Tangan Hani gemetar saat memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam kotak. Ia takut kalau sampai Haris tahu ia telah lancang memasuki kamarnya. Terlebih mengetahui rahasianya. Bergegas Hani segera keluar, tak jadi menyapu kamar adik suaminya itu.
Bagaimana bisa Haris mencintai kakak iparnya sendiri? Secara usia, Hani juga lebih tua dari dia. Meski memang badannya mungil. Sehingga ia kelihatan lebih muda dari usia yang sebenarnya.
Namun, Haris? Dia pemuda tanpa cela. Wajahnya bersih dan tampan. Badannya tinggi kekar. Mau gadis yang seperti apa, ia pasti bisa mendapatkannya.
"Bodoh!" Hani mengumpat sendiri.
Hani kemudian duduk di sofa di depan televisi sembari memegangi dada. Entah kenapa jantungnya berdegup sangat cepat. Ia juga takut kalau nantinya Bang Rahman tahu dan akhirnya murka. Hani tak ingin dua bersaudara itu sampai bertengkar karena dirinya.
"Ah, Haris, tampan-tampan begitu kenapa otakmu korslet? Jatuh cinta sama istri abang sendiri. Apa tidak gila?" gerutu Hani.
Seharian Hani sampai tidak bisa beraktivitas seperti biasa. Ia terus berpikir, bagaimana mempengaruhi Rahman agar setuju Haris kos saja? Intinya Haris harus pergi dari rumahnya.
Bodohnya, sebelumnya Hani adalah orang paling bahagia dengan kehadiran Haris di rumahnya. Karena lokasi rumah mereka paling ujung dan agak dekat dengan pemakaman, membuat Hani takut saat Rahman jaga malam. Sehingga, kehadiran Haris layaknya seperti malaikat penyelamat bagi Hani.
"Duh, gimana, ya?" Hani kembali bermonolog sendiri.
Sore hari saat Rahman pulang, Hani bergegas menyambutnya. Mondar-mandir Hani mengikuti suaminya. Ke kamar mandi, kemudian ganti baju ke kamar, kemudian ke ruang makan. Tidak seperti biasanya.
"Dek, kamu kenapa, sih?" tanya Rahman heran melihat istrinya bertingkah tak biasa.
sementara Hani kebingungan harus pakai kalimat seperti apa untuk menyampaikan perihal Haris yang lebih baik tidak tinggal di rumah mereka. Hani juga takut nanti suaminya salah paham, dikira dia yang tidak mau menerima keberadaan adiknya di rumah mereka.
"Eng-enggak apa-apa, kok, Bang," dusta Hani. Sebenarnya ia sedang sangat kebingungan.
"Dinda mana?" tanya Bang Rahman sembari menyendok nasi di piringnya.
"Belajar kelompok di rumah Gea, Bang."
"Oh."
Hani kembali terdiam. Wanita berdaster midu itu mengamati suaminya yang sedang makan.
"Abang sudah pulang?" Haris langsung bergabung ke meja makan begitu ia pulang.
"Baru aja, Ris. Sini sekalian makan bareng!" ajak Rahman.
"Siap, Bang. Ini kebetulan tadi aku lewat bebek goreng Haji Samsul." Haris meletakkan bungkusan di meja makan. Kemudian melangkah ke rak piring.
"Wah, makasih, Ris," ucap Rahman. "Enggak usah sering-sering jajan gini! Ditabung aja uangmu!" pesan Rahman. Lelaki itu merasa tidak enak karena adiknya sangat royal pada keluarganya. Tak sekadar makanan, uang pun sering Haris berikan pada Hani dan Dinda.
"Sekali-kali, lah, Bang," sahut Haris sembari berjalan kembali ke meja makan. "Loh, Kak Hani enggak ikut makan?"
"Nanti aja," jawab Hani singkat. Ia jadi takut untuk akrab dengan Haris seperti sebelumnya setelah tahu perasaan Haris kepadanya. Dia tak mau rumah tangganya berantakan karena cinta yang salah dari Haris. Apapun kekurangan Rahman, ia tetaplah suaminya. Dan bagaimanapun sempurnanya Haris, dia hanyalah adik iparnya. Semua harus berjalan pada tempatnya.
Melihat Hani tidak ikut makan, Haris kembali ke rak piring, kemudian kembali ke meja dan meletakkan piring kosong di depan Hani sambil tersenyum manis. Haris belum menyadari kalau Hani sedang berusaha menjaga jarak dengannya. Haris pikir semua masih sama seperti sebelum-sebelumnya.
"Ayo, makan sama-sama, Kak! Biar lebih enak," ajak Haris sembari membuka box bebek gorengnya.
Aroma lezat menguar menggoda usus Hani yang sejak tadi memang belum makan. Air liur Hani otomatis diproduksi semakin banyak. Jadi mau tak mau ia harus menelan ludah.
Namun, Hani bersikeras tidak mau menerima kebaikan Haris. Ia mengangsurkan ke tengah piring tersebut sambil berkata, "Aku makan nanti aja, nunggu Dinda." Padahal sebenarnya perutnya sudah meronta-ronta ingin diisi bebek goreng tersebut.
Haris menarik kursi di samping Hani. Kemudian duduk sembari menoleh ke arah wanita yang diam-diam dicintainya itu. "Nanti, kan, Dinda disisain bebeknya. Ayo, Kakak makan sekarang aja!"
"Nanti aja!" Hani masih bersikeras menolak kebaikan Haris. Dia tak mau semakin hanyut dalam kebaikan pria yang bukan suaminya. Terlebih pemuda itu adalah adik dari suaminya sendiri.
