Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Dives

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉcarmellocandor
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.2k
Views
Synopsis
Dunia menjadi jungkir balik. Tasya Eleanor mendapati dirinya berada di tengah kerumunan manusia yang panik ketika jalan yang mereka pijaki mulai terbelah, dan langit yang tampak seperti akan pecah. Tasya tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi. Atau tepatnya, hanya dia yang tahu apa yang sedang - dan akan terjadi. Ini bukanlah mimpi atau ilusi. Melainkan alur pembuka dari cerita yang ditulisnya sendiri.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - The Last Chapter

Hari ke tiga ribu enam ratus lima puluh.

Bumi hampir hancur. Daratan sangat kosong, tidak ada manusia โ€” sebagian sudah dipindahkan dan sisanya pasti mati. Sementara langit tampak pecah, membiarkan semacam pendar hitam memancar masuk memenuhi langit yang bewarna kemerahan seperti darah.

Atau mungkin itu memang darah.

Karena tidak ada yang dapat menghitung ada berapa banyak nyawa yang lenyap dalam waktu satu hari โ€” atau bahkan, jam.

Dan semuanya pasti meninggalkan darah. Dan makhluk-makhluk menyeramkan itu sudah hampir menguasai seluruh tempat.

Tidak ada tempat yang aman โ€” itu juga termasuk tempat mereka mengungsikan para penduduk bumi.

"Inkarnasi Capricorn."

Laki-laki berperawakan tinggi dengan jubah cokelat berbulu yang menjuntai hingga mata kaki, menoleh pada asal suara perempuan yang memanggilnya dari belakang.

Wanita dengan rambut hitam panjang itu menatap khawatir pada pemuda tadi. Di belakangnya ada lima perempuan lain beserta empat laki-laki yang turut menatap gusar.

Mereka 'lah inkarnasi dari masing-masing rasi bintang.

"Apa rencana kita selanjutnya?" Salah satu perempuan bernetra cokelat disana membuka suara. Pertanyaan yang mewakilkan isi pikiran mereka semua.

Laki-laki yang pertama tadi menghela napas sambil memejamkan mata โ€” mencoba berpikir jernih, meski ia sedikit tahu kalau itu tidak benar-benar berfungsi.

"Kita harus menemukannya."

Laki-laki lainnya bertanya dengan ragu. "Apa maksudmu, dia?"

"Ya."

"Sial," Cahaya biru muda mengaliri tangan salah seorang laki-laki yang sedari tadi menunduk. "Ada atau tidak adanya dia, tetap saja menyusahkan."

"Ini berbeda dari biasanya," Perempuan dengan pakain dan ornamen serba merah itu akhirnya buka suara โ€” yang mana terdengar lebih rendah dari biasanya.

" ... Kali ini, dia mati."

.

.

" ... Oke ... Lalu?"

Jemariku yang semua sibuk menari di atas keyboard laptop mendadak terhenti. Aku menatap kosong pada beberapa kalimat yang sudah kuketik. Oke ... Lalu apa? Aku membuat salah seorang protagonisnya mati. Lalu?

Ah, benar. Kalian pasti bingung. Aku seharusnya mengawali kisah ini dengan perkenalan diri.

Namaku Tasya Eleanor โ€” dalam artian Yunani, 'Tasya' artinya 'kebangkitan', dan 'Eleanor' adalah 'cahaya'. Ibuku yang memberikan nama penuh makna ini. Katanya, ia berharap agar aku bisa menjadi gadis yang pantang menyerah, dan selalu positif. Selalu bercahaya.

Namun, apa? Berkat nama penuh makna yang diberikan ibuku ini, aku malah menjadi seorang remaja lima belas tahun yang kesepian dan biasa saja. Terlalu biasa saja, hingga mungkin tidak banyak orang di lingkunganku yang menyadari keberadaanku selain sekolah dan toko kebab langgananku di perempatan sebelum jalan raya.

Kedua orangtuaku sudah tiada sejak usiaku sembilan tahun. Dan karena waktu itu aku masih terlalu kecil, bibiku akhirnya mengambil hak untuk mengasuhku.

Tapi, sekali lagi. Aku ditinggalkan.

Saat usiaku dua belas, ia meninggal karena kanker lambung.

