Chereads / Aku Bukan Boneka Ayahku / Chapter 10 - Berubahnya Dosen Killer

Chapter 10 - Berubahnya Dosen Killer

"Om Rio benar-benar sudah keterlaluan!"

Sergah Griz marah pada diri sendiri saat itu.

"Griz, kamu kenapa masih di sini? Ayo masuk! Nanti dosen killer keburu masuk duluan loh." Sapa seorang pria, salah satu teman Grizelle yang baru tiba dan melewati Grizelle.

"Eh, Evan. Aku kira siapa! Ya sudah, Ayuk!" Balas Grizelle. Keduanya pun masuk ke ruangan dimana mereka belajar.

Untung saja Evan tidak mendengarkan dan melihat kejadian tadi. Evan adalah salah satu teman Grizelle yang satu jurusan dan menyukai Grizelle. Namun Griz tidak menanggapi rasa suka Evan. Hal itu tidak membuat Evan untuk menyerah, tapi Griz hanya bisa menjelaskan berulang kali. Bahwa, Griz hanya menganggap Evan teman biasa. Begitu juga dengan Evan, meski sudah berulang kali di tolak, dia tetap berusaha dan yakin bahwa suatu hari nanti cinta Evan akan di terima sepenuh hati.

"Griz, kamu tadi ngapain di depan?"

"Oh, tadi? Em, itu! Tidak apa-apa kok!"

"Ah kamu ini, aku serius dengarkan. Tapi jawaban kamu begitu. Kamu tidak apa-apa 'kan? Soalnya sekilas tadi aku lihat kamu pasang wajah murung begitu."

"Iya, benar. Aku tidak apa-apa kok. Tadi hanya sedikit kesal saja karena hampir jatuh tersandung batu."

"Ah, yang benar? Mana? Ada yang luka tidak?"

"Duh, Evan. Tidak usah berlebihan deh, aku tuh tidak apa-apa. 'Kan hampir jatuh aku bilang tadi. Jadi tidak sempat sampai jatuh."

"Hehe, begitu ya? Aku tuh, tidak mau kalau kamu sampai terluka sedikitpun, Griz!"

"Ye, tidak usah lebay deh. Yuk ah, konsentrasi belajar. Sebentar lagi Bu Ulfa datang loh! Dosen kesayangan kamu itu." Grizelle terkekeh meledek Evan.

"Dih! Aku 'kan sukanya sama kamu. Tidak mungkin aku suka dosen itu."

Ulfa memang salah satu dosen termuda dan cantik di kampus itu. Banyak mahasiswa yang menggodanya. Namun karena hal itu yang merubah jati diri seorang dosen cantik yang berawal lembut kini kian menjadi sedikit agresif. Dia tidak ingin di rendahkan ataupun di remehkan oleh anak didiknya sendiri. Ulfa menjunjung tinggi harkat martabatnya sebagai seorang dosen. Dia sangat menjaga hubungan antara dirinya dan yang lain. Salah satunya, Evan juga sebenarnya sedikit suka dengan Ulfa. Namun karena Ulfa tidak suka, jadi dia sedikit tegas dengan pria-pria disekitarnya.

"Ah, jangan pura-pura lupa. Kamu kemarin pernah bilang kalau kamu suka dia 'kan?"

"Sudah, jangan dibahas. Aku tidak mau kena semprot dia lagi."

"Haha, memangnya enak." Ledek Grizelle lagi.

"Habisnya kamu tidak mau sih, aku 'tuh serius sama kamu, Griz!"

"Maaf ya, aku Cuma anggap kita ini sebagai teman biasa. Tidak lebih, jadi aku mohon sama kamu untuk lupakan aku."

"Bagaimana aku bisa lupa sama kamu, kita 'kan masih satu kampus."

"Bisa kok."

"Bagaimana?"

"Ya tunggu, setelah kita selesaikan pendidikan kita di sini. Pasti kita tidak bersama lagi."

Sejenak grizelle terdiam dalam ketakutan. Yang sebenarnya dia sangat takut jikalau nanti dia lulus, justru pintu neraka akan menyambutnya. Hampir tiap malam dia mencari cara agar bisa terbebas dalam masalah itu. Namun, sampai saat ini Griz belum juga mendapatkan solusi.

"Sepertinya kamu sangat bersi keras untuk tidak menjalin hubungan ya, atau ada pria lain selain aku." Ucap Evan sembari menekuk mukanya. Namun dia mendapatkan raut wajah Griz lebih sedih darinya.

