"Parah?" tanya Ely ketika Keynan menceritakan tentang rencana bunuh diri Jhon.
"Gak tahu. Dia gak mau ditemuin, jadi aku belum bisa masuk dan ngelihat kondisinya." Keynan merebahkan diri di ranjang, kemudian memejamkan mata dan memutar kejadian yang tadi membuatnya takut setengah mati.
Ia takut Jhon mati karena bunuh diri, dan ia yang akan menjadi penyebabnya. Ia tidak mau dihantui oleh rasa bersalah seumur hidup.
"Jadi kenapa lo balik?" tanya Ely lagi.
"Gue capek dicuekin. Teman-teman gue yang lain diperbolehkan masuk, sedangkan gue gak!"
Ely mengedikkan bahu acuh, ia melanjutkan membersihkan ceceran darah yang ditinggalkan Jhon tadi. Kaget sih ketika buka pintu melihat banyak darah di lantai, apa lagi terlihat sudah mengering dan sepertinya terburu-buru pergi dari sana. Ia kira ada perampokan atau sejenisnya, tapi ketika Keynan kembali dan menceritakan semua, barulah Ely ingin tertawa, tapi ia tahan sekuat tenang.
Bunuh diri hanya karena ditinggalkan pasangan? Dangkal sekali otaknya. Memang sisa manusia di dunia hanya Keynan doang. Bucin sekali, gak sih?
Ia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya, tapi tidak pernah berpikiran akan bunuh diri. Sama sekali tidak pernah terpikir ke sana. Hidup di dunia hanya sekali, jadi ia tidak akan menyia-nyiakan untuk hal yang unfaedah seperti percobaan bunuh diri.
"Huft!" Keynan menghembuskan napas penat.
Sementara Ely membersihkan lantai yang terkena ceceran darah, Keynan mengambil sebotol bir. Ia membuka tutupnya kasar kemudian meneguk isinya.
Lelah! Keadaan yang sedang dihadapinya tidak semulus rencananya.
"Key, udah makan?" tanya Ely. Ia keluar membawa alat pel, lalu mengepel lantai di ruangan tersebut.
Wangi lemon menyeruak masuk ke hidung ketika seluruh lantai sudah ia pel. Aroma anyir darah tak lagi tercium.
"Gak sempat, El. Ini aja gue harus balik lagi ke rumah sakit." Keynan kembali meneguk bir yang ada di tangannya.
"Buat apa? Toh pacar lo gak mau ketemu sama lo, kan? Ya udah, mending lo istirahat, besok mau ada kerjaan ke luar kota, kan?"
"Tapi kasihan Jhon, El."
Selesai mengepel semua lantai, Ely mengembalikan alat ke tempat semula, kemudian duduk di samping Keynan dan menggenggam tangan pria itu. "Bisa gak lo sedikit mengurangi rasa 'gak enakan' itu? Hei, dia sudah bukan anak kecil lagi, dia sudah dewasa. Masa dikit-dikit ngambek."
Keynan membuka matanya, ia menoleh. "Emang lo gak?"
Wanita di sampingnya mengalihkan pandangan. Ia sih, dia juga. Bukanya ia baru saja marah pada Keynan karena memilih pergi dengan Jhon? Dan ketika memutuskan untuk kembali ke flat, malah melihat pemandangan yang membuat pikirannya memikirkan kemungkinan yang jelek, beruntung yang terjadi sebaliknya.
Ely berdiri, ia berjalan ke dapur dan mulai membuka kulkas. Tidak banyak bahan mentah yang tersisa, tapi jika hanya untuk membuat satu menu masih bisa, yang pastinya untuk Keynan, kalau ia sendiri bisa makan dengan apa saja, kadang dulu jika malas memasak dan tidak punya uang, ia lebih memilih nasi dicampur garam dan bawang goreng. Simple.
Dengan cekatan, diambilnya potongan wortel yang sudah ada di dalam kotak dan beberapa buncis, tak lupa dua butir telur juga dibawanya.
"Mau masak apa?" Keynan menyusulnya. "Lo gak marah sama gue?"