Untungnya bibi adalah orang yang sangat baik. Ia menuliskanku sebagai ahli waris atas rumahnya โ€” karena dia melajang, dan orangtuaku dulu tinggal di apartemen yang kini sudah terjual.

Lalu tiga tahun berjalan dengan lambat. Aku mengambil beberapa pekerjaan sampingan untuk memenuhi biaya hidup, di samping identitasku sebagai siswi di Sekolah Menengah Akhir tentunya.

Sial, cukup sampai disini dan lupakan saja. Kisahnya menjadi tidak menarik. Untuk apa juga aku menceritakan masa lalu suram begini.

Jadi, kembali ke topik utama. Hari ini adalah malam Senin, pukul setengah dua belas. Dan aku duduk di meja belajar dengan laptop menyala yang menampilkan sebuah draft cerita โ€” yang 'rencana'nya akan ku-publish hari ini.

Ini adalah bab terakhir dari novelku, 'The Dives', dan semuanya hampir berjalan sesuai rencana awal.

Iya. Hampir.

Karena tiba-tiba saja aku kepikiran untuk membuat sebuah waktu dimana salah seorang protagonisnya mati โ€” ini sejak dua bab terakhir, ngomong-ngomong. Tapi kini, aku sendiri malah menjadi bingung untuk bagian endingnya.

Aku tidak tahu apakah aku salah langkah atau tidak. Pasalnya, karakter yang kubuat mati ini merupakan salah satu protagonis yang paling berperan penting di dalam cerita ini.

Ide mendadak ini mau tidak mau membuatku menghapus beberapa situasi yang seharusnya terjadi โ€” ini jika andai saja tidak ada protagonis yang mati.

Astaga, kenapa aku mesti mengambil alur sesulit ini? Aku mengucek-ucek kedua mataku. Padahal jika aku tetap menggunakan jalan cerita yang pertama, bab terakhir tidak akan berlangsung sesulit ini.

Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin mengabaikan alur cerita dari dua bab yang telah ku-publish begitu saja, bukan? Ayo berpikir, Tasya. Gunakan otak jeniusmu! Jangan hanya berfungsi di saat-saat tertentu saja.

Jika situasinya seperti ini โ€” jika salah seorang karakter utama mati dan masih meninggalkan beberapa tugas yang belum selesai ... Maka yang diperlukan adalah penggantinya.

Pengganti karakter utama.

"Oh, my! Inkarnasi, tentu saja!" sorakku pada diri sendiri. Oke, masalah terpecahkan โ€” padahal sebenarnya itu kembali lagi seperti jalan cerita diatas. Sekarang aku hanya perlu menciptakan karakter lain yang sama pentingnya dengan protagonis yang mati โ€” yang bisa menggantikan tugas si protagonis.

Aku baru saja akan mengetik lagi, sebelum terpikirkan hal lain.

Bukankah tujuanku menciptakan karakter baru sebagai protagonis adalah untuk menggantikan karakter sebelumnya? Protagonis yang mati ini โ€” tidak, aku akan menyebutnya pion saja โ€”ย  memiliki kelas yang sama dengan protagonis-protagonis lainnya.

Jika aku kekeuh membuat karakter baru lagi, artinya 'satu protagonis' ini akan memiliki dua inkarnasi, begitu? Sementara pion lainnya hanya satu inkarnasi?

"Terserah 'lah! Aku mengantuk!"

Ah, sekarang aku mengerti kenapa rasanya lebih sulit untuk fokus menulis. Tentu saja karena aku mengantuk, jika ini pagi hari pasti akan selesai lebih cepat. Aku memutuskan untuk segera menutup laptop dan mematikan lampu kamar.

Dan tentu saja aku langsung jatuh terlelap begitu menyentuh kasur.

...

Di dalam sebuah kamar yang hampir seluruhnya memberikan aksen putih, seorang gadis tampak menggeliat dalam tidurnya. Matanya perlahan terbuka, ia mengedipkannya beberapa kali.

"Hmm ... Jam enam?" gumamnya pada diri sendiri ketika tidak sengaja melihat ke langit luar jendela. Satu tangannya berusaha menggapai nakas di samping ranjangnya, dan menemukan sebuah smartphone ber-casing merah tua. Itu miliknya.

