Seonggok kain lusuh berwarna merah pudar berada tepat di tepian sungai yang keruh.
Anak-anak bermain tepat di dekatnya, tak jarang mereka akan berendam di sana, cekikian dan berupaya menangkap ikan. Menunggu hingga waktu senja tiba atau sampai sang ibu datang dengan pemecut di tangan.
Tak ada yang bisa menggangu kesenangan, meski luka-luka kerap di dapatkan. Orang dewasa bilang kelakuan mereka sangat kekanakan, tanpa sadar, waktu masih seusia itu mereka juga sama saja.
Bedanya, dahulu, sungai tak sekeruh itu, kau bisa menyelam dengan mata terbuka tanpa takut ada sampah yang mengenai mata. Tapi sekarang, sampah sudah memenuhi, tak jarang limbah manusia juga kerap lewat, limbah alami, paham kan maksudnya?
Sebenarnya, kain lusuh itu tadi sebagai penanda, bahwa tempat itu aman, karena ada beberapa waktu yang tak diperbolehkan untuk datang ke sana.
"Apa yang kau lihat?" Pemuda berambut merah memudarkan bayangan khayalan yang baru tercipta. Ada sedikit bekas luka memanjang di dagunya yang menjadi ciri khas. Atau mungkin tidak, sisa dari kenakalan masa kecil yang masih dilestarikan.
Maverick, anak muda yang tengah berbaring di atas tanah gersang melirik sejenak dengan mata menyipit karena sinar matahari sedang terik-teriknya. Sementara ia hanya sedikit berlindung di bawah pohon yang sebagian daunnya telah merangas hingga meninggalkan jejak batang, dan tunas yang gagal tubuh.
"Wisley, jauhkan tubuhmu dariku, kau tak lihat aku sedang menatap langit sekarang?" sergahnya agak marah, mirip perempuan yang direbut mainannya saja.
"Lihatlah, tempramen sekali, mirip ibuku," sambung Zed, pemuda lain dengan rambut keriting, wajahnya agak gelap dengan senyum jahilnya.
"Kalian ini seperti tidak mengenalinya saja," ujar seorang yang lain. Dibandingkan dengan teman-temannya yang bertubuh jangkung. Theodore bertubuh agak gemuk dan sedikit lebih pendek dari yang lain. Tapi cukup untuk pemuda yang masih berada dalam masa pertumbuhan.
Mereka memiliki umur yang hampir sama. 15 tahun.
Wajah Mave langsung berubah, tangan kirinha menunjuk ke arah tangan kanan yang rupanya sedari tadi diinjak tanpa sengaja oleh Wisley, satu-satunya penyebab ia berkata agak keras.
Dengan cepat pemuda itu mundur karena kaget.
"Maafkan aku," tuturnya dengan wajah memelas dan senyum canggung.
Mave segera beranjak duduk sambil mengibaskan tangannya yang memerah, tampaknya ia tak merasa kesakitan.
"Ya," sahutnya santai.
"Sebenarnya apa yang kau lihat? Mave?"
Ketiga temannya langsung merebahkan pantatnya ke atas tanah tepat di samping Mave. Sebuah kebiasaan yang sudah sejak dahulu di lakukan.
"Kenapa bertanya jika sudah tahu jawabannya," gumamnya terdengar jelas oleh yang lain.
Iris mereka kini menuju ke tempat yang sama. Di depan sana, sebuah dinding tinggi kokoh berdiri, saking tingginya hingga mereka tak bisa menebak apa yang sebenarnya ada di baliknya. Pertanyaan demi pertanyaan akan muncul setelahnya, siapa yang membangunnya, kenapa dibangun, dinding dengan tinggi yang sangat menakjubkan bukankah akan menghabiskan biaya yang sangat banyak. Mave ingat dengan mendiang kakeknya yang mengatakan dinding itu buatan para dewa. Sejak mereka terlahir, ia sudah berdiri di sana.
"Aku penasaran apa yang ada di balik dinding itu," ujar Mave.
"Ya, jika kau sepenasaran itu silakan bertemu dengan dewan, tapi kupastikan setelah kau berujar seperti itu, kita sudah beda alam—aduh!"
Punggung Zed dipukul agak merasa oleh Wisley agar tak berbicara sembarangan.
"Siapa yang tahu, mungkin saja kita bisa berpetualang keluar sana."
Wisley mengerlingkan matanya. Diiringi cekikian dari yang lain. Fantasi masa kanak-kanak rupanya masih terbawa hingga usia remaja.
"Petualangan 4 sekawan bukan?" jawab Theodore sambil menghentakkan kakinya ke tanah yang langsung menjadi debu. Diiringi dengan kibasan rambut keriting Zed.
