"Sederhana saja. Ketika aku mencintaimu, aku akan melakukan apapun untukmu."
_Nathaniel Gio Alfaro
***
Pagi ini, Alda bangun cepat karena harus segera mengantar orderan para pelanggan yang akan mengadakan acara. Makanya, Alda sekarang sudah mengayuh sepedanya di pagi buta. Tepat pukul delapan nanti, Alda akan ada kelas di kampusnya. Makanya, Alda harus segera melakukan pekerjaan ini.
Saat Alda mengayuh sepedanya di jalan kompleks, Alda bertemu dengan Gio yang sedang membeli nasi di depan rumahnya. Gio menghentikan Alda dengan merentangkan kedua tangannya di jalan. Alda pun berhenti dan turun dari sepeda.
Alda mendekat ke arah Gio yang memakai baju kaos hitam serta celana jeans selutut. Dengan rambut yang dibelah menjadi dua, membuat hati Alda sedikit bergetar jika melihat penampilan cowok seperti Gio. Alda memakai hoodie krem dipadu dengan celana hitam.
"Ngapain lo pagi-pagi gini udah mau berangkat ke kampus aja. Emang, kelas lo dimulai jam segini?" tanya Gio menatap Alda yang terlihat berkeringat.
"Enggak. Alda harus nganterin orderan cup cake ini," jawab Alda menunjuk ke arah keranjang di depan yang isinya beberapa kotak pesanan. "Supaya enggak telat nanti ke kampus, makanya Alda nganterin sekarang,"
Gio mengangguk sambil merogoh kantung celananya, mengeluarkan sapu tangan berwarna putih bercampur biru. Gio menyeka keringat yang keluar dari kening Alda, membuat gadis ini tak bisa berpikir untuk beberapa saat karena mendapatkan perlakuan seperti ini.
Gio tanpa menunjukkan ekspresi sedikitpun, terus menyeka keringat di kening Alda. Emang kebiasaan cowok cancer, yang suka memberi perhatian kepada orang yang menurutnya penting. Sekarang, Alda menjadi seseorang yang berarti bagi Gio. Hingga membuat Gio melupakan masalah dengan hatinya yang dulu hampa. Yang sedang mencari setengah jiwanya yang hilang. Tetapi, Gio menemukan jiwa yang lain sedang memasuki dirinya.
"Lo udah makan?" tanya Gio sambil terus menyeka keringat Alda. Alda yang keringat karena kelelahan, seketika keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. Alda menggeleng pelan sambil menatap Gio.
"Kalau gitu, kita makan dulu ya. Gue juga mau pesen makan nih, Mama enggak pulang jadi di rumah enggak ada siapa-siapa," ajak Gio membantu Alda memarkirkan sepedanya.
"Tapi, Kak. Alda nanti bisa makan di kampus, takut telat nganterin pesanan ini," cegah Alda sedikit takut.
"Udah, lo tenang aja. Daripada lo sakit dan enggak bisa nganterin orderan ini? Nanti gue bantu lo. Ayo," Gio pun menarik lengan Alda untuk duduk di warung makan 'Minang' yang berada tepat di depan rumah Gio.
Pesanan mereka datang, dan mereka langsung menyantap makan tersebut.
"Kak, di rumah lo kan ada pembantu kenapa enggak makan di rumah aja?" tanya Alda menatap Gio yang sedang fokus mengunyah tanpa melihat ke arah Alda. Alda pun tersadar kalau Gio penyandang disabilitas, dia tidak akan bisa mendengar apa yang barusan Alda katakan. Alda pun mengurungkan niat untuk bertanya lagi dan terus makan nasinya.
Setelah menghabiskan makanannya, Gio membantu Alda mengantar orderan para pelanggan. Gio beralih menaiki sepeda Alda, dan menyuruh gadis ini untuk duduk di jok belakang. Awalnya, Alda enggan untuk melakukan hal ini. Harus membawa Gio ke dalam pekerjaannya. Tetapi, karena Gio bersikeras Alda pun terpaksa dan nurut.
Gio mengayuh sepeda pelan. Saat Alda menyuruh Gio berhenti dan Gio pun berhenti. Alda mengambil beberapa kotak orderan tersebut dan berlari kecil ke arah sebuah rumah putih besar. Setelah kotak pertama di antar, selanjutnya mereka harus mengantar orderan selanjutnya.
Setelah tiga puluh menit menghabiskan waktu mengantar orderan, kini Gio menganyuh sepeda ke arah rumahnya. Gio memasuki gerbang dan menghentikan sepeda, menatap Alda yang terlihat berbahagia.
"Makasih ya, Kak Gio,"
"Giliran gini aja lo sopan banget sama gue. Mulai sekarang, kalau lo lagi ngomong sama gue jangan ada kata 'Lo-Gue' di antara kita," ucap Gio dan berbalik memasuki rumahnya. "Lo tunggu gue mandi dulu, sekalian kita berangkat bareng ke kampus,"
Alda hanya bisa tersenyum malu jika mendapat perlakuan seperti ini. Entah sejak kapan, Gio begitu peduli dengan seorang gadis.