"Ugh, cahayanya terang banget, sih .... " Kelopak matanya otomatis menyipit begitu cahaya dari benda kotak itu terasa menusuk retinanya. Segera, ia melihat ke pojok kanan layarnya.

Namanya Tasya Eleanor, gadis yang baru saja langsung terduduk di kasurnya dengan wajah syok.

"Jam setengah delapan?!"

Selimut dilempar ke sembarang arah โ€” tidak apa. Toh nanti dia yang akan membereskannya sendiri.

"Aaah, sial! Kenapa alarmku harus tidak menyala di awal minggu!" Dia mengumpat sambil buru-buru menggosok giginya. Rasanya ia hanya cuci muka saja, tidak perlu mandi โ€” ayolah, jam pelajaran sudah mulai sekarang. Jika ia mandi, bisa-bisa ia lebih terlambat lagi.

Setelah mengganti pakaiannya dengan seragam dan menyisir kilat rambut pendeknya, Tasya segera menarik tas slempangnya dan berlari menuruni tangga rumahnya untuk segera menuju pintu keluar.

Astaga, dia bahkan belum minum air putih. Tapi sudahlah, ia bisa membelinya nanti.

Dalam hati ia tak berhenti mengumpati dirinya. Kenapa saat hari libur ia selalu bisa bangun pagi tanpa paksaan โ€” terkadang malah tidak bisa tidur โ€” sedangkan saat hari sekolah ia seperti ini?

"Maaf! Aku tidak sangaja!" Ia tidak bermaksud berteriak, sungguh. Tapi, keberadaan seorang perempuan yang tiba-tiba muncul dari belokan jalan โ€” plus tidak sengaja ditabraknya โ€” membuat jantungnya terasa nyaris lepas. Tanpa menengok lagi, Tasya meneruskan aktivitas larinya menuju sekolah.

Perempuan yang juga terkejut itu memandangi figur si gadis yang semakin menjauh. Netra caramelnya menyipit, antara kesal sekaligus heran.

"Ri?"

...

"Apa lagi alasanmu sekarang?" Satu hal yang dibenci Tasya adalah, ketika orang-orang memandanginya โ€” dalam artian negatif tentunya. Jika positif, Tasya sama sekali tidak keberatan.

Kalian semua juga sama, kan? Jangan pura-pura, deh.

Dan kini di depan kelas, gurunya bersidekap sambil menunggu jawabannya.

Iya, dia benar-benar terlambat. Lagi.

Tasya memandangnya takut-takut sambil tersenyum canggung.

"Umm ... Maaf, Pak. Saya ... Terlambat bangun."

Pria itu menghela napas sambil memijat batang hidungnya, berusaha sabar dan maklum. "Bapak tidak bisa menahanmu lama-lama, karena kau harus belajar. Jadi .... "

"Sekarang silahkan duduk. Tapi, temui bapak sepulang sekolah."

Tasya hanya mengangguk lesu sambil bergumam terima kasih. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu berjalan menuju kursinya.

"Oke, anak-anak. Hari ini kita akan membahas tentang Hukum Induksi Faraday."

Beruntung sekali posisi duduknya adalah nomor dua dari belakang. Tasya diam-diam mengeluarkan smartphonenya dan membuka aplikasi Wattpad.

[ @ itzzfann345 :

Ceritanya bagus banget! Semangat buat last chapter dan epilog-nya โ‰งโˆ‡โ‰ฆ!

Aku selalu mendukung Unnie เธ…'ฯ‰'เธ…. ]

[ @ greatesvent1 :

Fast update buat last chapter, ya! Aku gak sabar baca endingnya โ™ก :(. ]

Ia sama sekali tak bisa menahan senyum kecil yang otomatis tertarik ketika membaca komentar-komentar pembacanya. Sambil terkikik senang, Tasya mengetik balasan dari komentar-komentarnya.

[ tsyanor (writer) :

@ itzzfann345

Makasih banyak untuk semua dukunganmu selama ini โ‰ฅ3โ‰ค!

@ greatesvent1

Aah, akan kuusahakan. Terima kasih sudah setia sejak bab pertama >.

"Tasya Eleanor, apakah bapak ada di dalam smartphonemu?"