***
Ada huruf besar di dekat pagar berlambang huruf T. Distrik timur, tempat Maverick dan teman-temannya tinggal adalah kawasan paling kumuh di sana untuk sekarang. Distrik lain menyebut mereka orang buangan.
Ada banyak kasus kejahatan, dan rata-rata pelakunya akan dibuang ke sana. Lingkungan yang sebenarnya tak terlalu aman. Namun hanya di sana satu-satunya tempat yang bisa menampung mereka sejak kudeta yang terjadi beberapa tahun lalu.
Kudeta yang menyebabkan terjadinya perpecahan. Beberapa mengatakan bahwa hal itu disengaja agar distrik hancur. Semakin miskin suatu distrik maka yang lain akan semakin naik. Cara licik untuk mengalahkan yang lain tanpa harus bersusah payah.
Maverick baru saja pulang, ketika sadar wajah lusuh ibu dan ayahnya terlihat dengan jelas di matanya.
Musim kemarau tak berkesudahan, dan sering terjadi bentrokan akhir-akhir ini. Sepertinya hal itulah yang menjadi beban pikiran mereka.
"Darimana saja kau ini?!" Ayahnya, Mavrodi berteriak kencang ketika sadar sang anak baru saja pulang dan kini berdiri di ambang pintu yang hampir rubuh. Rumah yang dibangun seadanya dari pelepah dan papan usang beberapa tahun belakangan karena menjadi korban kebakaran dari distrik lain secara sengaja. Di sebagian sisi terdapat tambalan dari karung sisa untuk menutupi bolongan rapuh. Setidaknya rumah ini masih bisa menaungi mereka.
Sementara Kai, adiknya yang berusia 10 tahun duduk sambil mencoret lantai yang hanya beralaskan tanah. Beruntung rumahnya cukup dingin, untuk udara yang panas di luar. Salah satu keuntungan tinggal di dekat sungai. Tanahnya menjadi agak lembab.
Mave menegang, wajahnya langsung kaku karena dibentak.
"Kau tahu kan sering terjadi bentrokan akhir-akhir ini? Kenapa malah berkeliaran seperti tikus jalanan?" sergah ayahnya lagi.
"Aku hanya berkumpul di tempat biasa yah, bukan berkeliaran," jawab Mave yang berhasil menyulut amarah ayahnya, padahal ia sudah tahu dengan jelas. Cara terbaik menghadapi amarah orang tua adalah diam saja.
"Mave, pergi makan ajak adikmu," kata sang ibu menegahi, ia kemudian berusaha menenangkan sang suami agar tak makin panas.
Mave menurut dan langsung mengajak adiknya untuk ke dapur dengan gemuruh di dadanya.
"Kak? Apa hanya ada ubi?" tanya Kai yang nampaknya mulai bosan. Mereka duduk lesehan sambil bersandar.
Sebenarnya Mave juga, ini sudah bulan ke tiga mereka hanya makan satu ubi bakar setiap harinya. Tapi mau bagaimana lagi, tahun ini gagal panen. Beras, jagung, gandum yang didambakan merangas lebih dahulu sebelum sempat di panen.
Mereka membagi dua ubi yang hanya ada satu itu. Berharap bisa mengganjal perut sampai makan malam tiba.
"Kak, aku masih lapar," kata Kai mengiba. Anak itu bertubuh kurus, sama sepertinya. Tentu saja setengah ubi tak cukup untuk mengganjal perut keduanya.
"Bukankah ayah dan ibu terlalu pelit?" Kerling sang Kakak mulai beranjak dari tempat duduk dan mencari tempat persembunyian makanan.
Sebenarnya tak sulit untuk mencarinya, karena tak banyak barang di rumah ini, rata-rata sudah terjual demi membeli sedikit makanan.
Mata Mave langsung berbinar ketika menemukan dua potong ubi di dalam periuk hitam. Ia kemudian memberikan satu ubi itu untuk adiknya sementara satunya lagi telah dimakannya.
Ia berpikir nanti ibunya bisa memasak lagi.
Kai terlihat makan dengan lahap. Seulas senyum terpatri di wajahnya.
Sekarang Ayahnya sudah tak lagi marah. Ia berjalan ke belakang untuk melihat sang anak. Mave tersenyum canggung ketika pria itu datang. Ayahnya baru saja ingin bicara sebelum sadar akan kulit sisa ubi dan
periuk yang telah terbuka. Jatah makanan yang sengaja di simpan dan di sisakan ternyata telah dimakan.
"Mave." Panggilnya.
Maka berkobarlah api yang tadi sempat memadam sejenak.