Chereads / Jika Takdir Berkehendak / Chapter 10 - Merasa Bosan

Chapter 10 - Merasa Bosan

Sore hari adalah waktu kosong untuk semua anggota BEM, mereka bisa bersantai sambil menikmati pemandangan yang indah dengan suasana sejuk. Tidak ada panas terik seperti di kota, ataupun berisik kendaraan di jalan raya menambah ketenangan yang ada.

Fatimah, gadis itu melirik kembali pada Putri yang tertidur di atas ranjang. Karna tidak ingin mengganggu, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar. Fatimah merasa bosa berada di kamar saat itu, ia ingin berkeliling untuk mencari udara segar dan juga melihat pemandangan.

Setelah keluar dari rumah singgah, Fatimah melangkah menuju persawahan yang ada di desa itu. Di kota hampir tidak ada lagi sawah seperti di sana, saat melihatnya siang tadi Fatimah jadi ingin mengunjunginya lagi. Ia ingin menikmati udara persawahan secara pribadi, lalu ia berlama-lama di sana sambil bersantai.

Beruntungnya, di dekat sawah itu ada warung. Tempat dimana Fatimah membeli gorengan siang tadi, karna tidak mungkin terus berdiri akhirnya Fatimah kembali mampir ke warung itu. Fatimah pun memesan susu hangat, dan beberapa roti. Setelah menunggu, akhirnya pesanan Fatimah pun tiba.

"Punten, ini neng minumannya." Ucap si penjaga warung sambil menaruh segelas susu hangat di atas meja yang berada di hadapan Fatimah.

"Iya bu, terima kasih." Balas Fatimah dengan senyumnya.

"Sama-sama atuh neng, ini rotinya." Jawab penjaga warung itu, lalu ia mengambil sekeranjang roti dari warungnya dan di taruh di hadapan Fatimah.

"Iya bu, sekali lagi terima kasih." Ucap Fatimah lagi.

"Sama-sama, ya udah atuh neng silahkan dinikmati. Saya permisi dulu, punten." Balas penjaga warung itu sambil pamit pada Fatimah.

Fatimah mengangguk setuju, lalu setelah itu ia menikmati suasana pedesaan yang benar-benar nyaman sekali. Rasanya seperti refreshing singkat, namun sangat nikmat dan tetap memuaskan untuk seorang Fatimah.

Di sisi lain Putri masih terlelap dalam tidurnya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Tapi sepertinya ia begitu kelelahan, sampai tidak menyadari adzan ashar sudah berkumandang sejak setengah jam yang lalu.

Hal yang sama juga terjadi di rumah singgah para pria, mereka semua tertidur setelah puas menikmati makan siang di rumah kepala desa. Bahkan Ali pun sama, dan ia sangat terkejut saat terbangun dari tidurnya jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 4 sore. Dengan wajah shock ia bangkit, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan juga berwudhu. Selesai dengan semua ritual, Ali mengganti pakaian dengan pakaian solat lalu ia melaksanakan kewajibannya.

Beberapa menit kemudian, Ali selesai dengan ibadahnya. Tepat saat itu, Aziz pun bangun dari tidurnya. Ia menatap aneh pada Ali yang memakai kokoh dan sarung, lalu ia bertanya pada Ali.

"Sudah jam berapa Li?" Tanya Aziz masih dengan wajah bantalnya dan mata yang terpejam.

"Jam setengah 5, solat dulu sana." Jawab Ali dengan santainya.

Mendengar jawaban Ali, Aziz pun membuka matanya dengan lebar lalu ia bangkit dengan wajah shock.

"Jam setengah 5, kok bisa? Gw mandi dulu deh." Ucap Aziz, lalu ia mengambil handuk dan berjalan cepat ke arah kamar mandi.

Ali geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya itu, wajahnya terlihat shock tapi nada suaranya begitu santai. Benar-benar tidak sesuai, entah apa yang ia rasakan sebenarnya. Setelah berganti pakaian dengan pakaian santai, Ali melangkah keluar dari rumah singgah.