Tasya mengangkat kepalanya kaget. Guru tadi kini memandanginya dengan kesal, seisi kelas juga melakukan hal serupa โ€” tidak semua, Tasya dapat mendengar beberapa dari mereka menertawakannya diam-diam.

"A-A, a-anu," Bagus, sekarang kepercayaan dirinya mendadak menciut.

"Bapak rasa kamu sudah mengerti materinya, jadi, kerjakan soal di papan โ€” "

"Jawabannya minus dua puluh lima volt!"

Jangankan orang lain, Tasya bahkan terkejut ketika mulutnya sudah berkata demikian. Ah, karena gugup 'lah ia jadi seperti ini.

Gurunya memandang skeptis. Ia melihat isi bukunya sendiri.

" ... Benar."

Tasya hanya tersenyum gugup. Tapi seakan tidak belajar dari kesalahan, setelah gurunya sibuk mengajar lagi, ia kembali menyalakan smartphonenya untuk membaca komentar-komentar lainnya.

Ada yang senang, ada yang sedih karena novelnya akan segera tamat, Tasya tidak bisa menahan senyumnya sama sekali.

Namun, alisnya berkerut ketika membaca sebuah komentar di paling bawah.

[ @ unknow321 :

Jangan tamatkan bab terakhir! ]

'Hah? Apa-apaan dia?' Kerutan di dahinya semakin dalam ketika ia membuka beberapa reply dari pengguna yang sama.

[ @ unknow321 :

Jangan tamatkan, dan hapus buku ini! Mereka akan menginginkan kelanjutannya. ]

[ @ unknow321 :

Lakukan sebelum kita semua mati, Bodoh! ]

"Dia bercanda, huh? Ini spam?" Dan pula, 'mereka' siapa? Para pembacanya? Hah, bukankah memang jelas begitu? Tasya sendiri juga berniat membuat epilog-nya kok. Hanya mencoba menamatkan ini dulu saja.

Apa-apaan juga dengan kata 'mati', dan 'Bodoh', itu? Mengatai dan memberitahu informasi aneh pada orang asing sepertinya. Apa orang itu terkena dare?

Atau mungkin memang tidak waras?

[ tsyanor (writer) :

@ unknow321

Maaf, apa maksudmu? ]

"Psst! Tasya!" Seseorang berbisik tajam sambil menendang kakinya dari belakang. Itu temannya, Kornelia Davina.

"Aw!" Tasya menoleh dengan ekspresi jelas terganggu. "Apa?"

Kornelia tidak menjawab, melainkan menggerakkan matanya ke arah depan kelas. Dengan ekspresi datar ia berucap, "Lihat depan."

Tentu saja tingkahnya aneh. Padahal selama ini Kornelia yang paling sering mengajaknya mengobrol saat di dalam kelas. Dengan malas, Tasya kembali memutar tubuhnya untuk menghadap depan.

"Tasya, sudah selesai ngobrolnya?"

Mampus. Dia lupa kalau sekarang adalah jadwal pelajarannya si guru killer.

...

Sekolah selesai lebih cepat karena guru-guru harus melakukan rapat. Tasya baru saja keluar dari kantor wali kelasnya โ€” dan seperti yang diduganya, hukumannya adalah membersihkan perpustakaan. Pasti.

Menyebalkannya, Kornelia sudah pulang lebih dulu karena sebuah urusan. Tasya jadi mau tidak mau membereskan perpustakaan itu sendiri. Ah, padahal ia tidak ingin terlambat melakukan pekerjaan sampingannya.

"Aku akan melakukannya dengan cepat!"

Ketika ia sudah bertekad, maka terjadilah.

Untungnya perpustakaan tidak begitu berantakan. Ia tinggal menyapu-nyapu sedikit dan merapikan susunan buku โ€” bersyukurlah karena tempat ini sangat jarang dikunjungi orang.

Tasya mendudukan dirinya setelah selesai mencuci tangan. Akhirnya selesai, ia tak menyangka kegiatan begitu saja memakan waktu satu jam lebih.

Sekarang baru jam dua, ia rasa tak ada salahnya untuk menghabiskan waktu barang satu atau dua jam dulu disini. Ia juga memutuskan untuk izin satu hari dari pekerjaannya.

