Biasanya jika ada orang yang menyangka Hani dan Haris suami istri, mereka berdua akan jadikan itu bahan candaan. Namun, begitu Hani tahu perasaan Haris kepadanya, ia kini merasa risih. Apalagi dengan kelakuan Haris yang menggandeng pinggangnya seperti ini. Perasaannya jadi tak karu-karuan.
"Ma!" Tiba-tiba Dinda memanggil Hani dari dalam sembari berlari kecil menuju tempat mereka berdiri. Gadis delapan tahun itu langsung menggandeng tangan mamanya.
"Sudah belajarnya?" tanya Hani. Ia akhirnya urung menyangkal pengakuan Haris. Terlebih tak elok kalau berdebat di depan orang yang baru dikenal.
"Udah, Ma."
"Ya, sudah. Salim dulu sama papanya Gea!" titah Hani.
Dinda menuruti perintah mamanya. Sejurus kemudian Gea dan mamanya keluar menemui Haris dan Hani. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka bertiga langsung pamit karena hari sudah malam.
Dengan berboncengan tiga Hani, Haris, dan Dinda meninggalkan pekarangan rumah keluarga Gea. Dinda bersikeras minta berdiri di depan Haris seperti biasa saat membonceng omnya tersebut. Tak mau menghiraukan permintaan mamanya agar anak berponi itu duduk di depan mamanya.
Berkali-kali Hani bujuk untuk membonceng di tengah, tetapi anak itu tetap pada kemauannya karena memang itu kebiasaannya.
"Enggak apa-apa, Kak. Kan, Dinda pakai jaket juga," bela Haris mematahkan argumen Hani.
Akhirnya Hani kalah. Memang tak mudah mengubah kebiasaan yang sudah mereka lakukan setiap saat. Meskipun Hani benar-benar ingin menjaga jarak baik secara harfiah ataupun lahiriah dengan Haris. Namun, kenyataannya tak semudah membalikkan telapak tangan.
Hani takut jika nanti suaminya akhirnya tahu bagaimana perasaan adiknya terhadapnya. Hani tak ingin menjadi sebab retaknya hubungan persaudaraan mereka. Apalagi Haris dan Rahman hanya memiliki satu sama lain. Kedua orang tuanya telah tiada.
"Kak, kita mampir ke indoapril dulu, ya?" pinta Haris saat motor yang mereka kendarai melaju di jalan raya. Hal itu merupakan kebiasaan yang selalu mereka lakukan saat jalan keluar. Pasti Haris akan mengajak Hani dan Dinda untuk membeli sesuatu.
Namun, karena sekarang Hani tahu kalau Haris menyimpan rasa untuknya. Ia berusaha menolak ajakan dan segala kebaikan-kebaikan darinya. Hani tak ingin berutang budi pada adik iparnya itu. Ia takut karena hal itu ia bisa terjebak dalam labirin cinta Haris.
Baru saja Hani hendak menolak, Dinda sudah bersorak kegirangan. Selama ini memang Bang Rahman jarang sekali mengajak Hani dan Dinda sekedar berkeliling kota. Sepulang kerja lelaki itu lebih memilih beristirahat di rumah atau menyibukkan diri dengan burung-burungnya.
Sehingga mereka lebih sering kemana-mana bersama Haris. Awalnya Hani dulu merasa biasa saja. Bahkan merasa terbantu saat Dinda memerlukan sesuatu, Haris dengan sigap mengantar kemana-mana. Namun, sekarang Hani jadi takut sendiri.
"Tapi Ayah di rumah kasihan dari tadi nunggu sendirian, Din!" seru Hani pada Dinda. Berusaha mempengaruhi putrinya untuk menolak ajakan Haris.
"Enggak lama, kok, Kak. Lagian pasti Bang Rahman juga enggak keberatan," timpal Haris.
Dua lawan satu, sudah pasti Hani kalah. Di tengah Dinda yang begitu bersemangat, Haris tidak mendukung Hani. Maka Hani tak bisa berkutik melawan dua orang itu.
Hani merasa putus asa. Ternyata tak semudah itu menghindar dari kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya selalu mereka lakukan. Hani tidak tahu lagi harus bagaimana lagi untuk bisa menghindari Haris.
Meskipun ia berusaha membujuk Dinda, tetapi anak itu tak bisa mengerti maksud mamanya. Entah dengan kata apa Hani harus menjelaskan pada Dinda, agar tak terlalu dekat dan bergantung pada omnya itu. Sementara mereka sekeluarga selama ini terlalu nyaman dengan sikap Haris yang ringan tangan itu.
Motor Haris menepi kemudian berhenti di area parkir indoapril. Dinda segera turun kemudian tanpa menunggu Hani dan Haris, anak itu melesat masuk.
"Ayo, Kak!" ajak Haris saat Hani hanya mematung. Wanita itu terlihat sekali enggan masuk ke indoapril.
"Aku tunggu di sini aja, deh, Ris!"
Haris menautkan kedua alisnya. Ia benar-benar merasa Hani sangat lain dari biasanya. Pemuda itu jadi menduga-duga yang bukan-bukan.
"Loh, memangnya kenapa, Kak?" Haris berdiri menatap Hani. Kini tubuh mereka saling berhadapan cukup dekat.