Namun, rupanya perut Hani tidak mau diajak kompromi. Tiba-tiba tanpa dikomando perutnya bersuara. Membuat Hani wajah Hani memerah menahan malu.
Kontan Haris langsung menoleh dan menertawakan Hani. "Hahahahahaha. Ketahuan lapar!"
Sementara Rahman tak terpengaruh sedikit pun. Ia tak peduli pada hal-hal seperti itu. Ia asyik sendiri menikmati bebek gorengnya.
"Nih, aku ambilin nasi!" Haris langsung mengambilkan sepiring nasi untuk Hani. "Udah, makan dulu aja! Dinda, kan, nanti bakal kebagian juga. Emak-emak emang, ya!" ledeknya.
Meski Haris berusaha mencairkan suasana, Hani tetap mempertahankan sikap dinginnya. Meskipun akhirnya dia memakan nasi yang diambilkan Haris. Ia memilih tidak memedulikan candaan pemuda korslet tersebut.
"Kak, kapan-kapan aku beli bebek mentah, ya?" Haris kembali berusaha mencairkan suasana karena mulai merasakan ada yang berbeda pada Hani. Wanita itu terlihat tak seperti biasanya. Biasanya mereka berdua dengan mudah bercanda dan tertawa untuk hal-hal sepele. Namun, kali ini Hani terlihat begitu dingin.
"Enggak usah," sahut Hani datar.
"Kenapa? Masakan Kak Hani pasti lebih gurih dari ini," puji Haris lagi. Ia masih berusaha melelehkan bongkahan es kakak ipar cantiknya itu.
"Biasa aja," ketus Hani.
Melihat Haris berusaha mencairkan suasana, Hani menyadari kalau adik iparnya itu merasakan perubahan sikapnya. Haris bahkan sampai menatap Hani saat ia menyahut perkataan Haris dengan ketus.
Karena biasanya memang meja makan ini ramai dengan gurauan Hani dengan Haris dan juga Dinda. Sementara Bang Rahman hanya sesekali tersenyum simpul tanpa mau ikut bercanda bersama mereka.
Selesai makan, Mama Gea menelepon Hani. Katanya, belajar kelompok anak-anak sudah selesai. Biasanya Hani dan Haris yang menjemput Dinda. Namun, kali ini Hani meminta tolong pada Rahman untuk menghindari berduaan dengan Haris.
"Bang, Dinda sudah selesai belajarnya. Abang yang jemput, ya!" pinta Hani sembari menghampiri suaminya yang sedang duduk di sofa menonton televisi.
"Abang capek, Dek. Kamu minta tolong Haris aja, ya! Biasanya juga sama dia," tolak Rahman tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
"Heh! Seandainya aku bisa naik motor sendiri. Aku pasti sudah jemput Dinda tanpa bantuan siapapun," gerutu Hani.
Sayang, wanita bertubuh mungil itu trauma. Karena dulu waktu baru bisa, ia mengalami kecelakaan lumayan parah.
"Dia juga pasti capek, Bang! Dia juga baru pulang!" timpal Hani. Ia masih mencoba membujuk suaminya agar mau menjemput Dinda.
Namun, tanpa Hani duga tiba-tiba Haris keluar kamar sambil menyahut, "Enggak, kok. Yuk, kita jemput!"
Hani benar-benar geram sama Rahman. Segitu cueknya ia sama anak istrinya sendiri. Nanti saat Hani beritahu soal Haris yang suka padanya, baru dia akan menyesal.
Terpaksa Hani menjemput Dinda bersama Haris lagi. Berhubung belajar kelompoknya selalu bergilir, dan baru ini Gea dapat giliran jadi Haris belum tahu rumah Gea jadi Hani harus ikut serta juga.
"Kak, lagi marahan sama Bang Rahman, ya?" tanya Haris saat mereka sudah berada di jalan raya. "Kok, jutek banget dari tadi?"
"Enggak," jawab Hani singkat. Wanita itu sedikit kesal karena Haris salah paham terhadap perubahan sikapnya. Hani berharap Haris tahu kalau dia sedang menjaga jarak pada pemuda itu. Namun, pemuda itu malah salah sangka.
"Terus?" kejar Haris karena tebakannya salah.
"Enggak apa-apa," jawab Hani masih seketus tadi.
"Oowh! Berarti ada apa-apa, nih? Biasanya kalau cewek bilang enggak apa-apa, kan, artinya sebaliknya," goda Haris. Pemuda berwajah tampan itu merasa tidak nyaman dengan sikap acuh Hani, sehingga terus berusaha mencairkannya.
Sementara Hani memilih diam tak menyahut. Hani benar-benar ingin menjaga jarak dengan adik iparnya itu. Ia tak mau terlalu dekat dengannya lagi seperti sebelumnya. Karena ia takut Haris akan semakin gila.
Tiba di rumah Gea, Haris mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak berselang lama pintu terbuka. Muncul seorang laki-laki seusia Rahman.
"Papa mamanya Dinda, ya?" tebak laki-laki itu saat melihat Haris dan Hani.
Hani hendak menyanggah, tetapi keduluan Haris yang bicara.
"Iya," jawab Haris dengan mantap. Membuat kedua bola mata Hani melotot memandangnya.
"Haris benar-benar gila!" umpat Hani dalam hati.
Sementara Haris malah semakin menjadi. Pemuda itu menggandeng pinggang ramping Hani membuat tubuh Hani menegang seketika.