***
Saat jarum jam telah menunjukkan pukul 10:00 WIB, sebagian mahasiswa ekskul musik sedang berkumpul di sebuah ruangan yang bertuliskan. Musical Club. Termasuk F4, mereka merupakan salah satu anggota di sana. Saat mereka berempat memasuki ruangan tersebut, mahasiswi yang melihat mereka akan berteriak histeris. Membuat telinga seketika sakit jika mendengar teriakan mahasiswa tersebut. Mereka berempat pun duduk di tempat yang di sediakan.
Dari arah depan berdiri ketua club musik yang sudah memimpin selama tiga tahun dan seorang gadis cantik ikut mendampinginya.
"Saya Damar Azka Arsenio, ingin menyampaikan sedikit pemberitahuan kepada kalian. Baik semuanya. Saya mengumpulkan kalian ke sini karena kita akan membuka pendaftaran baru anggota musik. Karena seminggu lagi akan ada acara penyambutan penerimaan mahasiswa baru, karena itu saya mohon bantuan kalian untuk menyebar brosur ini kepada semua mahasiswa. Kita akan mendirikan kelompok band dalam satu club. Karena yang lebih berpengalaman di sini yaitu, F4. Yang selalu tampil di semua tempat. Kalian tentunya tidak asing lagi kepada mereka. Jadi, sekarang juga silahkan di sebar brosur itu ke semua fakultas," jelas Damar sambil melihat semua anggota musik yang duduk di depannya. Sambil seorang gadis membagikan brosur club musik kepada semua anggota.
"Baik, Melody. Apa semuanya udah terbagi?" tanya Damar kepada Melody selaku sekretaris Damar. Gadis itu mengacungkan jempolnya.
"Kalau begitu, kita akhiri saja pertemuan ini. Jika ada yang berminat, langsung daftarkan kepada Melody,"
F4 pun beranjak dari sana, diikuti oleh sebagian mahasiswi yang tertarik kepada mereka. Gio memisahkan diri bersama sahabatnya, dia berjalan ke fakultas seni rupa. Gio membagikan brosur yang ada di tangannya, dan semua mahasiswi menerima brosur pemberian Gio. Saat Gio turun lift, secara bersamaan Alda juga ikut masuk.
"Kelas lo udah selesai?" tanya Gio.
"Udah. Alda mau ke club drama dulu, mau ikut orientasi," jawab Alda sambil menenteng tote bagnya.
"Lo dari club drama?" Alda mengangguk menginyakan. Gio pun menjulurkan brosur yang tertinggal satu lembar lagi.
"Lo masuk ke club musik sekarang,"
"Hah? Alda itu enggak suka main alat musik, bukan keahlian Alda," jawab Alda sambil mengambil brosur yang Gio berikan.
"Gue enggak suka penolakan. Gabung club musik sama gue, lo harus nurut,"
"Tapi kan –"
"Gue enggak suka penolakan, Alda!" potong Gio sedikit mengeraskan suaranya. Alda pun menghela napas sambil menatap Gio kesal.
"Dasar, wadin! Bisanya ngancem doang," batin Alda memicingkan mata menatap Gio.
Mereka berdua pun keluar dari fakultas seni, mereka berjalan beriringan menyusuri koridor kampus tanpa berbicara sedikitpun. Alda mendongakkan kepala menatap tubuh tinggi milik Gio, dengan ekspresi datar. Kali ini, Alda bakal nurut dengan ucapan Gio. Jika tidak, bisa-bisa ini cowok bakal menyusahkan keluarganya.
Mereka tiba di tempat parkir.
"Lo udah bawa kebutuhan lo sendiri?" tanya Gio berdiri menepi di samping mobilnya, dengan kedua tangan melipat di dada. Gio menatap Alda yang berdiri di depannya.
"Maksudnya?" tanya Alda polos dengan tampang imutnya.
"Kebutuhan lo untuk kita party hari ini,"
"Hooh, udah. Kan ada di jok mobil lo, tadi Alda kan berangkat sama lo," jawab Alda santai. Angin seketika berembus, menerbangkan rambut Alda yang dikuncir kuda. Gio seketika tersenyum miring melihat penampilan Alda yang super imut.
"Kenapa? Kok, natap Alda begitu?"
"Lo jelek kalau rambut lo dikuncir kayak begitu. Padahal, pas lo pertama masuk kampus rambut lo diurai. Kenapa malah balik jadi cupu," terka Gio.
"Hooh, itu. Soalnya, Alda lebih suka gini aja sih daripada diurai. Alda suka risih kalau rambut panjang nempel-nempel di leher,"
"Kenapa enggak lo potong aja,"
"Hah? Potong? Enggak ah, bagusan gini,"
"Dasar ababil! Gue lebih suka kalau rambut lo dipotong aja, sesuai sama wajah lo yang chubby,"
Setelah mengucapkan itu, Gio masuk ke dalam mobil dan tak memperdulikan Alda yang tengah tersipu malu. Kebiasaan Gio jika sudah membuat orang terbawa perasaan, dia akan langsung menghilang gitu aja.
Alda terpaku di tempatnya berdiri, sambil memegangi pipinya yang terasa panas. Serta jantungnya berdetak tak karuan. Kini, Alda beralih menatap Gio yang berada di dalam mobil sedang memainkan ponselnya.