Marwan menjadikan keluarga dan kerabatnya sebagai landasan kekuatan di pemerintahan, seperti yang pernah dilakukan Khalifah Utsman, dan bertentangan dengan gaya Muawiyah yang menjaga jarak dari kerabat-kerabatnya. Ia memberikan posisi militer penting kepada putranya Muhammad dan Abdul Aziz, dan memastikan putranya Abdul Malik sebagai khalifah selanjutnya. Walaupun awalnya dipenuhi tantangan, trah "Marwani" (keturunan Marwan) menjadi wangsa penguasa Kekhalifahan Umayyah dan menggantikan trah "Sufyani" (keturunan Abu Sufyan).
Menurut penilaian Bosworth, Marwan "jelas sekali adalah pemimpin militer dan negarawan yang memiliki kecakapan dan ketegasan, dipenuhi dengan sifat ḥilm [kesabaran] dan dahiya [kecerdikan], seperti tokoh-tokoh Umayyah terkemuka lainnya." Meski ia tidak memiliki basis kekuatan di Syam sebelum menjadi khalifah dan wilayah tersebut cukup asing baginya, ia berhasil mengambil kendali. Kukuhnya kekuasaan Umayyah di Syam menjadi landasan bagi anaknya, Abdul Malik, yang kelak akan berhasil menyatukan kembali kekhalifahan di bawah dinasti Umayyah. Kekhalifahan Umayyah akan berlanjut selama sekitar 65 tahun selanjutnya, hingga digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750. Menurut sejarawan Wilferd Madelung, naiknya Marwan ke posisi khalifah adalah sebuah "politik tingkat tinggi", puncak dari intrik-intrik yang dimulai dari awal kariernya. Di antara siasat Marwan menurut Madelung adalah menempatkan diri sebagai "yang pertama membalaskan darah [Utsman]" dengan membunuh Thalhah dalam Pertempuran Jamal, serta upaya diam-diam melemahkan kekuasaan para khalifah Sufyani walaupun secara terbuka mendukungnya.
Dalam sebagian riwayat Muslim, Marwan dikenal sebagai pribadi yang kasar kata-katanya (fāḥisy) dan kurang memiliki adab. Luka-luka yang ia derita dalam pertempuran tampaknya sangat berdampak terhadap kondisi fisiknya. Ia memiliki tubuh kurus dan tinggi sehingga dijuluki khayṭ bāṭil (benang tipis). Riwayat-riwayat anti-Umayyah memberinya julukan ṭarid ibn ṭarid ("sang terusir, putra dari sang terusir") karna ia diusir dari Madinah oleh Ibnu az-Zubair, dan ayahnya al-Hakam juga konon pernah diusir Muhammad ke Thaif. Pihak anti-Umayyah juga menjulukinya abūʾl-jabābirah (bapak para tiran) karena anak cucunya kelak berturut-turut menguasai kekhalifahan.
Beberapa riwayat yang dikutip sejarawan Ahmad al-Baladzuri (meninggal 892) dan Ibnu Asakir (meninggal 1176) menunjukkan kesalehan Marwan, misalnya riwayat dari Al-Madaini yang menyebut bahwa Marwan adalah salah seorang yang terbaik dalam membaca Al-Qur'an, dan pernyataan Marwan sendiri bahwa ia telah membaca Al-Qur'an selama 40 tahun sebelum Pertempuran Marj Rahith. Karena Marwan diketahui menamai banyak anaknya dengan nama-nama khas Islam (dan bukan nama tradisional Arab yang umum ketika itu), Fred Donner juga berspekulasi bahwa agaknya Marwan "sangat religius" dan "sangat terkesan" dengan pesan Al-Qur'an untuk memuliakan Allah dan para nabi, termasuk Muhammad. Namun, Donner menyatakan bahwa cukup sulit untuk membuat "penilaian Marwan yang benar-benar sahih", karena kurangnya bukti arkeologi ataupun tulisan langsung, dan banyaknya informasi yang berasal dari sumber-sumber berat sebelah.[