"Aku bisa berteman dengan siapa saja, tapi hanya orang-orang tertentu yang bisa kuajak untuk membicarakan hal-hal yang lebih dalam."
_Nathaniel Gio Alfaro
***
Pagi ini koridor kampus sudah ramai dipenuhi oleh mahasiswa. Mereka sedang berkumpul di depan papan pengumuman sambil melihat sebuah poster yang ditempel di sana. Semua mahasiswa memandang takjub ke arah poster tersebut, dimana di sana F4 terfoto. Gambar mereka berempat memenuhi papan pengumuman mading. Mereka berempat adalah anggota musical club dan mereka juga merupakan band yang digemari oleh mahasiswa, terutama para mahasiswi.
Dari arah parkir, F4 baru saja sampai dengan membawa mobil masing-masing. Berbeda dengan Alda, kini dia ke kampus bersama Gio. Sebenarnya, Alda sudah menolak beberapa kali. Tetapi, cowok ini selalu akan mengancam Alda jika tak menuruti permintaannya.
F4 berjalan memasuki koridor, Alda memasang wajah kesal ke arah Gio. Almamater mereka terlihat rapi di tubuh. Gadis ini, berjalan sendiri di belakang, layaknya seorang asisten. Memang Alda asisten Gio selama sebulan. Alda menatap mahasiswi yang sedang berkumpul di depan mading dan dia hanya bisa menghela napas panjang.
Dengan cepat, mahasiswi tersebut langsung menyerbu F4. Mendekati mereka dan selalu menjerit histeris. Langkah mereka berempat pun terhenti dan melempar senyum ke semua mahasiswi.
"Presma! Apa benar kata ketua club musik, kalian bakal tampil diacara penerimaan mahasiswa baru?" tanya salah satu dari mereka.
"Benar," jawab Rama singkat, mewakili mereka semua. Memang, Ramalah yang menjadi perwakilan jika ada mahasiswi yang selalu mengerumuni dirinya.
"Tetaplah bersikap justice," ucapan Gavino kembali terngiang di telinga. Ya, beginilah sikap Gio sekarang. Menuruti saran dari Gavino jika ada mahasiswi yang selalu mengerumuni dirinya.
"Presma! Kenapa diam aja?" tanya lagi mereka. Gio hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. Ketiga temannya pun memberi senyum tipis ke arah mereka.
Alda menggerutu kesal di belakang, sesekali menghentakkan kakinya ke lantai koridor. Dia melipat kedua tangannya di dada, dan mengangkat dagu.
"Apa sih, istimewanya di wadin? Ganteng kagak, sok kegantengan iya," cerocos Alda sendirian di belakang, mengharuskan dia melihat kejadian ini. Seganteng inikah Alda mengatakan Gio sok kegantengan. Mungkin, matanya harus terlebih dahulu di cuci. Jika saja Gio tidak mengancamnya, mungkin dia sudah berada di kantin bersama Febby.
Alda tidak tahan lagi harus menunggu mereka terlalu lama. Dengan cepat, Alda menerobos barisan yang dipenuhi oleh mahasiswa yang lain dan langsung menarik tangan Gio. Alda sedikit berlari dan menuntun Gio supaya keluar dari barisan mereka. Gio terkejut bukan main saat Alda menarik tangannya.
"Buruan sini, gue kagak mau lihat lo dikerumuni sama mereka. Harus berapa jam gue nunggu lo, lo pikir gue enggak ada kelas hari ini?" cerocos Alda saat sudah menjauh dari mereka. Gio tersenyum ke arah Alda, membuat gadis ini mengernyitkan dahi melihat Gio. Sampai akhirnya, Gio menyibakkan rambut Alda yang menutupi mata kirinya. Alda terkejut melihat perlakuan Gio, membuat jantungnya kini berdetak.
"Sorry, kalau sampe buat lo risih kayak begini. Sebenarnya, gue juga enggak suka dikerumunin kayak begitu. Ya ... gimana lagi. Karena gue ganteng, mereka lengket mulu,"
Baru aja Alda menjadi tenang mendengar ucapan Gio yang pertama, tapi kini matanya melotot harus mendengar Gio mengatakan dirinya ganteng.
"Cih! Lo bener-bener songong ya jadi orang,"
"Enggak, gue becanda. Ya udah sana, kelas lo dimulai lima menit lagi nih," suruh Gio sambil melirik jam tangannya. Alda pun mengangguk dan meninggalkan Gio yang kini tersenyum. Penampakan yang tidak biasa.
"Eh, tunggu!" panggil Gio, membuat langkah Alda terhenti.
"Kenapa?"
"Setelah kelas lo selesai, langsung ke club musik. Kita bakal melakukan planning,"
"Hah? Tapi, kan Alda udah bilang kalau en -"
"Enggak ada penolakan. Gue tunggu, jangan ngebantah!" sambung Gio dan berbalik meninggalkan Alda yang menggerutu.
"Tukan, Alda harus berurusan lagi sama si wadin. Huh!"
Alda pun sedikit berlari ke arah fakultas seni. Dia langsung memasuki kelasnya.
***
Tepat pukul 12:00 WIB, Alda selesai kelas. Dia pun berjalan di koridor fakultas seni dan suara notif ponselnya berbunyi. Di sana menampilkan nama 'Auberta' Alda pun melihat apa pesan yang dikirim oleh gadis tersebut.