"Tadi sih mau marah, tapi ditunda dulu, soalnya pacar lo juga marah." Ia memasukkan potongan bawang bombai, garam dan sedikit bubuk merica ke dalam teflon. "Kenapa gak dibiarin mati aja sih!" ucapnya jengkel. Tentu saja kalimat yang terakhir ia katakan lirih, bukan karena takut Keynan tersinggung, tapi lebih kepada malas berdebat, karena pasti Keynan akan membela kekasih menyebalkannya itu.
Ely membuat orak-arik dengan resep yang ia racik sendiri. Tentu saja sesuai dengan seleranya.
"El, gue pengen meluk lo!" Keynan mendekat, ia berdiri di belakang punggung gadis yang saat ini memakai celemek motif kotak.
"Biasanya gak pernah bilang."
"Takutnya lo masih marah karena ...."
"Percuma gue marah kan, Key? Toh lo gak bakal ngehibur gue, gak bakal ngerayu gue seperti lo ngerayu Jhon. Jadi dari pada sia-sia, mending gue diem aja deh! Capek juga berharap tapi gak pernah kesampaian."
"Kok gitu, emang gue setega itu ya di mata lo?"
"Emang menurut lo gimana?"
"Lo bisa gak kalau gue tanya jawab dulu, jangan malah balik tanya."
"Lo bisa gak sedikit aja memahami gue? Dikit aja ngerti posisi dan perasaan gue? Gue capek loh, Key! Lo itu kadang ngasih harapan lebih, lalu mematahkannya dalam sekejab."
"Gue minta maaf untuk itu!"
"Lo udah banyak kali minta maaf, gue sampai bosen."
Keynan menunggu dengan sabar di meja makan. Ia tidak fokus pada obrolan mereka, karena sekarang, fokusnya hanya pada Jhon dan keadaannya. Padahal tadinya, Keynan ingin minta maaf tulus dan merayu Ely, seperti yang diharapkan gadis itu, tapi entahlah, hatinya sedang kacau.
Ada setitik sesal yang ia rasakan, ketika kekasihnya itu melakukan hal sampai senekat sekarang.
"Lo makan dulu! Nanti kalau udah selesai tolong bawa ke wastafel, ya. Gue mau istirahat dulu, capek!"
"Lo gak makan? Gue pengen cerita."
Ely menggeleng. "Nanti aja, belum laper. Mau nonton drakor aja."
"Bawa ke sini hape lo! Nonton bareng, sekalian temani gue makan!"
Ia butuh teman bicara, teman untuk mendengarkan keluh kesahnya. Hanya itu! Setidaknya beban yang ada di hati lepas ketika ada teman untuk saling berbagi.
Ely berpikir sejenak. "Ya udah, bawa ke depan tivi aja, nanti gue susul ke sana setelah mandi. Tapi belum sempat mandi langsung bersihin lantai, abisnya mual gue lihat darah bececeran gitu."
"Oke, gue tunggu, El. Jangan lama-lama."
"Gue mau luluran dulu sih." Ia meringis. "Jadi mending lo makan duluan, abis itu nonton drakor sama gue. Gak balik ke rumah sakit, kan?"
Keynan menggeleng, lalu mengangguk. Ia bingung harus bagaimana. Kalau tidak kembali nanti Jhon mengira ia tidak perhatian, tapi kalau balik ke rumah sakit takutnya ditolak lagi. Ah, membingungkan.
"Jadi balik apa gak? Gak jelas banget sih lo!"
"Enggak!"
"Yakin? Nanti pacar lo ngamuk lagi loh!"
"Gak balik. Gue yakin!" ujarnya mantap.
Ely tersenyum, ia maju empat langkah menuju Keynan, kedua tangannya melingkar ke leher lelaki itu dan menatap ke dalam manik mata pria tampan yang tidak sadar sudah memenuhi seluruh hatinya. "Makasih, Key!" Ia berjinjit, kemudian mengecup bibir Keynan lembut.
Keynan terpaku, piring yang dipegangnya hampir jatuh kalau Ely tidak sigap menangkapnya.
"El!"
"Ya!"
"Mau lagi!" Diletakkannya piring di atas meja makan.
"Apa? Gak! Gue mau mandi!" Ia berlari menghidar dari Keynan yang berusaha meraihnya.
"Ely, lo harus tanggung jawab!" Tangannya menggedor pintu kamar Ely yang sudah terkunci dari dalam.
"Gue gak ngehamilin lo, ngapain gue disuruh tanggung jawab!"