Lagipula ... Tak ada yang menunggunya.

Ia memeluk lututnya dan bersandar pada tembok. Siapa sangka kalau perpustakaan ternyata seindah ini? Padahal sebelum-sebelumnya ia sudah beberapa kali ke tempat ini. Tapi, mengapa kali ini rasanya berbeda.

Rasanya sangat tenang dan damai. Hanya ada suara jam dan detak jantungnya sendiri.

Tasya tersenyum sendiri sambil mengangguk. "Waktu yang tepat untuk menulis."

Usaha kerasnya untuk menahan diri agar tidak membuka komentar-komentar di bukunya, berbuah manis โ€” percayalah. Karena kalau ia melakukan itu, ia akan keenakan dan malah melupakan tugas utamanya untuk menulis. Sekarang, ia tinggal menyertakan sedikit dramatisasi di paragraf terakhirnya, dan selesai!

"Hmm ... Apa yang cocok .... " Ia menggigit bibirnya. Uh, oh. Masalah terakhir telah tiba.

Ia harus menentukan nama inkarnasi dari si protagonis.

Tapi ... Siapa?

.

.

"Siapa kamu?" Inkarnasi Libra bertanya sambil memperhatikan seorang perempuan yang kini berdiri di depan mereka.

Penyerangan telah usai. Meski keadaan seluruh dunia masih porak-poranda, setidaknya tidak ada ancaman lagi saat ini.

Mereka berhasil.

"Apa kamu juga inkarnasi?"

Kesepuluh inkarnasi lainnya ikut melihat ke arah yang sama. Namun daripada merasa gugup, perempuan itu malah tersenyum lebar menatap mereka semua. Itu sedikit menyeramkan bila ditemukan di wajah yang sama sekali poker.

"Siapa namamu?" Kali ini Inkarnasi Virgo yang bertanya.

Perempuan itu tersenyum semakin lebar. Ah, ini adalah akhir sekaligus permulaan yang hebat.

"Namaku .... "

.

.

TING!

Kelopak matanya terbuka tiba-tiba.

" ... Hah?"

Tasya mengangkat tubuhnya yang entah sejak kapan tidur bertumpu di atas meja. Ia berkedip-kedip linglung.

"Astaga! Aku ketiduran!" Tanpa mempedulikan suaranya yang menggema di ruangan luas itu, Tasya mendorong kursinya ke belakang agar bisa berdiri. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Jam enam.

'Ini gila! Bagaimana bisa aku tertidur disini sampai tiga jam lebih?!'

Gadis itu segera memakai jaketnya dan mengambil tas. Tapi ketika ia baru saja hendak memasukkan smartphonenya, ia menemukan kalau layar benda itu menunjukkan warna putih kosong dengan logo loading di tengah-tengahnya.

Dan ketika halamannya berhasil di-reload kembali, sebuah kalimat yang tertera disana sukses membuatnya membelalakan mata.

[ Chapter 99 : The Last War ]

PUBLISH FINISHED

You can find this chapter on : 'The Dives'

Bukan. Bukan kalimat itu yang menjadi fokusnya kini.

[ Bab terakhir berhasil terkirim.

Apakah Anda menginginkan epilog? ]

| Ya | Tidak |

Tasya bingung. Biasanya tidak pernah seperti ini. Apakah pihak Wattpad sedang mengumpulkan pendapat pribadi dari para penulisnya setelah update terakhir?

[ Apakah Anda yakin memilih 'Ya'? ]

| Ya | Tidak |

"Ada apa, sih?" Dengan mudah, ia sudah melupakan tujuan awalnya untuk segera pergi dari sekolah. Tasya tanpa berpikir lagi memilih opsi 'ya'.

[ Permintaan sedang di proses . . . ]

[ Permintaan berhasil di proses.

Mohon tunggu lima belas menit lagi. ]

Tasya berusaha tidak mengindahkan sensasi tidak enak yang muncul di hatinya. Namun, memilih untuk melupakannya, Tasya segera pergi meninggalkan sekolah.

Menuju rumahnya. Tanpa ada siapapun yang menunggunya.

. oOo .

[ Bab 1 : The Last Chapter ]

END

[ Apakah Anda menginginkan kelanjutannya? ]

| Ya | Tidak |