Much Benefits / Chapter 2 - Chapter 2 : You never see my worth

Chapter 2 - Chapter 2 : You never see my worth

Jeffrey telah sampai di restoran yang dikirimkan alamatnya oleh sang Ibu. Begitu sampai di ruang VIP, Ia hanya menemukan seorang perempuan duduk di tengah meja yang kosong.

Kedua orang tuanya sudah pulang begitu juga dengan kedua orang perempuan yang sedang menatapnya dingin.

"Aku tau kamu gak mau menikah dengan sama aku dan aku tidak masalah, setidaknya kamu menghargai orang tua aku yang sudah menyempatkan waktu sibuk mereka untuk bertemu denganmu" ujar perempuan tersebut.

"Sorry…" ucap Jeffrey masih berdiri di tempat. "Kamu sudah makan malam?" Perempuan tersebut bertanya. Jeffrey menganggukan kepalanya. "Gue udah makan malam, Gue antar lo pupang aja" ucap Jeffrey.

"Aku ingin pesan dessert, duduklah temani aku" ujarnya dan Jeffrey menurut. Ia mengambil kursi berhadapan dengan perempuan dengan aura dingin dan klasik itu.

"Bagaimana kedua orang tua gue tadi? Mereka marah?" Jeffrey bertanya. Tapi pertanyaannya itu tidak dihiraukan oleh perempuan yang sedang melihat buku menu. Ia berbicara pada pelayan menyebutkan pesanannya setelah itu kembali menatap Jeffrey.

"Aku memesan teh chamomile untukmu" ucap perempuan tersebut setelah pesanan kuenya dan teh Jeffrey datang. "Kamu masih suka kan? Aku masih ingat bahkan dari kecil kamu udah suka teh chamomile"

"Gue tanya tentang orang tua gue" ucap Jeffrey sedikit mengeluarkan nada kesal di dalam kalimatnya.

"Mereka tidak menunjukan kemarahan mereka di depan aku ataupun orang tuaku, tapi aku yakin mereka akan sangat marah padamu terlebih ayahmu, ekspresi marahnya tidak bisa disembunyikan" mendengar penjelasannya, Jeffrey hanya mengangguk lemas. Ia tahu ayahnya adalah orang yang paling marah ketika Jeffrey mengingkari janji makan malam.

"Kamu memiliki kekasih?" Dia bertanya.

"Gue mau putusin dia besok" balas Jeffrey.

"Lalu besok kamu baru akan menyetujui perjodohan ini?"

"Clarissa, gue bukan gak suka sama lo, tapi gue gak suka orang tua gue mengatur seluruh kehidupan gue. Cukup dengan karir kerja gue, gue gak mau mereka juga ikut campur dalam kehidupan percintaan gue" ucap Jeffrey kemudian menyesap teh yang dipesan perempuan bernama Clarissa dari keluarga Haris. Salah seorang konglomerat dengan bisnis yang bergerak di bidang usaha property.

"Jadi, kalau bukan karena perjodohan kamu akan menyukaiku dan menikahiku?"

"Gue balas tanya sama lo. Apa lo suka sama gue?"

"Eum, aku menyukaimu sejak dulu, kamu baik padaku, saat sekolah dulu kamu melindungiku dari anak laki-laki yang suka membully aku, kamu bilang kamu menyukai aku dulu dan kamu ingin menikahi aku" ucap Clarissa.

"Lo bisa mencintai gue saat kita menikah nanti?"

"Kita bisa mencoba saling mencintai"

"Gue gak mau mencoba." Kalimat itu terdengar sangat tegas dari mulut Jeffrey. Clarissa ingin menyerah mendengarnya, tapi memulai juga belum kan?.

"Kamu sedang mencintai seseorang?"

"Tidak"

Clarissa meletakkan garpu di atas piring hingga menyebabkan bunyi denting di ruangan.

"Terserah kamu saja deh, Mau atau Nggak, kita bakal ketemu" ucap Clarissa beranjak dari kursinya. Ia berjalan melangkahkan menuju pintu keluar ruangan. Ketika melewati kursi Jeffrey, langkah Clarissa tertahan oleh tangan Jeffrey yang meraih pergelangan tangannya.