"Grizelle, kamu kenapa?" Sontak pertanyaan Evan membuat Grizelle terkejut.

"Eh, iya. Kenapa, Van?"

"Ah, kamu. Pura-pura tidak dengar!" Ucapnya semakin kesal.

"Hehe, iya maaf. Aku sedikit dengar kok ucapan kamu tadi. Dari awal kamu 'kan sudah tahu alasannya. Kalau aku belum pacaran sampai aku lulus nanti."

"Hem, ya ya ya. Aku tahu, pasti itu jawaban kamu."

"Eh, ngomong-ngomong Bu Ulfa kok belum datang ya? Biasanya dia paling cepat datang." Grizelle mengalihkan pembicaraan.

"Iya, ya. Tumben dia belum datang?" Tambah Evan sembari celingak-celinguk lihat kanan kiri. Beberapa mahasiswa dan siswi lainnya juga tampak asyik ngobrol bersama. Grizelle tergolong orang yang pendiam. Apa lagi di kampus hampir semua wanita stylenya tinggi, jadi sangat minim yang mau berteman dengan grizelle wanita biasa. Griz, lebih nyaman berteman dengan Evan. Meski dia tahu kalau Evan juga menyukainya. Namun, Grizelle terus menyadarkan Evan bahwa mereka lebih pantas untuk berteman saja.

"Sstttttthhh, Bu Ulfa datang!"

Salah satu temannya masuk yang habis nongkrong dari luar. Dia memberitahukan bahwa dosen yang dibilang killer itu telah datang.

Tak tak tak..

Suara sepatu high heels berdetak bunyi menyentuh lantai. Suara itu kian keras dan sangat dekat dengan ruangan. Semua siswa terdiam dan tertib di meja masing-masing termasuk Evan dan Grizelle.

"Selamat pagi semua!" sapanya dengan ramah yang tidak seperti biasa.

"Pagi!" Jawab semua dengan serentak.

Pagi yang riuh sebelumnya mendadak hening seketika bak diruang yang sangat sunyi dan jauh dari keramaian. Entah kenapa, setiap Ulfa masuk semua hanya terdiam. Karena ucapan dan tindakannya yang tegaslah membuat dia sangat dihormati.

Baju kemeja putih dan celana dasar hitam dilengkapi dengan high heels hitam pekat yang melekat divkulit putihnya semakin membuat dia tampil cantik pagi itu. Evan hanya menganga terpana setiap Ulfa masuk ke dalam ruangan. Biasanya Evan akan mendapatkan sentilan ketika melamun dan memandangi dirinya. Namun beda untuk kali ini, Ulfa justru biarkan hal itu terjadi. Evan pun semakin heran dengan kebiasaan Ulfa yang berubah.

"Maaf ya hari ini aku telat lagi," ucapnya dengan menundukkan kepalanya ketika sudah duduk di kursi.

Semua murid saling berpandangan dan heran entah apa yang sudah terjadi pada dosennya itu.

Tidak lama, handphone milik Ulfa berdering. Seketika dia langsung mengeluarkannya dari tas dan segera mengangkat telpon itu. Tampak serius wajah ketika menerima panggilan telepon itu, dan keluar dari ruangan untuk bicara.

"Van, kamu tahu tidak apa yang aku pikirkan?" Tiba-tiba Grizelle bertanya pada Evan saat dirinya serius memperhatikan Ulfa.

"Griz, aku merasakan kalau Bu Ulfa hari ini sangat berbeda. Ada apa ya?"

"Nah, itu dia!"

"Jadi sama yang kita pikirkan?"

"Itu maksud aku, Van."

Tidak lama kemudian, Ulfa masuk kembali. Justru kali ini dia memohon pada semua murid, biasanya murid yang selalu memohon.

"Maafkan aku kali ini, aku tidak dapat mengajar kalian lagi di sini. Aku mohon, kalian maafkan aku ya atas semua kesalahanku selama ini."

"Kenapa tiba-tiba Ibu ngomong seperti ini?" Spontan Evan bertanya.

Berbeda dengan yang lain, kebanyakan dari mereka sangat senang dan mengekspresikan bahwa mereka sangat setuju atas ucapan Ulfa. Namun, beda dengan Evan. Dia seketika merasa kehilangan sosok dosen yang menurutnya hidup sangat tertantang atas kehadirannya.

"Aku tidak bisa jelaskan di sini. Yang jelas, ini adalah hari terakhir aku di sini."