[Auberta Vernanda Pramana]
[Hai, Kak Alda. Apa hari ini Kakak lagi sibuk? Kalau enggak sibuk, boleh enggak kita ketemuan. Heheh, bukan apa-apa sih. Auberta cuma mau kenal lebih sama Kak Alda sebagai sahabat.]
Alda tersenyum membaca pesan dari Auberta, kini dia pun mengetik balasannya.
[Kak Alda Imut]
[Hai, juga Auberta. Aku enggak sibuk, kok. Kalau mau ketemuan, aku ada di kaffe depan kampus aku ya. Datang aja]
Auberta menatap takjub isi balasan dari Alda. Dia tersenyum dan langsung memberitahukan Audrey yang sedang asyik makan roti di perpustakaan.
"Audrey, Kak Alda mau ketemu. Dia nunggu kita di kaffe depan kampus, ayo kita langsung ke sana?" ajak Auberta. Kedua gadis ini pun bergegas membereskan beberapa novel yang telah dipinjam.
Jarak perpustakaan kota dengan kampus ITB tidak terlalu jauh. Cukup berjalan kaki saja. Mereka berdua dengan semangat ingin bertemu dengan Alda. Entah apa maksud dan tujuan mereka.
Alda pun memasukkan kembali ponselnya, dan berjalan keluar gerbang. Alda pun memasuki kaffe yang berada tepat di depan kampus ITB. Tiba-tiba, Alda teringat akan Gio. Dengan cepat, mengambil ponsel dan mengetik pesan.
[Oplas Watek]
[Gio, Alda enggak bisa ikut rapat dulu ya. Soalnya Alda ada urusan mendadak]
Pesan terkirim dan Gio langsung membaca pesan dari Alda. Membuat cowok ini naik pitam dan langsung membalas pesan Alda.
Karena terburu-buru, Gio malah menghubungi Alda.
"Halo?" jawab Alda saat Gio menghubungi dirinya.
"Buruan kemari sebelum gue marah!" Alda menatap ponselnya kesal. Suara Gio yang kasar, dari arah ponsel membuatnya mengernyitkan dahi.
"Lo kenapa sih, gue itu ada urusan bentar. Nanti juga gu -"
"Enggak usah banyak ngomong! Buruan atau lo mau gue ngelakuin hal yang buruk terhadap keluarga lo?"
"Lo kenapa sih, bisanya ngancem doang."
"Lo dimana?"
"Gue udah pulang!"
"Enggak usah bohong!"
"Beneran!"
TUT!
Entah sejak kapan Gio seperti bisa memahami apa yang dikatakan Alda dari arah ponsel, sedangkan dia tidak bisa mendengar sama sekali.
Gio mematikan teleponnya dan melihat GPS dan melacak keberadaan Alda. Setelah menemukan Alda berada di mana, Gio keluar dari ruang musik.
"Dasar, mau berbohong sama gue?" beo Gio berjalan cepat di sepanjang koridor.
Gio tiba di depan kaffe start dan menatap Alda yang sedang duduk sendiri di sana. Gio tersenyum kecut dan langsung memasuki kaffe. Alda terkejut bukan main saat melihat Gio berada di depan pintu kaffe. Dengan cepat, gadis ini langsung menyambar tote bagnya dan berjalan ke arah belakang. Tetapi, langkahnya terhenti karena Gio lebih cepat darinya. Alda menghela napas dan memejamkan matanya pelan dan berbalik.
"Ikut Gue!" tutur Gio.
"Enggak! Alda ada janji sama temen, kalau Alda pergi gimana mereka nanti?"
"Lo bisa kasih tau kalau lo lagi sibuk, gampang kan,"
"Enak banget lo ngomong,"
"Ikut gue!"
Gio pun menarik lengan Alda kasar, membawanya keluar dari kaffe. Alda meronta-ronta supaya tangan kekar Gio terlepas. Tetapi, tenaganya tidak cukup kuat.
Dari arah yang sama, Auberta dan Audrey baru saja sampai. Dari arah belakang, mereka melihat Alda sedang ditarik oleh seorang cowok. Mereka berdua saling memandang, dan ingin mengejar Alda.
"Kak Alda!" teriak mereka bersamaan. Alda mendengar teriakan itu, karena mereka hendak menyebrang. Alda tersenyum dan melambaikan tangan. Langkah Auberta dan Audrey terhenti dengan tatapan lesu.
"Siapa sih, itu cowok pake narik tangan Kak Alda? Dia pikir itu enggak sakit?" beo Auberta menatap lurus ke arah cowok itu yang nyatanya itu adalah Gio. Mereka sama sekali tidak bisa melihat wajah Gio, karena berlawanan arah.
"Yah, kita enggak jadi ketemu Kak Alda dong. Padahal, pengen banget review novel terbaru yang kita baca,"
"Bener. Auberta sedikit kecewa," jawab Auberta lesu dan mereka berdua langsung berpelukan. Back Pag Auberta tampak sangat imut sekali, gantungan unik tergantung di sana. Membuat suara berisik setiap Auberta berjalan.
"Ya udah, deh. Mungkin lain kali aja, kita pulang yuk,"
Mereka berdua pun berjalan balik secara bersamaan dan saling berpegangan. Persahabatan mereka dari dulu masih berjalan sangat baik. Ternyata benar, sahabat sejati itu ada. Auberta telah menganggap Audrey sebagai saudaranya sendiri. Mereka tinggal bersama dan selalu kemanapun juga bersama.
***