"Kita berteman, lo teman pertama gue saat pertama kali gue pindah ke Indonsia dari amerika. Gue kangen sama lo sebagai teman, tapi gue gak yakin dengan pernikahan. Gue gak mau melukai lo karena buat gue pernikahan hanya akan membuat kita saling menyakiti" ucap Jeffrey beranjak dari kursinya, tangannya masih bertahan memegang pergelangan tangan Clarissa.

"Jadi apa maksud kamu?" Clarissa menghadapkan tubuhnya pada Jeffrey.

"Kita bisa berteman, katakan pada orang tua kita dengan berteman kita juga tetap bisa menjalin hubungan antar perusahaan" ucap Jeffrey.

"Itu keinginan orang tuaku, menjalin hubungan perusahaan dengan menjadi keluarga, tapi yang aku mau itu kamu" ucap Clarissa.

"Lo akan menemukan pria lain yang lebih baik untuk menjadi suami lo dan itu bukan gue"

Clarissa meraih tangannya dari genggaman Jeffrey. Dia sudah malas mendengar omong kosong Jeffrey. Dia tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Jeffrey.

"Kita lupakan perjodohan, Gue beneran kangen sama lo, gue berpikir lo gak akan balik lagi setelah pindah ke Jepang 15 tahun lalu" ucap Jeffrey meraih Clarissa untuk ia berikan pelukan. "Lo semakin dewasa semakin cantik"

Clarissa tidak menolak pelukan Jeffrey, Ia hanya terdiam di tempat membiarkan Jeffrey memeluknya. Jujur saja mendapat pujian dan pelukan dari Jeffrey membuat mood yang buruk tadi menjadi lebih baik. Terlebih saat ini Jeffrey bukan bocah SMP lagi, suaranya semakin rendah dan lembut sangat tenang begitu masuk ke dalam telinga.

"Gue antar lo pulang ya?" ucap Jeffrey melepas pelukannya.

"Iya, Makasih" ucap Clarissa menerima ajakan Jeffrey.

Setelah mengantar Clarissa ke rumahnya, Jeffrey langsung pulang ke rumah. Ia tidak mungkin pergi ke club karena kedua orang tuanya sudah menyuruhnya pulang. Ketika ayahnya sudah menelepon Jeffrey maka saat itu ayahnya sudah benar-benar marah.

Jeffrey menemui kedua orang tuanya yang berada di ruang keluarga. Keduanya sedang duduk di sofa menunggu Jeffrey.

"Papa, Mama..tolong batalkan perjodohan, Saya tidak bisa menikah dengan Clarissa" ucap Jeffrey langsung ketika sudah berhadapan dengan kedua orang tuanya.

"Apa katamu?!" Ayahnya sudah mengepalkan tangan dan siap untuk marah.

"Jeffrey, sayang duduk dulu kita bicara baik-baik" ucap Hana dengan lembut. Jeffrey pun menuruti dan memilih sofa berhadapan dengan kedua orang tuanya.

"Kenapa kamu ingin membatalkan perjodohan dengan Clarissa? Mama pikir kamu suka sayang dengan perjodohan ini" ucap Hana lagi.

"Ma, aku tidak bisa menikah dengan Clarissa. Aku tahu Clarissa memang perempuan yang baik dan pintar, tapi aku tidak bisa menyakitinya..aku masih ingin bebas dan menikmati dunia luar, jika aku menikah dan tetap melakukannya Clarissa akan tersakiti lalu—-" ucapan Jeffrey terhenti ketika ayahnya sudah berdiri dan—

—Plaakk!

Tamparan keras di pipi Jeffrey meninggalkan suara ringis. Jeffrey hanya bisa diam sambil menahan rasa perih di pipinya yang sudah memerah. Ini bukan pertama kalinya mendapatkan tamparan dari sang Ayah. Sejak dulu Jeffrey sudah sering mendapatkannya dan sekarang dia seperti tidak peduli lagi dengan kekerasan yang dilakukan Jeremy, Ayahnya.

"Saya sudah menuruti keinginan Papa untuk melanjutkan bisnis Papa, sekarang biarkan saya bebas memilih apa yang saya inginkan" ucap Jeffrey.

"Saya sudah memberikanmu kebebasan. Tapi kebebasan itu justru membawa kamu ke jalan yang salah!! Kamu masih bermain di luar sana mempermalukan nama keluarga saja! Semua pekerjaan di kantor pun kamu masih lalai dan membiarkan kakakmu yang mengurusnya! Itu yang kau maksud menuruti apa yang saya inginkan?"