Ditatap sedalam itu oleh adik iparnya, Hani jadi salah tingkah. Apalagi entah bagaimana dadanya menjadi berdebar tak karuan ditatap seperti itu oleh Haris.
"Kakak marah sama aku?" selidik Haris. Pemuda itu menatap dalam kedua bola mata Hani. Ia berusaha mencari tahu apa yang terjadi pada Hani melalui sorot matanya.
Hani membuang muka. Ia tak tahan ditatap seintens itu oleh Haris. Bagaimana pun Haris seorang laki-laki dewasa. Apalagi jarak mereka cukup dekat.
"Hei, Kak?" Tatapan Haris mengikuti wajah Hani yang menoleh ke samping kanan. Jika orang lain melihat mereka berdua pasti akan mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih yang sedang salah paham.
"Kamu kenapa?" lanjut Haris karena Hani masih mengunci bibirnya.
Ingin rasanya Haris meraih dagu Hani agar wanita yang dicintainya itu membalas tatapannya. Namun, Haris belum cukup punya nyali. Apalagi Haris menduga bahwa Hani telah tahu perasaannya. Untuk saat ini, Haris belum tahu harus bersikap seperti apa.
"Ris!" Haris dan Hani kompak terkejut saat mendengar seseorang memanggil Haris. Sontak Haris pun menoleh ke asal suara.
"Hai, Bro!" sapa Haris sembari mengangkat telapak tangannya dan tersenyum lebar.
Melihat Haris dan beberapa temannya itu, Hani merasa seperti telah diselamatkan. Ia tak yakin bisa terus menghindari Haris jika tak ada mereka.
Haris mengobrol dengan lima orang temannya itu. Ada dua laki-laki, Aryo dan Fendi. Serta tiga perempuan, Dini, Maila, dan Puspa.
Hani mengamati teman-teman Haris tersebut. Dari penampilan, Hani menebak mereka terlihat seusia dengan Haris. Penampilan mereka pun terlihat begitu modis. Para cewek tampak seperti model, terlihat dari penampilan mereka dengan make up dan pakaiannya.
Sangat berbeda dengan Hani yang sangat sederhana. Jangankan ber-make up, sekadar membuat alis saja Hani tak bisa. Untungnya alis matanya sudah cukup tebal. Sehingga ia tak perlu bersusah payah melukis alis.
"Oh, ini rupanya yang buat kamu enggak pernah betah kumpul lama-lama," celetuk salah seorang pemuda yang berdiri persis di samping Haris. Ia tersenyum ramah kepada Hani. "Pantas!" lanjutnya sembari menilai penampilan Hani.
"Payah, ih, Haris! Enggak mau kenalin ke kita-kita," ucap salah seorang perempuan berpakaian cukup terbuka.
Haris kemudian menoleh ke arah Hani sembari tersenyum penuh arti. "Ya, udah. Kenalin dia Hani," ucap Haris.
Meski agak kaku akhirnya Hani menyambut jabatan tangan dari teman-teman Haris tersebut.
"Beruntung banget, ya, Kak Hani bisa dapatin Haris? Enggak usah khawatir, ya, Kak! Haris itu setianya kebangetan! Enggak ada satu model pun yang berhasil taklukin dia," seloroh Puspa.
"Aku ...."
Baru saja Hani hendak menyangkal dan mengatakan yang sebenarnya kalau dia kakak ipar Haris, adik Rahman itu langsung menyela. "Ah, bisa aja, kamu, Pus! Ya, sudah. Kami masuk dulu, ya!"
Tanpa memberikan Hani kesempatan untuk bicara, Haris langsung menggandeng pinggang kakak iparnya itu dan mengajaknya memasuki indoapril tersebut.
"Apa-apaan, sih, Ris!" protes Hani sembari berusaha melepaskan tangan Haris dari pinggangnya dan menatap galak.
"Hehehehehe, maaf, Kak!" Haris terkekeh saat melepas tangannya dari pinggang Hani. Ia justru tertantang untuk menunjukkan perasaannya pada Hani karena berpikir Hani telah mengetahuinya. "Habis ini mereka, kan, enggak bakal berani gangguin aku lagi," imbuhnya.
"Maksud kamu?" Dahi Hani mengernyit menatap pemuda itu. Ia tak habis pikir sama Haris. Didekati wanita-wanita cantik seperti itu, kok, menolak.
"Aku risih aja, Kak. Pergaulan mereka itu sangat bebas. Aku enggak tertarik," jelas Haris sembari berjalan menuju rak berisi camilan. Tempat Dinda sedang sibuk memilih jajanan kesukaannya.
Hani hanya menaikan alis mendengar itu. Heran saja, hari gini masih ada pemuda seperti Haris.
"Memang kelainan anak itu. Buktinya ia malah jatuh cinta pada istri kakaknya sendiri," batin Hani sembari memandangi pemuda itu dari tempatnya berdiri.
"Aku suka cewek dewasa dan bersahaja," ucap Haris sembari mengangkat camilan rasa coklat dan memasukkannya ke dalam keranjang yang Hani bawa. Kemudian tersenyum penuh arti kepada Hani.
"Yang penting singgel, bukan istri orang," sindir Hani sebal.
Haris menoleh ke arah Hani kemudian tersenyum manis. "Mauku gitu, tapi kadang cinta enggak peduli soal itu."