Sebenarnya Ali ingin berjalan-jalan, tapi ia tidak tau harus kemana. Apalagi ini di desa yang baru pertama kali ia datangi, jika ia salah jalan tentu akan tersesat. Tapi diam saja juga tidak akan menarik, apalagi Ali itu suka melihat hal-hal yang berbeda.

Akhirnya Ali memutuskan untuk berkeliling kampung seperti biasa, lagi-lagi ia tidak pamit pada siapapun terutama pada Aziz. Dengan langkah santai Ali menyusuri jalan desa, lalu ia melihat-lihat pemandangan yang tersaji dan tersenyum. Setelah itu ia melanjutkan langkahnya, sampai di area perkebunan memang tempat itu cukup sepi. Tapi tiba-tiba, Ali melihat ada seorang gadis yang di ganggu oleh beberapa pemuda kampung sana. Melihat gadis itu kesulitan, Ali pun membantunya.

.

.

.

Fatimah menghabiskan sisa susu yang ada di gelas, lalu setelah itu ia pun membayar harga minuman dan makanan yang sudah ia habiskan. Setelah membayar, Fatimah pun pamit dan melangkah pulang ke arah rumah singgah. Ia juga belum melaksanakan solat ashar, mengingat ia masih di warung saat adzan Ashar berkumandang.

Akhirnya Fatimah mempercepat langkahnya, lalu ia melewati pertigaan jalan ke arah perkebunan. Tanpa di duga ada sekelompok pemuda berjumlah 3 orang yang sedang mengobrol di sana, mereka juga bercanda tanpa rasa malu. Fatimah bingung harus bagaimana, jika lewat ia takut pemuda-pemuda itu akan mengikutinya. Tapi jika tidak lewat, bagaimana dengan solatnya? Pasti tertinggal.

Setelah perdebatan panjang antara hati dan pikiran, akhirnya Fatimah memutuskan untuk melewati kelompok pemuda itu dengan sopan. Ia pun berharap tidak ada masalah apapun yang terjadi nanti, walaupun ia ragu dengan hal itu. Fatimah melangkah melewati kelompok pemuda itu, sambil mengucapkan kata permisi.

"Permisi." Ucap Fatimah dengan jelas namun dingin.

Fatimah jalan dengan langkah cepat, lalu tiba-tiba ia mendengar salah satu dari pria itu menggodanya. Namun Fatimah pura-pura tidak dengar, ia tetap melanjutkan jalannya hingga akhirnya pemuda-pemuda itu mengejar Fatimah dan mendekatinya.

"Tunggu atuh neng, ih cepat sekali jalannya." Keluh salah satu pemuda.

Fatimah menatap tidak suka pada ketiga pemuda itu, lalu ia pun memberanikan diri untuk melawannya.

"Permisi, saya mau lewat!" Ucap Fatimah masih dengan tata kramanya.

"Sombong sekali, mentang-mentang anak kota." Tukas salah seorang di antara 3 pemuda itu.

"Saya tidak sombong, saya sudah katakan dengan bahasa yang baik tapi kalian yang pura-pura tidak paham." Jawab Fatimah dengan kesal.

"Duh, kalau marah makin geulis pisan." Puji seorang pemuda lainnya.

"Ari kamu sepemikiran sama saya, dia emang cantik parah." Sambung yang lainnya.

"Menjauh dari saya, atau saya teriak ya?" Ancam Fatimah pada ketiga pemuda itu.

Mendengar ancaman Fatimah ketiga pemuda itu saling melirik, lalu mereka pun tertawa bersama.

"Ya ampun neng, kamu itu terlalu polos. Lihat sekeliling kamu! Semua kebun, mana ada orang yang dengar si sini neng?" Ejek pemuda yang memakai hoodie.

Diam-diam Fatimah melirik sekitarnya, memang benar jika di sana hanya ada kebun yang menutup penglihatan. Selain dari jalan setapak itu, orang-orang tidak akan melihat apapun selain tanaman-tanaman seperti singkong , teh, kopi, dan lain sebagainya.

"Terserah, saya mau pulang." Balas Fatimah asal, lalu ia mencoba melewati pemuda itu dan tidak berhasil yang ada malah dirinya yang tertangkap.

"Lepasin tangan saya!" Titah Fatimah pada pemuda yang menggenggam tangannya.