Jeffrey terdiam dengan kepala yang tertunduk. Jika ditanya siapa orang yang paling ditakuti maka jawabannya adalah ayahnya. Sejak kecil Jeremy menuntut Jeffrey, putra yang akan meneruskan bisnisnya menjadi seseorang yang sempurna dalam segala hal.

"Tidak perlu memikirkan tentang percintaan, kamu tidak akan mengerti dengan sikapmu itu. Jangan sampai membuat saya menyerah mengurusmu dan cobalah untuk menjadi anak yang berguna" ucap Jeremy melangkahkan kaki. Kalimat akhir dari ayahnya itu berhasil menyayat hati seorang Jeffrey yang terus berusaha cuek pada apa yang dikatakan ayahnya. Tapi kali ini dia benar-benar merasakan sakit di hatinya. Apa dia itu sangat tidak berguna ? itu yang ada dibenaknya saat ini.

"Kamu tidak bisa menolak perjodohan ini bagaimana pun. Kecuali kamu bisa membawa perempuan yang ingin kamu nikahi dan kamu cintai" lanjut Jeremy sebelum benar-benar pergi meninggalkan Jeffrey di ruang tamu. Hana melangkahkan kakinya menghampiri sang anak.

"Jeff, Mama ambil kompres ya untuk pipi kamu" ucap Hana menyentuh pipi anaknya. Mendengar suara Ibunya yang khawatir membuat mata Jeffrey memanas. Ia tidak tega melihat Ibunya selalu berada di antara pertengkaran dirinya dan sang Ayah. Tetapi, ia tidak bisa diam saja kepada Ayahnya yang selalu banyak mengatur.

"Gak apa, aku obati sendiri nanti..Mama pasti capek, istirahat saja..aku akan tidur di apartemen" ucap Jeffrey tersenyum tipis pada Ibunya. Setelah itu dia melangkahkan kaki keluar dari rumah. Ketika ingin membuka pintu rumahnya yang menjulang tinggi, Ia bertemu dengan seorang pria yang masuk.

"Jeffrey, lo mau kemana?" tanya pria tersebut. Jeffrey tidak menghiraukannya dan tetap berjalan.

"Gue tanya sama lo, mau kemana..? Gue udah dengar tadi lo gak datang di acara makan malam. Kenapa?" Pria tersebut menahan lengan Jeffrey untuk menghentikan langkah.

"Bukan urusan lo, Dion" ucap Jeffrey mendorong pria pemilik nama Dion itu.

"Gue abang lo, panggil gue abang jangan asal nama kayak gitu" ucap Dion berusaha untuk tenang menghadapi adiknya yang tidak pernah suka dengannya sejak awal tinggal bersama dua puluh tahun lalu.

"Iya, Abang tiri yang lagi berusaha ngambil posisi gue!" Teriak Jeffrey dengan amarahnya, Ia melangkah maju ke Dion, tangannya sudah mencengkram kemeja yang dikenakan oleh Dion.

"Gue gak pernah mau ambil posisi lo" ucap Dion melepaskan tangan Jeffrey dari kerah kemejanya.

"Basi lo!"

"Lo gak usah pura-pura gak mau dijodohin, dari dulu lo nungguin dia pulang. Lo selalu nanyain kabar dia. Gue tau lo suka sama dia dari dulu. Ada kesempatan kaya gini harusnya lo meyakinkan Clarissa" ucap Dion dengan nada yang tenang. Ia rapihkan kemeja yang kusut akibat cengkraman Jeffrey.

"Gue gak butuh saran dari lo! Dan lo gak usah sok paling tau perasaan gue! Gue gak pernah suka sama Clarissa! Atau mungkin itu lo" Jeffrey kembali berkata, emosinya masih menggebu. Dion memperhatikan adanya luka di pipi Jeffrey. Ayah mereka kembali melakukannya.

"Iya, gue suka sama dia. Seharusnya lo bisa bilang dengan lantang kaya gitu.. gengsi lo terlalu besar buat jujur"

"Terserah" balas Jeffrey melanjutkan langkahnya keluar. Ia mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang. Siapa lagi kalau bukan Zoey.

"Aretta, gue pulang ke apartemen, supir gue sudah gue suruh buat jemput lo—pulang sekarang!" ucap Jeffrey setelah itu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Jeffrey pun masuk ke dalam mobil sport hitamnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.